Sabtu, 24 Maret 2018

Interpreter Being

Interpreter Being
Komaruddin Hidayat  ;   Guru Besar Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
                                                  KORAN SINDO, 23 Maret 2018



                                                           
MANUSIA adalah makhluk penafsir (an interpreter being). Semua realitas yang berada di lingkungan sekitarnya, termasuk berbagai peristiwa yang terjadi, adalah sebuah teks yang selalu menjadi objek penafsiran.

Mata telanjang menangkap fenomena, sedangkan mata hati dan pikiran ingin menemukan noumena. Kesejatian itu berkerudung, tampil sebagai fenomena sehingga untuk mengenalnya maka kita mesti menafsirkannya, tidak boleh berhenti pada kata-kata. Menafsirkan berarti juga menyeberangi jembatan teks, cross over, untuk mendekati makna di balik teks. Ibarat orang hendak mendapatkan daging kelapa, maka dia mesti mengurai serabut dan memecah batoknya. Dalam bahasa sehari-hari cross over ini disebut iktibar, sebuah kata yang berasal dari bahasa Arab, yang artinya adalah juga menyeberangi atau melampaui kata dan peristiwa.

Sejak kecil, kita dilatih untuk menafsirkan kata, gerak, dan peristiwa. Ketika langit gelap, itu tanda akan hujan. Ketika di langit ada pelangi, itu berarti bidadari lagi pada mandi. Ketika burung prenjak beterbangan di depan rumah dan hinggap di atap, itu pertanda akan ada tamu jauh. Ketika enak-enakan tidur mendengar ayam berkokok, berarti matahari sudah terbit di ufuk timur. Demikianlah seterusnya, alam seisinya ini menjadi objek penafsiran oleh manusia. Tentu saja tidak semua hasil penafsiran valid. Sesuai dengan namanya, alam berarti tanda (token, sign) yang memang mesti ditafsirkan. Kata alam juga telah masuk memperkaya kosa kata Indonesia, seakar dengan kata “alamat”.

Orang yang bepergian tidak pandai membaca alamat, akan susah sampai di tujuan. Ketika ilmuwan melakukan riset tentang fenomena alam, sesungguhnya dia sedang melakukan interogasi dan penafsiran pada alam agar mengenalkan dan menyingkapkan dirinya tentang sifat dan karakternya yang tersembunyi yang pada urutannya menghasilkan kaidah-kaidah ilmiah yang disebut hukum alam dan hukum sosial.

Formula hukum alam ini tak terbatas jumlahnya, yang mampu manusia identifikasi amatlah sedikit di hadapan semesta yang akbar ini. Itulah sebabnya ilmuwan sejati selalu rendah hati. Tidak merasa paling benar, lalu dengan gampang menyalahkan yang lain.

Di samping sangat terbatas capaian ilmunya tentang realitas semesta ini, hasil tafsirannya juga tidak absolut benar, sangat mungkin terkoreksi oleh ilmuwan berikutnya. Kata “ilmuwan” sendiri masih seakar dengan kata “alam” dan “ulama”, yang capaian puncaknya adalah merumuskan, menghimpun, dan mengajarkan hasil bacaan dan tafsirannya atas teks (alam). Jadi, di mata saintis, alam adalah pertanda yang hendak ditafsirkan melalui riset empiris untuk menemukan objektivitas yang tertutup oleh penampakan luar (fenomena). Sementara di mata teolog, alam adalah jejak-jejak kehadiran dan kekuasaan Tuhan untuk ditelusuri agar semakin mendekat kepada-Nya.

Wahyu Alquran yang turun pertama kali berbunyi “iqra” adalah perintah hermeneutik, baik berupa penafsiran empiris terhadap fenomena alam, fenomena sosial, maupun penafsiran kontemplatif-metafisis untuk mengenal sang Penciptanya melalui jejak-jejak karya-Nya berupa teks semesta. Setidaknya kita memiliki dua modal dalam melakukan penafsiran. Pertama, kinerja akal budi yang logis sistematis selama setia mengikuti hukum logika. Dalam otak kita, terdapat program bawaan (given) berupa kategori-kategori yang memungkinkan kita melakukan analisis, analogis, dan komparatif yang hasilnya bisa dipahami, dikomunikasikan, dan diterima oleh penalaran universal, seperti halnya yang terjadi dalam ranah matematika, yang menjadi basis sains.

Oleh karena itu, kaidah sains yang sifatnya rasional lebih mudah diterima oleh siapa pun, mampu merobohkan tembok agama, etnis, dan bangsa. Menyebarkan kebenaran sains lebih mudah ketimbang menyebarkan agama dan ideologi. Kedua, adalah bahasa. Manusia juga di sebut animal symbolicum karena manusia mampu menciptakan simbol-simbol bahasa yang kemudian menjadi sarana untuk menafsirkan dan mengomunikasikan hasilnya sehingga bahasa menjadi rumah bersama. Language is the house of being, kata Heidegger.

Kecanggihan manusia mengidentifikasi, mengklasifikasi, dan menyistematisasi objek di sekitarnya juga tersirat dalam Alquran (QS 2:1) bahwa Allah telah mengajarkan kepada Adam nama-nama, suatu pengajaran yang tidak dimiliki makhluk lain. Bayangkan, andaikan tak ada hukum logika dan nama-nama, maka realitas ini sulit ditafsirkan dan dikonstruksikan. Secara fisik, wujud manusia itu kecil di tengah semesta ini, tak ubahnya belalang yang lenyap ditelan belantara hutan. Namun, dalam diri manusia terdapat akal budi yang kita sendiri tidak tahu di mana batas akhirnya, sekalipun kita yakin bahwa akal budi itu terbatas. Dalam diri manusia, terdapat roh ilahi yang menyambungkan rasa rindu dalam kalbunya yang terdalam dengan Tuhan yang Mahakasih.

Di mana pun berada, manusia selalu menafsirkan objek apa pun yang dijumpainya. Manusia saling menafsirkan yang lain. Gerakan mata, mulut, tangan, dan tubuh, kesemuanya merupakan teks yang selalu mengundang penafsiran. Ketika datang sosok yang mengenalkan diri utusan Allah, manusia tidak langsung percaya, sampai-sampai muncul yang namanya mukjizat untuk menaklukkan nalar yang menantangnya. Ketika Rasul itu mengenalkan kitab suci, nalar kritis bertanya, bagaimana mungkin kalam yang datang dari Tuhan yang Mahagaib itu menggunakan lisan budaya. Kalam yang absolut dan universal diwadahi dalam wadah yang relatif dan lokal.

Lagi-lagi, manusia mesti melakukan penafsiran dengan modal nalar dan bahasa, didorong oleh kuriusitas untuk mengenal dan mendekati Tuhan yang selalu dibayangkan dan dirindukan. Karena penafsiran tak pernah final, dan kadang melelahkan, maka pada momen tertentu nalar merasa tak berdaya, lalu memutuskan untuk percaya. Sebuah leap of faith, sebuah loncatan iman untuk mengusir interupsi keraguan guna menggapai Tuhan dengan penuh keyakinan. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar