Sabtu, 24 Maret 2018

KPK dan Karpet Merah Koruptor

KPK dan Karpet Merah Koruptor
Umbu TW Pariangu  ;   Dosen FISIP Undana, Kupang
                                              MEDIA INDONESIA, 24 Maret 2018



                                                           
EDITORIAL Media Indonesia (22/3) menampilkan kegusarannya dengan tajuk KPK Rusak dari Dalam. Ini merupakan respons terhadap blunder Tim Pencegah Korupsi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang Senin (19/3) kemarin menyelenggarakan kegiatan Monitoring dan Evaluasi Rencana Aksi Program Pemberantasan Korupsi Terintegrasi di Provinsi Jambi.

Acara itu dinodai oleh kehadiran Gubernur Jambi Zumi Zola yang ikut hadir bahkan membuka acara tersebut. Zumi telah ditersangkakan oleh KPK atas kasus korupsi menerima hadiah atau janji terkait proyek-proyek di Provinsi Jambi senilai Rp5 miliar. KPK juga telah mengeluarkan SK tentang pencegahan bepergian ke luar negeri terhadap dirinya sejak 25 Januari 2018.

Kehadiran Zumi di acara penting pencegahan korupsi tersebut menuai tanda tanya. Kenapa KPK segampang itu memberi karpet merah terhadap figur tersangka korupsi. Padahal, sejak dirinya resmi menjadi tersangka korupsi, publik pun paham saat itu pula legitimasi etis dan moralnya sebagai seorang pejabat runtuh.

Secara nalar etis, seorang pelaku praktik yang dimusuhi masyarakat tidak boleh lagi memperoleh privilege apa pun secara sosial dan politis untuk menghadiri acara-acara yang bersifat kepublikan, apalagi yang terkait dengan pemberantasan korupsi. UU tentang KPK pun sudah jelas mengatakan bahwa pimpinan dan pegawai KPK dilarang mengadakan hubungan langsung atau tidak langsung dengan tersangka atau pihak lain yang ada hubungan dengan perkara korupsi yang ditangani KPK. 

Jangan anakronistik

Larangan itu penting untuk ditegakkan. Pertama, demi menjaga dan menyelamatkan persepsi publik terhadap pentingnya pemerintahan yang bersih dan berwibawa. Sejauh ini kita tahu negara terus berjibaku melakukan kampanye dan aksi nyata melawan korupsi untuk menyelamatkan muruah penabirannya.

Sudah banyak pejabat dari level pusat sampai pejabat di level daerah yang masuk bui karena terjerat korupsi. Namun, sayangnya preseden kelam tersebut tak memantik efek jera. Seperti tisu yang ditarik dan muncul lagi tisu berikutnya, seperti itu wajah kemaruk pejabat kita dalam membantai ekspektasi keadilan publik.

Mereka yang semestinya menjadi pelayan rakyat, yang bertugas menjaga dan melindungi pemenuhan hak-hak keadilan dan kesejahteraan rakyat justru dibombardir roh gigantis korupsi di segala level sehingga jabatan yang dimiliki dijadikan sebagai instrumen untuk mengeksploitasi sumber daya kekuasaan demi memperkaya diri sendiri dan keluarga.

Kedua, untuk menyelamatkan persepsi publik terhadap keberadaan KPK sebagai institusi yang bersih, independen, dan demokratis. KPK ialah lembaga independen yang dimandatkan oleh rakyat untuk melakukan misi sakral memerangi kebatilan korupsi di Tanah Air. Sebagai institusi yang lahir dari rahim rakyat, KPK seharusnya memiliki komitmen yang sungguh untuk menjaga misi sucinya, termasuk membentengi diri agar tidak digembosi oleh kepentingan subjektif yang mendegradasi kredibilitasnya serta melemahkan taring otoritasnya di hadapan koruptor. 

KPK yang diidolakan sebagai ‘tim buru sergap’ koruptor mestinya tidak anakronistik. Sejarah selalu mengajarkan bahwa iktikad perlawanan terhadap kebatilan yang memusnahkan kebaikan bersama dengan merampas hak-hak kesejahteraan rakyat akan didukung penuh oleh rakyat semesta. Namun, jika sebaliknya, KPK pasti akan berbalik diresistensi rakyatnya.

KPK harusnya tidak boleh kecolongan melawan serbuan licik para komplotan pencoleng uang negara dengan segala derivatnya. Kalau sampai terjadi hal seperti itu bisa dipastikan KPK akan mudah digoyang secara hukum dan politis, terutama oleh anak kandung, rakyatnya sendiri.

Kita takut, nyala api pemberantasan korupsi menjadi padam dalam perjalanannya karena KPK membiarkan dirinya dirusaki sikap ambivalen-dramaturgis, yakni di satu panggung menyatakan diri sebagai musuh koruptor, tetapi di panggung lain, justru bersalaman dengan koruptor.

KPK memang menyatakan tidak pernah meminta Zumi Zola untuk membuka dan menghadiri acara pencegahan korupsi yang dilakukan bersama Pemprov Jambi. Namun, ini menjadi bertolak belakang dengan argumen lain KPK yang mengatakan bahwa KPK sudah mengagendakan acara tersebut jauh-jauh hari. Jika memang sudah diagendakan sejak lama, mestinya persiapannya sudah sangat matang. KPK secara koordinatif dan komunikatif perlu menjamin bahwa acara itu bersih dari elemen-elemen yang memproduksi polemik dalam masyarakat. Suatu koordinasi yang sudah menjadi makanan sehari-hari untuk lembaga sementereng KPK.

KPK dan good governance

Kita jangan lupa, KPK dalam setiap wejangannya dalam pelbagai forum pencegahan dan pemberantasan korupsi selalu menekankan hubungan eliminasi korupsi dengan pelaksanaan good governance (GG). Spirit itu tentu bukan sekadar aforisma lembaga demi pencitraan semata, tetapi memiliki makna substantif yang patut diterjemahkan KPK secara serius di dalam ruang implementasi konkret.

Menurut Graf, Huberts dan Smulders (2014), penerapan good governance merupakan upaya untuk menjawab tantangan dalam mengelola ketegangan yang muncul akibat berbagai nilai publik yang saling bertentangan. Menurut mereka, nilai GG tidak hanya terkait dengan performing governance (efisiensi dana efektivitas), responsive governance (partisipasi, transparansi, legitimasi dan akuntabilitas). Namun juga yang tak kalah pentingnya ialah proper governance (integritas, keadilan, kesetaraan dan kepatuhan pada hukum). Artinya, KPK dalam melakukan pemberantasan korupsi harus menjauhkan dirinya dari sentuhan nilai-nilai kompromi-pragmatis yang merusak integritas dirinya.         

Makanya akhir-akhir ini rakyat banyak yang menghendaki KPK tak boleh masuk ke jerat inflasi konsumsi pernyataan yang berpotensi menjadikan KPK terseret ke ranah politis-multitafsir. Alih-alih bergerak dalam ruang senyap pemberantasan korupsi, tetapi kaya penetratif, tindakan inflasi pernyataan KPK itu justru akan mengerdilkan tubuhnya sendiri di dalam kerongkongan penilaian sumir dan insinuatif publik yang menganggap KPK bermain politik praktis.

Rakyat sudah sepakat, KPK ialah ujung tombak pemberantasan korupsi. Itu berarti setiap perilaku yang mencerminkan penegakan hukum yang objektif dan rasional ialah harga mati yang harus dijiwai oleh KPK. Negara hukum, bukanlah negara yang bejibun aturan-aturan hukum semata, tapi negara yang diatur oleh nilai keadilan bagi semua (Fisman dan Miguel, 2007). Korupsi harus dilawan dengan mata pedang independensi, keadilan yang tajam, bukan dengan emosionalitas balutan sikap dan perilaku distortif yang memincangkan langkah-langkah pemberangusan korupsi di Tanah Air.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar