Gubernur-Gubernur
Luar Biasa
Imam Shamsi Ali ; Presiden Nusantara Foundation
|
REPUBLIKA,
06 Maret
2018
Saya telah diberikan kesempatan
bertemu dengan banyak gubernur. Dari gubernur negara bagian New York yang
lalu, George Pataki, Gubernur New York saat ini, Andrew Cuomo, hingga ke
banyak gubernur di Indonesia.
Semua tentunya memiliki
kelebihan-kelebihannya masing-masing. Baik itu terekspos mau tidak. Ada
terekspos dari memang pencitraan, dan itu juga kelebihan bagi sebagian
gubernur yang ahli pencitraan. Tapi ada juga yang memang terekspos dengan
sendirinya oleh media.
Kehebatan gubernur-gubernur yang
akan saya sebutkan ini sangat eksepsional (luar biasa). Semakin mengenal mereka
akan semakin terasa keistimewaan itu. Allah Yang Maha Penyayang memberikan
“tafdhiil” (kelebihan) kepada hamba-hamba-Nya yang dipilih.
1. Gubernur yang ustadz. Ustaz
yang gubernur.
Saya sudah pertama kali
menginjakkan kaki di Bandung disaat masih duduk di bangku kelas 2 SMU (kelas
5 pondok pesantren). Ketika itu saya mewakili Sul-Sel pada kejuaraan silat
nasional di Unisba tahun 1986. Saya sempat merebut juara dua kejuaraan
nasional Ikatan Pencak Silat Indonesia (IPSI) ketika itu.
Memori masa itu terulang ketika
tiga empat tahun lalu saya mendapat kesempatan berkunjung kembali ke kota
bunga itu. Sebuah kunjungan yang istimewa karena salah satunya dberikan
penghargaan menyampaikan sharing pengalaman dakwah di Amerika di masjid
gubernuran, Gedung Sate.
Sebelum itu kami diterima oleh
Gubernur Jawa Barat, Al-Ustadz Dr. Ahmad Herawan. Gubernur yang lebih nyaman
disapa dengan Kang Aher ini menerima kami dengan penuh keramahan dan
persahabatan. Ikatan hati yang dihiasi keindahan iman itu begitu kuat, sehingga
seolah kami sudah sangat lama saling kenal dan bersahabat.
Tulisan ini tidak akan mampu
mendeskripsi siapa beliau. Terlalu naif, dan rasanya zholim, jika tulisan
sesingkat ini diakui mewakili karakterstik Kang Aher. Beliau adalah sosok
yang luar biasa dalam kehidupan yang biasa. Beliau istimewa dalam
kesederhanaan. Mungkin jika ketemu dan belum mengenal sebelumnya, akan ada
yang kurang percaya kalau beliau seorang pejabat.
Ketawadhuan, kesederhanaan,
keramahan, keterbukaan, semuanya menjadi penghias intelektualitas yang
terbangun di atas fondari religiositas yang tinggi. Dalam masa sekitar 2-3
tahun ini setiap kali saya hadir di kota Bandung, beliau selalu mengacarakan
kuliah subuh bagi jamaah gubernuran.
Yang menarik adalah ketika sang
gubernur menyampaikan ceramah, pasti mengalir bagaikan air segar dari mulut
beliau ayat-ayat dan hadits. Juga penguasaan beliau tentang sejarah peradaban
dunia sangat luas. Dibarengi pula oleh soliditas intelektualitas yang
mumpuni. Hal ini menjadikan beliau lebih nampak sebagai da’i ketimbang
seorang gubernur yang berhasil.
Walhasil, bagi beliau posisi
sebagai gubernur bukan tujuan. Tapi sebagaimana motto hidup seorang aktifis:
“nahnu du’aat qabla kulli syae” (kita adalah da’i-da’i dalam segala hal).
Maka jabatan bagi seorang Kang Aher adalah hanya satu dari seribu jembatan
menuju kemenangan itu.
Satu hal yang istimewa bahwa
setiap kali saya ingin mampir ke Jawa Barat, saya langsung mengomunikasikan
dengan beliau. Seingat saya beliau selalu saja memberikan jawaban positif:
“baik ustadz. Akan saya sesuaikan jadwalnya”.
Beberapa hari lalu saya kembali
diberikan kesempatan untuk bersilaturrahim dengan beliau. Kunjungan saya kali
ini membawa misi besar bagi kelangsungan dakwah di Amerika Serikat. Yaitu
membangun pondok pesantren pertama di Amerika Serikat. Beliau menyambut
sangat positif, bahkan tanpa pikir panjang mengambil bahagian penting dari
perjuangan itu.
Terima kasih Kang Aher. Terima
kasih Jawa Barat. Semoga Kang Aher dan Jawa Barat diberikan kemuliaan yang
lebih tinggi lagi, dunia dan akhirat. Amin!
2. Sang hafiz, gubernur termuda
negeri ini.
Saya sudah cukup lama mendengar
nama beliau. Bahkan sejak mengenal
beliau, baik melalui tulisan atau berita di luar alam sadar saya menumbuhkan
kekaguman tersendiri.
Betapa tidak, TGB (Tuan Guru
Bajang), demikian beliau digelari, adalah sosok yang multi-dimensi yang
membanggakan. Konon juga arti Tuan Guru Bajang itu berarti Tuan Guru Muda.
Sebuah penyebutan atau gelar yang memang sesuai dengan realitanya. Beliau
muda tapi tidak diragukan lagi akan keilmuan beliau dalam agama. Dan ini
menjadikan beliau berada pada posisi Tuan guru.
Sebagaimana Gubernur Jawa Barat,
TGB yang terpilih sebagai gubernur NTB ini di saat sangat muda menjadikannya
tercatat di MURI sebagai gubernur termuda di Indonesia ketika itu.
Bagi saya pribadi, jabatan adalah
karunia yang Allah berikan kepaa siapa yang dipilihnya. “Engkau memberi
kerajaan siapa yang Engkau kehendaki”. Dan karenanya posisi beliau sebagai
gubernur bukan penilaian pertama dan terutama.
Bagi saya, justeru yang paling
menarik adalah bagaimana beliau merupakan personifikasi antara seorang ulama
dan umara. Kepemimpinan beliau sangat diilhami oleh jiwa keulamaan. Dan
keulamaan beliau terpantul dalam gaya kepemimpinan beliau.
Sosok Gubernur NTB ini
sesungguhnya merupakan jawaban terhadap asumsi bahwa agama ketika bersentuhan
dengan politik menumbuhkan kediktatoran dalam dua sisi. Kediktatoran politik
dan kediktatoran pemikiran.
Ternyata TGB membuktikan bahwa
seorang politisi yang beragama akan lebih hebat dan bertanggung jawab. Karena
pertanggung jawabannya tidak saja karena alasan demokrasi kepada rakyat. Tapi
yang terpenting adalah pertanggung jawaban imani kepada Pencipta alam
semesta.
Kepribadian yang tak banyak bicara
menggambarkan kedalaman ilmu beliau. Sosok intelektual yang “cool” (menarik),
luas, rasional di satu sisi. Tapi sangat tegas dalam memegan kebenaran di
sisi lain. Dan kesemua itu dibalut oleh keindahan karakter dan komunikasi
yang lembut.
Ketegasan atas kebenaran dan
kejujuran itu menjadikan beliau dengan terbuka mengeritik kebijakan
pemerintah pusat, khususnya kementerian yang terkait dengan perdaganan dan
pertanian, dihadapan presiden negeri ini. Akan tetapi kritikan tajam dan
terbuka itu tidak menyakitkan telinga pendengar, tidak juga menjadikan hati
manusia mengerang. Karena sekali lagi disampaikan dalam bahasa yang santun,
dan dari hati yang ikhlas “lillah” demi kepentingan rakyat.
Bulan Desember lalu Tuan Guru
Bajang hadir di Amerika untuk menjadi pembicara di Muktamar IMSA (Indonesian
Muslim Society in America). Kehadirannya diterima dengan kegembiraan dan
kebahagiaan oleh muktamirin. Maklum, beliau seorang ulama besar, pemegang
gelar Doktor di bidang ilmu Alquran.
Tapi tidak kalah pentingnya beliau
banyak disebut sebagai wajah pemimpin bangsa ke depan. Apapun tafsiran kata
“pemimpin” itu, hanya Allah yang akan membuktikannya. Beliau bukan tipe orang
ambisius. Tapi beliau juga bukan tipe orang yang akan melarikan diri dari
tanggung jawab itu.
Hanya doa yang kupanjatkan semoga
sang gubernur yang tahun ini mengakhiri tugas dua term akan memasuki babak
baru dalam tugas dan perjuangannya. Apapun itu, semoga Allah memberikan
kemuliaan yang lebih tinggi kepada beliau. Amin!
3. Ahli politik yang santri.
Pada diri seorang Anies Baswedan
terdapat ragam keunikan. Saya mengenal beliau sejak menjadi ketua senat
mahasiswa di UGM. Tulisan-tulisan beliau, kalau tidak salah, di Panjimas
ketika itu menjadi bacaan rutin saya. Dan sejak itu pula saya mengagumi
beliau sebagai aktifis yang intelektual dan intelektual yang aktifis.
Pertemuan antara saya dengan
beliau kemudian terjadi, bahkan berkali-kali, ketika beliau mengambil studi
pasca sarjana di Amerika Serikat. Menyelesaikan Master beliau di salah satu
universitas di Washington DC dan PhD beliau di Urbana Illinois.
Pertemuan-pertemuan itu semakin memperbesar kekaguman saya kepada beliau.
Kalau di masa lalu saya mengagumi
beliau karena pemikiran dan analisanya yang tajam dan cerdik, kini kekaguman
itu karena kepribadian dan karakter nyata di depan mata. Kecerdikan dan
pemikiran seringkali menjadi hambar dan kurang menarik ketika dibarengi oleh
karakter busung dada. Anies Baswedan terbentuk oleh ketajaman akal dan hati. Sosok
yang digambarkan dan dipuji sebagai “ulul albab” dalam Alquran.
Sekembali dari Amerika tidaklah
mengejutkan jika Anies menempati posisi akademis yang bergengsi. Menjadi
rektor Universitas Paramadina di Jakarta. Selanjutnya di masa awal
pemerintahan Jokowi, Anies terpilih menjadi salah seorang menterinya. Sayang,
kekuatan arus politik internal pemerintahan Jokowi menjadikan beliau
diberhentikan.
Kemapanan jiwa dan kedewasaan
politiknya menjadikan Anies tidak sama sekal merasa kehilangan dengan pemberhentian
itu. Keyakinannya kepada Dia yang mengatur langit dam bumi membawanya kepada
kesimpulan bahwa tiada peristiwa yang terjadi, besar atau kecil, kecuali
punya makna tersendiri.
Beliau jalani hidup mengikut
hempasan ombat taqdir Ilahi. Dan di tengah suasana panas di ibukota itu
beliau tampil sebagai alternatif. Kehadiran beliau seolah kiriman kado bagi
warga Jakarta yang sudah mulai merasakan kepenatan birokrasi yang kaku dan
menyesakkan.
Ketika beliau maju menjadi calon
gubernur DKI, tanpa pikir panjang saya pribad mendukung beliau. Beliau
sebenarnya diserang dari dua arah; kiri dan kanan. Oleh arah kanan beliau
difitnah sebagai syiah. Dari arah kiri sudah pasti beliau dianggap calon
gubernur radikal.
Ternyata ketika Allah telah
memutuskan sesuatu tak siapapun uang menghalaginya. Beliau terpilih sebagai
gubernur untuk semua warga Jakarta. Terpilih dengan hasil di atas rata-rata
perkiraan banyak kalangan.
Pasca terpilihnya menjadi
gubernur, saya mendapat kehormatan bersilaturrahim dengan beliau di
balaikota. Saya sebenarnya tidak ingin mengganggu jadwal beliau. Tapi beliau
malah meluangkan waktu bersama kami, selain jumatan juga santap siang
bersama.
Saya mengikuti dari dekat
langkah-langkah publik beliau. Kebesaran jiwa menghadapi tantangan-tantangan
politik menjadikannya semakin dicintai rakyat. Kekuatan iman pula menjadi
modal keberanian beliau mengambil kebijakan yang mungkin di mata sebagian
kurang populer. Tapi demi agama, DKI dan warganya beliau berani menutup
tempat-tempat maksiat.
Mungkin yang paling mengesankan
dan membuka mata semua orang adalah ketegasan beliau menentang reklamasi
Jakarta. Sebuah proyek besar yang sarat kepentingan dan sangat politis. Tapi
yang terpenting tidak berpihak ke rakyat banyak.
Inilah yang menjadikan beliau pastinya
dibenci oleh sebagian yang punya kepentingan. Insiden aneh terjadi misalnya
di lapangan Bung Karno beberapa waktu lalu. Seorang gubernur, tuan rumah,
pemenang pula, tidak perkenankan mendampingi Presiden RI menyerahkan piala di
panggung. Hal kecil, tapi dengannya Allah buka tabir kebencian itu.
Doa saya untuk pak Gubernur,
semoga dikuatkan, dijaga dan dimudahkan dalam menjalankan amanah warga
Jakarta. Maju kotanya, bahagia warganya. Keberhasilan beliau dalam beberapa
bulan saja, menjadikan ada pihak-pihak yang dag dig dug...khawatir, dan
mungkin merasa terancam.
Akhirnya, pemimpin masa depan
bangsa dan negara ini memang masanya dari kalangan muda, cerdik, berwawasan
dan visioner, dan tak kalah pentingnya memiliki kepedulian kepada nilai-nilai
agama dan moralitas. Dan saya sangat yakin, tiga gubernur yang luar biasa ini
menjadi harapan kita semua. Amin! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar