Ada
Apa Ekonomi Indonesia Zaman Now?
Fuad Bawazier ; Mantan Dirjen Pajak dan Menteri Keuangan RI
|
REPUBLIKA,
19 Maret
2018
Pertama, bahwa benar
Indonesia telah masuk kedalam G-20 karena PDB (GDP) pada urutan ke 16 dengan
nilai USD1Triliun (2017). Dengan jumlah penduduk pada urutan No. 4 setelah
China, India, dan USA, idealnya Indonesia pada urutan No.4 PDB. Sedangkan GDP
berdasarkan Purchasing Power Parity (PPP), Indonesia berada pada ranking 8.
Berbagai forecast memperkirakan baru pada tahun 2050 PDB Indonesia bisa
berada pada nomor urut 4, sesuai dengan jumlah penduduknya.
Meskipun GDP Indonesia
pada urutan ke-16, tetapi GDP percapitanya masih pada urutan ke-116,
sedangkan GDP – PPP per-capita ranking ke-100. Sementara nominal Gross
National Income (GNI) Indonesia pada ranking 17 tetapi GNI/capita masih
ranking 147 dan GNI/capita berdasarkan PPP pada ranking 122.
Dengan jumlah penduduk 260
Juta, maka nominal GDP per-capita USD 3850 sedangkan GNI/capita USD 3400,
artinya terdapat sekitar 10% GDP yang dimiliki asing. GDP maupun GNI
percapita ini akan lebih buruk lagi apabila dibuat kluster per kluster
mengingat besarnya ketimpangan kekayaan yang terjadi di Indonesia, dimana 1%
orang terkaya di Indonesia menguasai 45,5% kekayaan nasional, dan 10% terkaya
menguasai 75% kekayaan nasional.
Lebih spesifik lagi adalah
total kekayaan 40 orang terkaya di Indonesia meningkat tajam dari USD
22Miliar (2006) menjadi USD119 Miliar (2017) atau meningkat 5,5 kali dalam 10
tahun. Sementara itu pertumbuhan 40% orang terkaya dalam 10 tahun 317%, atau
4 kali pertumbuhan nasional. Ketimpangan ini adalah ketidakadilan yang
merupakan tantangan nyata bagi Presiden Jokowi.
Sedangkan berdasarkan data
BPS September 2017, penduduk Indonesia miskin adalah mereka yg pengeluarannya
per orang per hari dibawah Rp 387,160. Artinya pengeluaran per hari hanya
Rp12.905,- alias Kurang dari USD1 per hari. Angka yang tdk manusiawi.
Sedangkan kalau
menggunakan angka kemiskinan yang dipakai Bank Dunia yaitu pengeluaran
dibawah USD2/day (2014), penduduk Indonesia yang miskin tidak kurang dari
100juta jiwa. Inilah ketimpangan dan kemiskinan nyata yang dihadapi rakyat
Indonesia yang harus diurus oleh pemerintah daripada menonjolkan
kebanggaan semu sebagai anggota G20.
*****
Kedua, swasembada beras
masih semu dan swasembada pangan masih jauh dari harapan. Dalam rentang waktu
2000-2015 Indonesia selalu import beras dengan total 15,4 juta ton atau
rata-rata 1 Juta ton/tahun dengan nilai USD5,83Miliar atau Rp78,7Triliun
(kurs Rp13.500). Tidak ada import beras dalam tahun 2016 dan 2017 tetapi
kembali import 500.000 ton dalam tahun 2018.
Data tentang produksi dan
stock beras serta konsumsi beras di Indonesia dari waktu ke waktu sering
simpang siur antar instansi pemerintah. Kementerian Pertanian cenderung
melaporkan adanya surplus beras sementara Kementerian Perdagangan cenderung
sebaliknya (defisit) sehingga mendorong adanya import beras.
Dibalik import beras yang
relatif kecil tadi sebenarnya Indonesia semakin bergantung pada pangan import
yaitu biji gandum (wheat grain) yang sebagian besar dikonsumsi sebagai
substitusi beras. Artinya bila tidak ada impor wheat grain, Indonesia masih
harus import beras lebih besar lagi.
Dalam tahun 2015 dan tahun
2016 Indonesia import biji gandum masing-masing sebesar 7,4 Juta ton dan 10,5
Juta ton atau naik 42% sedangkan dalam tahun 2017 impor biji gandum 11,5Juta
ton (senilai USD 2,6Miliar) atau kenaikan sebesar 9% dari tahun 2016. Biji
gandum ini diolah menjadi tepung terigu (wheat flour) di 25 pabrik pengolah
(flour mills) yang 80% berlokasi di pulau Jawa, untuk berbagai produk seperti
bakery, noodle, dan biscuit oleh penguasaha kecil dan menengh (small and
medium enterprises) sebesar 66 %)dan
oleh industri besar dan moderen (big and modern industry) sebesar 34%.
Pengertian atau slogan
diversifikasi pangan juga sering ditafsirkan dan diarahkan kepada alternative
lain dari beras, bahkan yang bersumber dari bahan pangan import. Pergeseran
(shifting) ke pangan import khususnya gandum, dalam jangka panjang akan
semakin melemahkan ketahanan pangan nasional sebab Indonesia belum siap untuk
menanam gandum. Berbeda dengan ketergantungan pada import beras yang masih
berpeluang diatasi dengan produksi sendiri.
Ketiga adalah soal utang
pemerintah yang selama 3 tahun lebih pemerintahan Jokowi naik sekitar Rp
1200Triliun, jauh melebihi kenaikan pendapatan pajak yang stagnan sebagai
ukuran kemampuan bayar utang. Pemerintah selalu berdalih bahwa utang negara
yang kini berjumlah Rp 4000triliun atau sekitar 29,5% dari PDB adalah masih
jauh dibawah ketentuan Undang-undang Keuangan Negara yang batas maksimalnya
60% PDB, dan jauh pula dibawah ratio utang negara-negara lain. Utang Jepang
yang sering dijadikan pembanding ratio utangnya terhadap PDB jauh diatas 200%
tetapi Jepang mempunyai ciri-ciri tersendiri yaitu : 1. Utangnya kepada
rakyatnya sendiri dan kepada Bank Sentral Jepang dengan ratio masing-masing
sekitar 50% 2. Utangnya dalam mata uangnya sendiri yaitu Yen. 3. Bunganya
sangat rendah hanya sedikit diatas 1%. Bandingkan dengan bunga utang
Indonesia yang tertinggi di Asia dan bahkan sebagiannya masih 2 digit.
4. Kredit rating jepang A+
alias sangat secure sementara rating Indonesia BBB. 5. Meskipun utang Jepang
tinggi tetapi dari kaca mata riil ekonomi Jepang mempunyai net international
investment positions USD 2.8 Triliun yang berarti memiliki net external
assets positif alias bangsa kreditor.
Kenyataan ini berbeda
dengan Indonesia yang net international investmen positionnya negatif sekitar
USD 400Miliar alias mempunyai net external liabilities atau benar-benar
negara dengan neraca sebagai negara debitor.
Pemerintah tidak
membandingkan tax ratio Jepang yang 31% PDB sementara tax ratio Indonesia
kurang dari 11% atau praktis yang terendah di Dunia. Pemerintah juga tidak
membandingkan dengan ratio APBN terhadap PDB di Indonesia yang amat rendah
dibandingkan dengan ratio yang sama dari negara- negara lain yang sering
dijadikan pembanding.
Begitu pula dengan debt
service ratio di Indonesia yang 40% atau tertinggi di Asia Tenggara,
sementara batas yang dianggap aman maksimal 25%. Sementara itu sekitar 41%
utang negara dalam valuta asing. Dengan average time to maturity 9 (Sembilan)
tahun dan yang bertenor (jatuh tempo) 5 (lima) tahun sebesar 40% nya, akan
menjadi beban berat APBN dalam 5 (lima) tahun kedepan.
*****
Kekhawatiran lain adalah membengkaknya
utang pemerintah karena kurs rupiah yang cenderung melemah sehingga
diperlukan uang dari pendapatan pajak yang lebih banyak lagi untuk pembayaran
utang dalam valas. Kekhawatiran lebih lanjut adalah keterbatasan valas untuk
membayar utang dalam mata uang asing mengingat 5 (lima) hal, yakni;
1.Neraca perdagangan yang
cenderung defisit. Dalam 3 (tiga) bulan terakhir ini yaitu dari Desember
sampai dengan Februari 2018 mengalami defisit total USD 1,1Miliar atau rata
rata USD 364juta.
2.Kenaikan cadangan devisa
yang bersumber dari utang luar negeri dan hot
money yang sewaktu-waktu
mudah ditarik keluar negeri.
3. Tax ratio yang rendah
tetapi cenderung menurun yang mengindikasikan kedepan kemampuan pemerintah
akan menurun dalam memenuhi kewajiban pembayaran utangnya.
4. Sektor industri yang
merupakan penyumbang pajak (tax revenue) sebesar 31% cenderung menciut karena
terjadinya de-industrialisasi yaitu dari 28% (1997) menjadi 20% PDB (2017).
5. Kenaikan anggaran 2018
untuk subsidi seperti listrik dan BBM yang akan membebani ekstra APBN karena
Presiden Jokowi ingin menjaga dukungan politik rakyat dalam menghadapi pemilu
2019 .
Cepat atau lambat pasar
akan menyadari bahwa pemerintah akan memasuki masa-masa sulit untuk memenuhi
kewajiban pembayaran utangnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar