Senin, 26 Maret 2018

Menolak Toleransi terhadap Korupsi

Menolak Toleransi terhadap Korupsi
Ribut Lupiyanto  ;   Deputi Direktur C-PubliCA
(Center for Public Capacity Acceleration)
                                                  KORAN SINDO, 24 Maret 2018



                                                           
LANGKAH pemerintah da­lam hal keberpihakan pem­b­erantasan korupsi pa­tut disayangkan. Hal ini ter­kait permintaan pemerintah me­lalui Menko Polhukam Wi­ran­to kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) agar me­nunda pengumuman ter­sang­ka korupsi yang berasal da­ri para calon kepala daerah. Ma­nu­ver ini kontraproduktif dan la­yak disebut sikap toleran ter­ha­dap korupsi.

KPK sebelumnya agresif me­la­kukan operasi tangkap ta­ngan (OTT) kepada kepala dae­rah yang kembali bertarung pa­da Pilkada 2018. Selain itu KPK juga berniat mengumumkan be­be­rapa calon kepala daerah lain sebagai tersangka korupsi.

Dinamika ini memang di­le­ma­tis  an­ta­ra penegakan hukum dan ke­pen­tingan politik. Hu­kum h­rus ditegakkan tanpa in­ter­­ven­si, sedangkan politik mem­­b­u­tuh­kan kepastian hu­kum bu­kan sandera. Titik temu k­e­­dua­nya sebenarnya ada pada ke­­jer­nih­an berpikir dan in­te­gri­tas se­mua pihak. Jalan keluar mes­ti di­temukan segera. Out­put-nya ada­lah menjamin de­mo­krasi yang berkualitas dengan tetap ber­orientasi kepada pem­­b­e­ran­tas­an korupsi.

Politik Uang

Setiap musim tahun politik se­lalu dihantui hadirnya politik uang. Apa pun yang terjadi po­li­tik uang mesti dihadang demi me­minimalisasi korupsi lima ta­hun mendatang. Di sinilah pe­ran kaum perempuan yang m­e­mi­liki suara signifikan dinanti un­tuk lantang menghadang po­li­tik uang.

Politik uang menjadi bibit ko­rupsi yang menjadi penyakit kro­nis Indonesia. Korupsi su­dah kompleks dan melewati batas-batas nalar kemanusiaan (hy­per corruptus). Transparency In­ternasional (TI) merilis bah­wa Indeks Persepsi Korupsi ta­hun 2017 nilainya 37. Nilai ter­sebut menempatkan Indonesia di peringkat ke-96.  Indeks per­sep­si korupsi Indonesia dari 2016 ke 2017 sama, yaitu 37, ta­pi peringkatnya turun. Pada 2016, Indonesia berada di pe­ring­kat ke-90.

Pemilu kerap dijalani de­ngan logika bisnis. Uang kam­pa­nye adalah modal yang mesti kem­bali bahkan menjadi laba se­lama masa jabatan. Politik uang yang tidak logis jika ditilik da­lam kalkulasi gaji sangat ren­tan menimbulkan malapraktik po­litik seperti korupsi, gra­ti­fi­ka­si, dan sejenisnya. Politik uang juga menjadi mitos yang ma­sih diyakini peserta pemilu men­jadi kunci kemenangan dan sulit dihindari.

Produk logis dari politik uang ada­lah korupsi dan ko­rup­si ke­rap terjadi di tahun politik de­mi modal politik uang. Fe­no­me­na ini terus berputar mem­ben­tuk ling­karan setan. Alhasil ko­rupsi politik bertengger di ja­jar­an atas ka­sus korupsi di ne­ge­ri ini.

Sepanjang tahun 2017 ter­da­pat 43 perkara yang di­ta­ngani KPK, 20 perkara di an­ta­ra­nya melibatkan anggota DPR atau DPRD dan 12 bupati atau wa­li kota dan wakilnya.

Jelang Pilkada 2018, KPK su­dah melakukan tangkap ta­ngan terhadap enam kepala dae­rah yang juga akan ber­ta­rung dalam kontestasi de­mo­kra­si. Mereka antara lain Bupati Su­bang Imas Aryumningsih, Bu­pati Ngada NTT Marianus Sae, Bupati Ngan­juk Taufiqur­rah­man, Bu­pa­ti Halmahera Ti­mur Rudi Ira­wan, Bupati Jom­bang Nyono Su­­harli, dan Bupati Ku­tai Kar­ta­ne­gara Rita Widyasari. Terakhir KPK menangkap Wali Kota Ma­lang M Anton.

Akar penyakit korupsi di bi­dang politik menurut Larmour (da­lam Djabbar, 2013) antara lain penyalahgunaan kek­ua­sa­an (abuse of power), pe­ming­gir­an suara rakyat (duplicitous ex­clu­sion), serta persekongkolan ne­gara dan bisnis (business and sta­te relation).

JPPR (2014) mengingatkan, ada dua modus operandi umum prak­tik politik uang. Pertama, mo­dus politik uang dapat di­la­ku­kan antara peserta pemilu atau tim sukses dan pemilih. Mo­dus ini paling lazim terjadi. Pub­lik kadang tidak berdaya me­nerima, tidak sadar sebagai po­l­itik uang, menerima demi ke­­pentingan publik, dan se­ba­gi­an kecil pro aktif meminta ka­re­na desakan ekonomi.

Kedua, antara kandidat atau tim sukses dengan penye­leng­ga­ra, mulai KPPS hingga KPU. Mo­dus di antara kandidat dan pe­nye­lenggara berjalan dua arah. Hal ini dikarenakan upah pe­nye­leng­gara yang dianggap ren­dah dan iming-iming pe­ser­ta yang meng­giurkan. Imbalan po­litik uang biasanya adalah ma­n­ip­u­la­si suara dalam rekapitulasi.

Hantu politik uang semakin me­rajalela dengan kehadiran ca­lo suara. Calo suara meng­klaim dapat menjamin pe­me­nang­an kursi di berbagai ting­kat bagi caleg dan parpol. Calo me­minta jatah upah tinggi se­lain biaya untuk membeli suara. Se­jauh ini belum ada kepastian se­berapa persen dan seberapa be­sar sampai ke pemilik suara.

Alternatif Solusi

Penundaan pengumuman jika memang sudah memiliki buk­ti kuat jelas akan menjadi pin­tu masuk adanya kasus ko­rup­si baru. Hal ini mengingat ada­nya kebutuhan biaya politik pil­kada. Namun KPK mestinya ju­ga menjamin bahwa data-da­ta sebelum pengumuman resmi ti­dak akan bocor bahkan k­epa­da pemerintah sekalipun. Tu­ju­an­nya agar tidak menyandera daf­tar calon tersangka yang ter­nya­ta tidak jadi ditersangkakan.

Pilkada dengan peserta ter­sang­ka korupsi akan menim­bul­kan masalah demokrasi. Par­pol dan pendukung akan di­ru­gikan karena peluang me­nang menjadi akan tipis. Ada­pun jika menang akan me­nim­bul­kan masalah baru setelah ja­d­i. Proses pergantian nan­ti­nya akan memanaskan dinamika po­litik kembali.

Jalan tengahnya adalah t­e­pat menurut KPK, yaitu pe­me­rin­tah diimbau menerbitkan per­aturan pemerintah peng­gan­ti undang-undang (perppu) yang merevisi UU Pemilu. Poin yang direvisi adalah calon ke­pa­la daerah yang ditetapkan se­ba­gai tersangka harus digantikan oleh pengusungnya. Tentu sya­rat dan ketentuan berlaku sama se­perti sebelumnya dalam hal kualifikasi.

Hanya masalah wak­tu mesti dicermati agar ti­dak mengganggu tahapan jad­wal pilkada. Sejalan dengan upaya me­ngi­kis politik uang selama pil­kada mesti tetap dijalankan. Po­li­tik uang tidak jarang di­ka­bur­kan dengan biaya politik. Biaya po­l­itik tidak dapat dimungkiri ba­nyak dibutuhkan peserta pe­mi­lu.

Biaya ini mestinya di­tu­ju­kan untuk aktivitas politik yang di­restui regulasi. Adapun ba­tas­an politik uang  adalah ­men­jan­ji­kan sesuatu agar pemilih tidak meng­gunakan atau meng­gu­na­kan hak pilihnya. Tindak politik uang semakin sistematis, ber­ja­ring­an rapi, dan bervariasi ben­t­uk­nya. Kondisi menuntut ke­de­wasaan dan kejujuran pes­er­ta pemilu, ketegasan pe­nye­leng­gara, dan kecerdasan pub­lik untuk bisa memilahnya.

Politik uang tidak bisa te­rj­a­di jika bertepuk sebelah tangan. Ada pemberi dan harus ada pe­ne­rima. Fakta ini menuntut ke­te­r­paduan penghadangan dari s­e­mua lini dan komponen.
Pertama  dari sisi peserta pe­mi­lu. Caleg dan parpol mesti me­nunjukkan kejujuran dan kedewasaan berpolitik. Politik uang perlu disadari hanyalah mi­tos politik.

Kedua  dari sisi penye­leng­ga­ra p­e­milu. KPU mestinya me­nge­luarkan regulasi rinci ter­kait bentuk-bentuk kampanye yang ter­golong politik uang. Se­la­ma ini definisi politik uang ter­lalu umum dan sering kabur da­lam me­nilai kasus. Sosialisasi pen­ting dilakukan masif be­ker­ja s­a­ma dengan pemerintah dae­rah dan jajarannya. Badan Peng­awas Pe­milu (Bawaslu) juga mesti tegas dan adil dalam me­negakkan atur­an terkait po­li­tik uang.

To­le­ran­si dan ke­ga­mang­an meni­n­dak akan s­e­ma­kin menyu­bur­kan politik uang. Hal yang paling meng­­kha­w­at­ir­kan jika terjadi per­selingkuhan po­litik. Peserta pe­m­ilu ber­po­ten­si menyogok penyelenggara agar tidak di­tin­dak segala tin­dak­annya yang ren­tan melang­gar aturan. Mekanisme p­el­­a­por­­an juga perlu di­per­­mudah dan disosialisasikan ke publik. Ba­waslu mestinya pe­ka men­cer­mati modifikasi mo­dus po­li­tik uang yang semakin di­kemas kreatif.

Ketiga, dari sisi publik. Pub­lik mes­ti cerdas memilah dan me­­mi­lih antara politik uang yang haram dengan biaya po­li­tik yang ha­lal. Kesadaran awal pen­ting di­tumbuhkan bahwa po­litik uang merupakan bibit pe­nyakit ko­rupsi. Amplop yang ber­nilai ti­dak seberapa hanya akan dinikmati sesaat, tetapi uang rak­yat dengan nilai ber­li­pat akan ber­potensi digarong se­lama menjabat. Publik mem­bu­tu­h­kan pendidikan politik yang men­cerahkan. Publik juga da­pat di­dorong menjadi peng­awas yang siap proaktif me­la­por­kan ji­ka terjadi tindak po­li­tik uang.

Keempat  dari sisi ma­sya­ra­kat sipil seperti LSM, aka­de­mi­si. Komponen ini ditunggu pe­ran­nya dalam melakukan pen­di­dikan politik. Informasi aku­rat dan rinci dibutuhkan publik. Ge­rakan sosial juga penting di­ga­lang dalam rangka meng­ha­dang politik uang. Politik uang mes­ti gencar dikampanyekan se­b­agai kejahatan politik dan mu­suh bersama bangsa.

Sebagaimana hantu, politik uang diyakini ada dan menjadi ra­hasia umum, tetapi susah me­la­cak dan menangkapnya. Lang­kah terpenting adalah ba­gai­ma­na bisa mencegah sejak di­ni. Pendekatan spiritualitas dan mo­ralitas penting ditem­puh se­ca­ra implementatif un­tuk pencegahan. Penegakan hu­kum j­u­ga penting untuk mem­be­rikan efek jera. Transparansi finansial mes­ti dituntut secara ter­buka ke­­pada peserta pemilu. Se­mua lang­kah menuntut operasio­na­li­sa­si yang penuh to­ta­li­tas, ke­ter­pa­duan, dan sistematis. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar