Arsitektur
Finansial Global Pasca-Bali 2018
Christianto Wibisono ; Ketua Pendiri Pusat Data Bisnis Indonesia (PDBI)
|
KOMPAS,
28 Maret
2018
Tahun ini, Indonesia akan menjadi
tuan rumah sidang tahunan Bank Dunia/Dana Moneter Internasional (IMF) yang
akan digelar di Bali pada bulan Oktober.
Di era industri 4.0
fisika-digital-biopolitik terintegrasi, kinerja suatu negara dinilai secara
komprehensif, meliputi Produk Domestik Bruto (PDB), Indeks Pembangunan
Manusia (IPM), kemampuan menyelenggarakan ajang seperti Asian Games, Olympic
Games dan Piala Dunia serta menjadi tuan rumah konferensi tingkat tinggi
multilateral seperti APEC, G-20 serta sidang gabungan Bank Dunia/IMF.
Sidang tahunan Bank Dunia/Dana
Moneter Internasional (IMF) digilir setiap tiga tahun di pelbagai kota di
luar Washington DC yang secara tradisional menjadi kantor pusat dan
penyelenggara dua sidang tahunan Bank Dunia/IMF secara berurutan.
Sejak 1947 di London dan 1950 di
Paris, hajatan sidang tahunan Bank Dunia/IMF telah bergilir ke 10 negara
Asia, 10 negara Eropa, empat negara di benua Amerika non-AS dan Kenya
(1973).Dua kota Asia pernah dua kali jadi tuan rumah (host) yaitu Istanbul
(1955 dan 2009 ) dan Tokyo (1964 dan 2012).
Bali lokasi non-AS ke-25 setelah
Mexico City (1952), Istanbul (1955), New Delhi (1958), Vienna (1961), Tokyo
(1964), Rio de Janeiro (1967), Copenhagen (1970), Nairobi (1973), Manila
(1976), Beograd (1979), Toronto (1982), Seoul (1985), Berlin (1988), Bangkok
(1991), Madrid (1994), Hongkong (1997), Praha (2000), Dubai (2003), Singapura
(2006), Istanbul (2009), Tokyo (2012), Lima, Peru (2015).
Di tengah kemelut tahun politik,
Pusat Data Bisnis Indonesia (PDBI) merasa perlu mengingatkan bahwa kita tidak
boleh terpukau sebagai penyelenggara (event organizer/EO), sama dengan
Asian Games, tetapi harus pula berkinerja dalam substansi seperti perolehan
medali Olympic Games atau Asian Games.
Polemik dan kritik yang meremehkan
dampak ekonomi pertemuan Bank Dunia/IMF di Bali sempat muncul dari pihak
tertentu, sehingga pemerintah harus sibuk menjelaskan dampak kehadiran 15.000
peserta sidang yang akan membelanjakan sekitar Rp 4 triliun. Artinya, biaya
yang dikeluarkan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebesar
Rp 868 miliar atau kurang dari Rp 1 triliun, pasti akan “dinikmati” oleh
ekonomi masyarakat Bali empat kali lipatnya.
Konstelasi global
Bank Dunia/IMF ibarat dua
perusahaan terbuka (PT) yang sekarang dimiliki 189 negara. Dua lembaga ini
lahir tahun 1944/1945. Pendiriannya mencerminkan konstelasi arsitektur
finansial global dengan dominasi AS serta Eropa, yang waktu itu mengalami
kondisi kehancuran karena Perang Dunia II.
Kontelasi dunia telah berubah,
tapi komposisi saham negara anggota tetap stagnan dan alot sekali
perubahannya. Ini karena negara dominan seperti AS dan Uni Eropa tidak rela
mengalami penurunan drastis kuota sahamnya, proporsional dengan kebangkitan
ekonomi Asia dan negara non-Eropa lainnya.
Sekarang ini sedang berlangsung
Review ke XV dari kuota Bank Dunia/IMF yang dijadwalkan akan difinalkan di
sidang Bali agar bisa ditandatangani pada 2019 dan berlaku pada 2020. Dalam
Review ke-XIV 2010, Indonesia berada di ranking ke 22 dengan voting 1,03
persen dan modal setor 2,3 miliar dollar AS.
Posisi 20 besar memang mengalami
transformasi dengan peringkat sebagai berikut: 1. AS, 2. Jepang, 3. Tiongkok,
4. Jerman, 5. Inggris, 6. Perancis, 7. India, 8. Rusia, 9. Saudi Arabia, 10.
Italia, 11. Kanada, 12. Belanda, 13. Spanyol, 14. Brasil, 15. Meksiko, 16.
Korea, 17. Belgia, 18. Iran, 19. Swiss, 20. Austria, dan 21. Turki.
Kelompok 22 negara dengan kuota di
atas 1 persen ini menguasai 71,79 persen kuota voting. Sebanyak 20 negara
lain dengan kuota di atas 1 miliar dollar AS punya 12,44 persen kekuatan
voting sehingga totalnya 84,23 persen. Akan tetapi, di antara negara dengan
saham antara 100.000 dollar AS – 999.000 dollar AS, terdapat Singapura kini
dengan modal setor 557 juta dollar AS dan Uni Emirat Arab 534 juta dollar AS
dan Filipina 990 juta dollar AS.
Posisi dan sikap Indonesia
Karena Review XV berjalan alot
maka pada 16 Januari 2016 Tiongkok bersama 63 negara termasuk Indonesia dan
India —meski tidak didukung oleh Jepang dan AS — mendirikan Asian
Infrastructure Investment Bank (AIIB) untuk membiayai pembangunan
infrastuktur Trans-Euro Asia. Menghidupkan kembali Jalur Sutra Darat maupun
Maritim dalam Satu Sabuk Satu Jalan (One Belt One Road/OBOR).
Sementara Jepang dan AS tetap mempertahankan eksistensi Bank Pembangunan Asia
(ADB) dalam kompetisi mengimbangi OBOR dengan kerja sama Indo Pacific
Development (AS, Jepang, merangkul India).
Dalam kompetisi global antara AS,
Jepang, Uni Eropa, BRICS (Brasil, Rusia, India, Tiongkok, Afrika Selatan) dan
kekuatan menengah seperti Meksiko, Iran dan Korea, bagaimana Indonesia
memosisikan diri dan melakukan leveraging, tawar-menawar (bargaining)
dan lobi (lobbying) untuk memanfaatkan transformasi arsitektur
finansial global?
Menurut PDBI, peristiwa sidang
Bank Dunia /IMF ini selayaknya disikapi oleh elite pemangku kepentingan (stakeholders)
termasuk oposisi dan lawan politik pemerintahan yang berkuasa (petahana),
untuk berjiwa besar dengan memberikan masukan pemikiran substansial strategis
tentang penambahan kuota RI dalam Review ke-XV yang mulai akan digulirkan
pada sidang di Bali, Oktober 2018.
Jangan sampai kita cuma asyik
mengkritisi tetek-bengek budget yang dianggarkan, apakah bisa “untung” secara
mikro antara yang dikeluarkan APBN dan dampak dari 15.000 peserta sidang
sebagai turis. Seperti ajang Asian Games, jangan cuma bicara soal untung-rugi
dan sukses sebagai EO, tetapi apa kita bisa masuk lima besar pengumpul medali
emas.
Peristiwa sidang Bank Dunia /IMF
di Bali punya makna geoekonomi dan geopolitik strategis substansial, yakni
bagaimana Indonesia harus bisa menikmati Review XV dengan penambahan kuota
kita di Bank Dunia/IMF, sehingga hajatan Oktober 2018 itu benar-benar akan
bermakna meningkatkan daya ungkit (leverage) dan posisi kita.
Delegasi RI tentu sudah harus
mulai menggarap substansi untuk komite pengarah (Steering Commitee)
pada sidang musim semi (Spring Meeting) 10-12 April 2018 di Washington
DC bulan depan yang harus mempersiapkan Review XV dalam agenda Sidang Tahunan
(Annual Meeting) Bank Dunia/IMF di Bali, Oktober 2018.
Indonesia Inc harus bersatu padu
memanfaatkan peluang tuan rumah sidang ini secara signifikan dan berbobot,
bukan secara cengeng mempolemikkan tetek-bengek posisi EO sidang Bank Dunia
di Bali. Dengan demikian, Bali akan dikenang sebagai lahirnya arsitektur
finansial global 2020-2045 yang mencerminkan kekuatan riil ekonomi global
dewasa ini dan bukan warisan masa lampau 1945 yang ketinggalan zaman.
Sidang Bank Dunia /IMF di Bali
terlalu penting untuk di-bully lewat sosial media oleh lawan politik
partisan, tetapi memerlukan kearifan dan kebijaksanaan diplomasi dan lobi
yang proaktif, kreatif bagi posisi geopolitik RI dan otomatis kinerja ekonomi
politik kita. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar