Kamis, 29 Maret 2018

Ormas dan Ramalan Indonesia Bubar

Ormas dan Ramalan Indonesia Bubar
Akh Muzakki  ;   Sekretaris PW NU Jawa Timur;
Guru Besar UIN Sunan Ampel Surabaya
                                                      JAWA POS, 27 Maret 2018



                                                           
PEKAN ketiga Maret 2018 menjadi saksi penting dua peristiwa nasional. Pada 19 Maret 2017, beredar rekaman pidato Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto yang menengarai Indonesia bubar pada 2030. Rujukan Prabowo adalah novel Ghost Fleet (Armada Hantu) karya P.W. Singer dan August Cole (2015). Novel itu menceritakan ’’perang dunia selanjutnya” menyusul tren dan teknologi dunia nyata.

Lima hari setelah rekaman pidato Prabowo, pimpinan PB NU dan PP Muhammadiyah bertemu di gedung PB NU Jakarta. Pertemuan itu terbilang istimewa. Sebab, baru kali ini di era dua periode kepemimpinan KH Said Aqil Siroj selaku ketua umum PB NU, terjadi pertemuan pucuk pimpinan dua ormas Islam terbesar di Indonesia (Jawa Pos, 24/3).
Pertemuan itu menghasilkan tiga keputusan tentang agenda NU-Muhammadiyah ke depan. Pertama, akan terus-menerus menyerukan saling tolong-menolong melalui sedekah dan derma. Kedua, menegakkan kebaikan. Ketiga, mengupayakan rekonsilisasi atau perdamaian kemanusiaan.

Pilar Civil Society

Bertemunya pimpinan NU-Muhammadiyah itu merupakan angin segar bagi Indonesia di tengah ramalan bubar sekaligus penting untuk menjawab kekhawatiran tentang masa depan bangsa dan negara ini. Apalagi, membayangkan Indonesia bubar, seperti tampak pada sinyalemen dan atau kekhawatiran di atas, tampak gegabah jika tidak diiringi dengan pembacaan yang jeli dan saksama terhadap bangunan kemasyarakatan dan kebangsaan Indonesia dengan muslim sebagai penganut agama terbesar di dalamnya.

Karena itu, penting ditekankan bahwa yang membedakan Indonesia dengan dunia Islam pada umumnya adalah postur sosial-politiknya. Pergerakan sosiologis masyarakat dalam kaitannya dengan negara berciri khas. Di negara-negara dunia Islam pada umumnya, yang ada hanya dua: negara (state) dan rakyat (people). Di bawah struktur pemerintah sebagai instrumen dan sekaligus representasi negara, yang ada langsung rakyat.

Dengan begitu, di negara-negara dunia Islam pada umumnya, negara dan rakyat bisa saling berhadapan jika ada masalah. Atau, jika ada pihak-pihak tertentu dalam struktur kekuasaan negara sedang berebut kuasa politik, rakyat bisa menjadi korban besar.

Di Indonesia, di antara negara dan rakyat itu, masih ada kekuatan ma- syarakat madani (civil society). Dalam realitasnya, masyarakat madani ini menjadi pilar yang berfungsi variatif dalam menjaga relasi negara dan rakyat, mulai dari menopang (supporting), menyambungkan (bridging), dan bahkan mengoreksi (evaluating) kerja hubungan tersebut. Fungsi-fungsi itu terkadang berjalan secara sporadis dan terkadang pula secara kumulatif.

Berjalannya fungsi-fungsi tersebut, diakui atau tidak, secara politik berdampak langsung kepada relasi negara dan rakyat. Jika ada masalah pada level negara, korbannya tidak langsung rakyat. Jika ada konflik di internal pelaku pemegang kuasa politik negara, rakyat tidak langsung terkorbankan. Kalaulah begitu, kekuatan masyarakat madani seperti NU dan Muhammadiyah bisa memainkan peran mediasi secara efektif.
Itu semua karena kekuatan masyarakat madani bisa memainkan peran sebagai penopang, penyambung, dan bahkan pengoreksi kerja hubungan antara negara dan rakyat dimaksud. Selama kekuatan masyarakat madani terjamin solid, negara cenderung masih bisa tertopang dengan baik.

Di sinilah nilai penting ormas besar seperti NU dan Muhammadiyah. Dengan kekuatan besarnya sebagai simpul masyarakat madani dengan struktur yang mapan, NU dan Muhammadiyah bisa berperan sebagai pilar penjaga struktur kemasyarakatan, kebangsaan, dan bahkan kenegaraan Indonesia.

PR Kesejahteraan Sosial

Fungsi NU dan Muhammadiyah sebagai kekuatan masyarakat madani di atas cenderung semakin menguat. Ada dua faktor pemicunya. Pertama, keduanya sama-sama mengembangkan Islam yang moderat, toleran, dan penuh damai. Kedua, keduanya berada dalam situasi dan pandangan politik yang serupa. Yakni, samasama selesai dalam menempatkan relasi Islam dan negara. Bahkan, keduanya mengerangkai situasi dan pandangan politiknya secara apik hingga bangunan ideologis Islam dan negara relatif selesai dan menemukan titik finalnya dalam kerangka NKRI.

Tapi, penting untuk dicatat, ideologi saja tidak cukup. Ideologi butuh basis material agar langsung bisa bergerak ke dalam praktik diri. Basis material dimaksud terutama dalam bentuk modal dan ketahanan ekonomi.
Pertemuan elite NU dan Muhammadiyah menyiratkan harapan atas sinerginya kerja besar warga bangsa ini untuk membangun negerinya. Pekerjaan rumah yang tersisa adalah mewujudkan kesejahteraan sosial. Itu disebabkan rakyat dan atau warga masyarakat tidak semata-mata hidup di atas ideologi yang diyakini, tetapi juga di atas kebutuhan riil.

Di sinilah kesejahteraan sosial penting untuk menjamin tegaknya ideologi Islam yang moderat, toleran, dan penuh damai pada satu sisi, sekaligus untuk menopang NKRI dari kebangkrutan mental dan politik. Di sini pulalah pentingnya sinergi NU dan Muhammadiyah untuk menjamin Indonesia dari bubar mental dan bubar politik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar