Selasa, 27 Maret 2018

Demokrasi dan Ekonomi

Demokrasi dan Ekonomi
Candra Fajri Ananda  ;   Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis,
Universitas Brawijaya
                                                  KORAN SINDO, 26 Maret 2018



                                                           
SEBAGAIMANA negara yang menganut paham Keynesian, peran pemerintah melalui kebijakan publik menjadi sangat penting. Ihwal ini dimungkinkan pada saat situasi pasar tidak lagi pada posisi seimbang dan cenderung inefisien.

Dalam kerangka kebijakan fiskal, peran pemerintah terasosiasi pada tiga hal, yakni fungsi distribusi, alokasi, dan stabilisasi. Tujuan utamanya tidak lain agar perekonomian di wilayahnya saat mengalami gangguan mampu bangkit dan kembali pada pasar yang kondusif, termasuk di dalamnya tidak menimbulkan kemiskinan dan jurang ketimpangan yang melebar.

Saat ini, di mana diskusi kondisi ekonomi menjadi hangat dan tendensius, praktis intervensi pemerintah amat dibutuhkan agar gejolak yang terjadi tidak semakin bergerak liar. Konstelasi politik yang semakin mendekati momentum-momentum pemilihan (kepala daerah, parlemen, dan presiden) membuat publik menjadi kian sensitif dengan isu-isu kebijakan pembangunan ekonomi.

Mudah-mudahan meskipun kita sama-sama tahu bahwa informasi semakin diwarnai berbagai paradoks, tenaga kita jangan sampai dimanfaatkan untuk memperbesar daya pergesekan. Semuanya harus ditangani dengan kepala dingin untuk melancarkan demokrasi yang teduh, tenang, dan bermuara pada ketenteraman sosial.

Akhir-akhir ini ruang media banyak dihiasi dengan diskursus tentang cara pemerintah dalam mengelola utang, kepastian hukum, serta penanganan kemiskinan/ketimpangan yang diembuskan kubu oposisi. Dampaknya lagi-lagi membuat publik kembali terbelah.
Adapun situasi yang terjadi seperti sekarang ini tidak lain adalah buah dari sistem politik demokrasi yang tengah kita anut.

Sebenarnya proses pemilihan secara demokratis akan senantiasa melahirkan dua kubu yang menang dan kalah, pihak yang menang (terpilih) akan menjadi pemangku kebijakan (pemerintah), sebaliknya kubu yang kalah akan menjadi pihak oposannya (oposisi). Struktur demikian sudah sangat lazim dalam demokrasi sehingga kita sebetulnya tidak perlu berlebihan dalam merespons apa yang tengah dilakukan para pelaku utama demokrasi (politisi) selama memang apa yang mereka perbuat tidak sampai merusak iklim demokrasi dan bertentangan dengan tata nilai dan aturan yang berlaku.

Pihak yang berseberangan dengan pemerintah menyoroti ketimpangan yang membelenggu perekonomian kita. Saat ini indeks rasio gini kita sudah sedemikian masif tingkat kenaikannya jika dibandingkan dua dekade sebelumnya.

Pada September 2017 kemarin, angka rasio gini kita berada di angka 0,393. Dibandingkan dengan 3–5 tahun sebelumnya memang sudah tampak adanya penurunan. Akan tetapi jika dibandingkan dengan masa-masa akhir tahun 1990-an, kondisinya justru jauh lebih buruk.

Survei yang dilakukan lembaga keuangan Swiss, yakni Credit Suisse (2017), dan lembaga Oxfam (2017) ikut mengonfirmasi betapa buruknya distribusi kekayaan di Indonesia. Credit Suisse menyatakan bahwa sekitar 45% total kekayaan Indonesia hanya dikuasai 1% penduduk terkayanya. Memang angkanya sudah sedikit turun bila dibandingkan dengan setahun sebelumnya yang distribusi kekayaan 1% orang terkaya ekuivalen dengan 49,3% total kekayaan, tetapi proporsi tersebut masih tidak masuk akal karena penduduk sisanya hanya mendapatkan “sisa”.

Sementara itu hasil kajian Oxfam juga menunjukkan gejala yang serupa. Total kekayaan empat orang terkaya sudah setara dengan total kekayaan 40% golongan penduduk termiskin yang jumlahnya sekitar 100 juta penduduk.

Oxfam menilai bahwa pertumbuhan ekonomi yang sering kali kita banggakan manfaatnya tidak terdistribusi secara merata. Jadi sebenarnya pertumbuhan ekonomi hanya mengendap pada segelintir masyarakat yang terkaya saja.

Setidaknya dari dua kajian tersebut, kita perlu berani untuk mengakui bahwa persoalan ketimpangan dan kesenjangan merupakan masalah yang harus segera dituntaskan. Era reformasi memang mampu memperlancar roda demokrasi. Persentase penduduk miskin juga dapat terus ditekan. Namun di sisi yang lain era reformasi dan penguatan demokrasi justru turut memperlebar jurang ketimpangan.

Ketimpangan ekonomi ini bisa mendorong kohesi ketimpangan sosial lainnya yang jika tidak segera diatasi akan memicu lahirnya konflik/instabilitas sosial dan politik. Lantas, bagaimana solusinya?

Menegakkan Demokrasi Ekonomi

Era Reformasi membawa angin perubahan besar-besaran dalam sistem pembangunan Indonesia. Pola kebijakan yang sebelumnya amat sentralistik ikut mendapatkan reformasi melalui kebijakan desentralistik.

Keran partisipasi publik dalam tahap perencanaan kebijakan pun semakin diperlebar melalui pola bottom-up planning-nya. Struktur pemerintahan dari lapis yang terendah (skala desa) mulai mendapatkan peluang untuk memengaruhi penyusunan kebijakan di tingkat nasional. Bahkan masyarakat juga semakin leluasa memilih siapa saja figur yang layak menjadi walinya di lingkup pemerintahan eksekutif dan legislatif.

Secara konseptual, ide ini begitu menggairahkan karena semakin banyak pihak yang diberikan ruang untuk memperjuangkan hak-hak pembangunannya. Demokrasi disebut-sebut mulai menemukan “rumahnya”, sebab telah semakin banyak mengakomodasi peran banyak pihak dalam siklus kebijakan.

Akan tetapi jika menilik kondisi yang sekarang ini terjadi (khususnya terkait ketimpangan), betulkah reformasi dan demokrasi telah berhasil mencapai tujuannya? Selain itu apakah benar bahwa usulan-usulan masyarakat telah menjadi bagian penting dalam perumusan kebijakan seperti yang tertuang dari ide bottom-up planning?

Jawaban dari kedua pertanyaan tersebut mungkin hingga saat ini masih sulit untuk ditetapkan. Kalaupun “dipaksakan”, apakah hasil-hasil indikator makroekonomi sudah mampu merepresentasikan hasil-hasil reformasi dan demokrasi di dalam pembangunan ekonomi? Mungkin jawaban yang paling dekat dapat kita ambil berdasarkan tingkat partisipasi masyarakat untuk mendapatkan akses dan manfaat dari kegiatan-kegiatan ekonomi.

Ide demokrasi sangat identik dengan teori partisipasi dalam pembangunan. Demokrasi seharusnya membuka keadilan terhadap akses-akses untuk dapat hidup sejahtera secara sosial dan ekonomi. Hubungan secara sosial dimaksudkan dengan semakin eratnya jalinan modal sosial antara masyarakat dengan pemangku kebijakan (khususnya pemerintah).

Masyarakat perlu dilibatkan dalam siklus kebijakan pembangunan yang terdiri dari proses perencanaan, penatausahaan, pelaksanaan, dan evaluasi hasil kegiatan. Pendekatan ini seharusnya bisa melahirkan politic value dan modal sosial yang kuat.

Sama halnya dari lingkungan ekonomi. Demokrasi seharusnya semakin mengakomodasi peran dan kepentingan banyak pihak (bukan segelintir) untuk dapat memperjuangkan hak-hak ekonominya. Ketimpangan ekonomi bukan semata-mata dihitung dari ketimpangan pendapatan/pengeluaran, melainkan juga menyinggung ketimpangan akses untuk dapat berekonomi secara efisien.

Oleh karena itu, kebijakan pemerintah perlu lebih diarahkan untuk mengentaskan golongan kaum yang masih “terpinggirkan”. Mereka perlu difasilitasi untuk mengatasi ketertinggalan agar ketimpangan tidak semakin melebar. Keberpihakan negara bisa ditunjukkan dengan memfasilitasi peningkatan produktivitas bagi pihak yang memang urgen untuk segera dibantu.

Pada umumnya jenis-jenis belanja yang memiliki dampak paling kuat terhadap produktivitas adalah belanja pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur. Peran Badan Usaha Milik Negara (BUMN) juga perlu didorong untuk mengatasi persoalan yang sekiranya tidak tuntas (efisien) ketika dibiarkan dalam mekanisme pasar bebas.

Selain itu pemerintah juga dapat menunjukkan keberpihakannya dengan memanfaatkan kebijakan investasi yang tengah digenjot kinerjanya agar ikut mengentaskan kebutuhan lapangan pekerjaan yang dituntut terus berkembang seiring meningkatnya jumlah populasi penduduk.

Akan tetapi sistem demokrasi juga perlu diberi desain kelembagaan yang ideal agar tidak salah arah. Saat negara melakukan sesuatu, dasar pijakan yang digunakan adalah undang-undang dan/atau peraturan yang dibuat melalui proses politik.

Saat banyak pihak memiliki kepentingan yang berlawanan, tujuan-tujuan yang ditetapkan akan sulit tercapai. Proses politik dalam demokrasi dapat bernilai strategis untuk memperkokoh pembangunan ekonomi.

Namun dengan beberapa kejadian tindak korupsi dan tindakan melawan hukum lainnya, hal itu menunjukkan bahwa pola demokrasi kita sedang disalahgunakan oleh beberapa oknum. Padahal seharusnya demokrasi harus dibangun dengan etika dan tata nilai yang berlaku dan hidup di negara itu, tidak sekadar diimpor dari negara/bangsa lain tanpa proses adaptasi yang komprehensif.

Ke depannya, kualitas demokrasi harus lebih baik untuk menunjang pembangunan ekonomi yang lebih progresif. Ketika demokrasi berjalan jauh dari kualitas yang diharapkan, capaian ekonominya akan sangat mungkin bernilai rendah.

Saat ini demokrasi di Indonesia sedang dalam masa ujian yang berat. Beberapa pelaku utama demokrasi (khususnya dari partai politik) semakin banyak yang “dijemput” Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena adanya tindakan korupsi dan melawan etika.

Bagaimana pemerintah dapat menjelaskan produk hukum dari pola demokrasi yang semacam ini? Apakah terdapat celah yang menganga dari sisi pengawasan, pendidikan (kesadaran), atau tingkat hukuman yang kurang berefek jera? Semoga demokrasi yang kita terus pertahankan dan dijalankan akan menghasilkan produk-produk kebijakan yang membawa Indonesia lebih baik dan berkesinambungan. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar