Demokrasi
dan Ekonomi
Candra Fajri Ananda ; Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis,
Universitas Brawijaya
|
KORAN
SINDO, 26 Maret 2018
SEBAGAIMANA negara yang
menganut paham Keynesian, peran pemerintah melalui kebijakan publik menjadi
sangat penting. Ihwal ini dimungkinkan pada saat situasi pasar tidak lagi
pada posisi seimbang dan cenderung inefisien.
Dalam kerangka kebijakan
fiskal, peran pemerintah terasosiasi pada tiga hal, yakni fungsi distribusi,
alokasi, dan stabilisasi. Tujuan utamanya tidak lain agar perekonomian di
wilayahnya saat mengalami gangguan mampu bangkit dan kembali pada pasar yang
kondusif, termasuk di dalamnya tidak menimbulkan kemiskinan dan jurang
ketimpangan yang melebar.
Saat ini, di mana diskusi
kondisi ekonomi menjadi hangat dan tendensius, praktis intervensi pemerintah
amat dibutuhkan agar gejolak yang terjadi tidak semakin bergerak liar.
Konstelasi politik yang semakin mendekati momentum-momentum pemilihan (kepala
daerah, parlemen, dan presiden) membuat publik menjadi kian sensitif dengan
isu-isu kebijakan pembangunan ekonomi.
Mudah-mudahan meskipun
kita sama-sama tahu bahwa informasi semakin diwarnai berbagai paradoks,
tenaga kita jangan sampai dimanfaatkan untuk memperbesar daya pergesekan.
Semuanya harus ditangani dengan kepala dingin untuk melancarkan demokrasi
yang teduh, tenang, dan bermuara pada ketenteraman sosial.
Akhir-akhir ini ruang
media banyak dihiasi dengan diskursus tentang cara pemerintah dalam mengelola
utang, kepastian hukum, serta penanganan kemiskinan/ketimpangan yang
diembuskan kubu oposisi. Dampaknya lagi-lagi membuat publik kembali terbelah.
Adapun situasi yang
terjadi seperti sekarang ini tidak lain adalah buah dari sistem politik
demokrasi yang tengah kita anut.
Sebenarnya proses
pemilihan secara demokratis akan senantiasa melahirkan dua kubu yang menang
dan kalah, pihak yang menang (terpilih) akan menjadi pemangku kebijakan
(pemerintah), sebaliknya kubu yang kalah akan menjadi pihak oposannya
(oposisi). Struktur demikian sudah sangat lazim dalam demokrasi sehingga kita
sebetulnya tidak perlu berlebihan dalam merespons apa yang tengah dilakukan
para pelaku utama demokrasi (politisi) selama memang apa yang mereka perbuat
tidak sampai merusak iklim demokrasi dan bertentangan dengan tata nilai dan
aturan yang berlaku.
Pihak yang berseberangan
dengan pemerintah menyoroti ketimpangan yang membelenggu perekonomian kita.
Saat ini indeks rasio gini kita sudah sedemikian masif tingkat kenaikannya
jika dibandingkan dua dekade sebelumnya.
Pada September 2017
kemarin, angka rasio gini kita berada di angka 0,393. Dibandingkan dengan 3–5
tahun sebelumnya memang sudah tampak adanya penurunan. Akan tetapi jika
dibandingkan dengan masa-masa akhir tahun 1990-an, kondisinya justru jauh
lebih buruk.
Survei yang dilakukan
lembaga keuangan Swiss, yakni Credit Suisse (2017), dan lembaga Oxfam (2017)
ikut mengonfirmasi betapa buruknya distribusi kekayaan di Indonesia. Credit
Suisse menyatakan bahwa sekitar 45% total kekayaan Indonesia hanya dikuasai
1% penduduk terkayanya. Memang angkanya sudah sedikit turun bila dibandingkan
dengan setahun sebelumnya yang distribusi kekayaan 1% orang terkaya ekuivalen
dengan 49,3% total kekayaan, tetapi proporsi tersebut masih tidak masuk akal
karena penduduk sisanya hanya mendapatkan “sisa”.
Sementara itu hasil kajian
Oxfam juga menunjukkan gejala yang serupa. Total kekayaan empat orang terkaya
sudah setara dengan total kekayaan 40% golongan penduduk termiskin yang
jumlahnya sekitar 100 juta penduduk.
Oxfam menilai bahwa
pertumbuhan ekonomi yang sering kali kita banggakan manfaatnya tidak
terdistribusi secara merata. Jadi sebenarnya pertumbuhan ekonomi hanya
mengendap pada segelintir masyarakat yang terkaya saja.
Setidaknya dari dua kajian
tersebut, kita perlu berani untuk mengakui bahwa persoalan ketimpangan dan
kesenjangan merupakan masalah yang harus segera dituntaskan. Era reformasi
memang mampu memperlancar roda demokrasi. Persentase penduduk miskin juga
dapat terus ditekan. Namun di sisi yang lain era reformasi dan penguatan
demokrasi justru turut memperlebar jurang ketimpangan.
Ketimpangan ekonomi ini
bisa mendorong kohesi ketimpangan sosial lainnya yang jika tidak segera
diatasi akan memicu lahirnya konflik/instabilitas sosial dan politik. Lantas,
bagaimana solusinya?
Menegakkan
Demokrasi Ekonomi
Era Reformasi membawa
angin perubahan besar-besaran dalam sistem pembangunan Indonesia. Pola
kebijakan yang sebelumnya amat sentralistik ikut mendapatkan reformasi
melalui kebijakan desentralistik.
Keran partisipasi publik
dalam tahap perencanaan kebijakan pun semakin diperlebar melalui pola
bottom-up planning-nya. Struktur pemerintahan dari lapis yang terendah (skala
desa) mulai mendapatkan peluang untuk memengaruhi penyusunan kebijakan di
tingkat nasional. Bahkan masyarakat juga semakin leluasa memilih siapa saja
figur yang layak menjadi walinya di lingkup pemerintahan eksekutif dan
legislatif.
Secara konseptual, ide ini
begitu menggairahkan karena semakin banyak pihak yang diberikan ruang untuk
memperjuangkan hak-hak pembangunannya. Demokrasi disebut-sebut mulai
menemukan “rumahnya”, sebab telah semakin banyak mengakomodasi peran banyak
pihak dalam siklus kebijakan.
Akan tetapi jika menilik
kondisi yang sekarang ini terjadi (khususnya terkait ketimpangan), betulkah
reformasi dan demokrasi telah berhasil mencapai tujuannya? Selain itu apakah
benar bahwa usulan-usulan masyarakat telah menjadi bagian penting dalam
perumusan kebijakan seperti yang tertuang dari ide bottom-up planning?
Jawaban dari kedua
pertanyaan tersebut mungkin hingga saat ini masih sulit untuk ditetapkan.
Kalaupun “dipaksakan”, apakah hasil-hasil indikator makroekonomi sudah mampu
merepresentasikan hasil-hasil reformasi dan demokrasi di dalam pembangunan
ekonomi? Mungkin jawaban yang paling dekat dapat kita ambil berdasarkan
tingkat partisipasi masyarakat untuk mendapatkan akses dan manfaat dari
kegiatan-kegiatan ekonomi.
Ide demokrasi sangat
identik dengan teori partisipasi dalam pembangunan. Demokrasi seharusnya
membuka keadilan terhadap akses-akses untuk dapat hidup sejahtera secara
sosial dan ekonomi. Hubungan secara sosial dimaksudkan dengan semakin eratnya
jalinan modal sosial antara masyarakat dengan pemangku kebijakan (khususnya
pemerintah).
Masyarakat perlu
dilibatkan dalam siklus kebijakan pembangunan yang terdiri dari proses
perencanaan, penatausahaan, pelaksanaan, dan evaluasi hasil kegiatan.
Pendekatan ini seharusnya bisa melahirkan politic value dan modal sosial yang
kuat.
Sama halnya dari
lingkungan ekonomi. Demokrasi seharusnya semakin mengakomodasi peran dan
kepentingan banyak pihak (bukan segelintir) untuk dapat memperjuangkan
hak-hak ekonominya. Ketimpangan ekonomi bukan semata-mata dihitung dari
ketimpangan pendapatan/pengeluaran, melainkan juga menyinggung ketimpangan
akses untuk dapat berekonomi secara efisien.
Oleh karena itu, kebijakan
pemerintah perlu lebih diarahkan untuk mengentaskan golongan kaum yang masih
“terpinggirkan”. Mereka perlu difasilitasi untuk mengatasi ketertinggalan
agar ketimpangan tidak semakin melebar. Keberpihakan negara bisa ditunjukkan
dengan memfasilitasi peningkatan produktivitas bagi pihak yang memang urgen
untuk segera dibantu.
Pada umumnya jenis-jenis
belanja yang memiliki dampak paling kuat terhadap produktivitas adalah
belanja pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur. Peran Badan Usaha Milik
Negara (BUMN) juga perlu didorong untuk mengatasi persoalan yang sekiranya
tidak tuntas (efisien) ketika dibiarkan dalam mekanisme pasar bebas.
Selain itu pemerintah juga
dapat menunjukkan keberpihakannya dengan memanfaatkan kebijakan investasi
yang tengah digenjot kinerjanya agar ikut mengentaskan kebutuhan lapangan
pekerjaan yang dituntut terus berkembang seiring meningkatnya jumlah populasi
penduduk.
Akan tetapi sistem
demokrasi juga perlu diberi desain kelembagaan yang ideal agar tidak salah
arah. Saat negara melakukan sesuatu, dasar pijakan yang digunakan adalah
undang-undang dan/atau peraturan yang dibuat melalui proses politik.
Saat banyak pihak memiliki
kepentingan yang berlawanan, tujuan-tujuan yang ditetapkan akan sulit
tercapai. Proses politik dalam demokrasi dapat bernilai strategis untuk
memperkokoh pembangunan ekonomi.
Namun dengan beberapa
kejadian tindak korupsi dan tindakan melawan hukum lainnya, hal itu
menunjukkan bahwa pola demokrasi kita sedang disalahgunakan oleh beberapa
oknum. Padahal seharusnya demokrasi harus dibangun dengan etika dan tata
nilai yang berlaku dan hidup di negara itu, tidak sekadar diimpor dari
negara/bangsa lain tanpa proses adaptasi yang komprehensif.
Ke depannya, kualitas
demokrasi harus lebih baik untuk menunjang pembangunan ekonomi yang lebih
progresif. Ketika demokrasi berjalan jauh dari kualitas yang diharapkan,
capaian ekonominya akan sangat mungkin bernilai rendah.
Saat ini demokrasi di
Indonesia sedang dalam masa ujian yang berat. Beberapa pelaku utama demokrasi
(khususnya dari partai politik) semakin banyak yang “dijemput” Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) karena adanya tindakan korupsi dan melawan etika.
Bagaimana pemerintah dapat
menjelaskan produk hukum dari pola demokrasi yang semacam ini? Apakah
terdapat celah yang menganga dari sisi pengawasan, pendidikan (kesadaran),
atau tingkat hukuman yang kurang berefek jera? Semoga demokrasi yang kita
terus pertahankan dan dijalankan akan menghasilkan produk-produk kebijakan
yang membawa Indonesia lebih baik dan berkesinambungan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar