KPK
dan Karpet Merah Koruptor
Umbu TW Pariangu ; Dosen FISIP Undana, Kupang
|
MEDIA
INDONESIA, 24 Maret 2018
EDITORIAL
Media Indonesia (22/3) menampilkan kegusarannya dengan tajuk KPK Rusak dari
Dalam. Ini merupakan respons terhadap blunder Tim Pencegah Korupsi Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) yang Senin (19/3) kemarin menyelenggarakan
kegiatan Monitoring dan Evaluasi Rencana Aksi Program Pemberantasan Korupsi
Terintegrasi di Provinsi Jambi.
Acara
itu dinodai oleh kehadiran Gubernur Jambi Zumi Zola yang ikut hadir bahkan
membuka acara tersebut. Zumi telah ditersangkakan oleh KPK atas kasus korupsi
menerima hadiah atau janji terkait proyek-proyek di Provinsi Jambi senilai
Rp5 miliar. KPK juga telah mengeluarkan SK tentang pencegahan bepergian ke
luar negeri terhadap dirinya sejak 25 Januari 2018.
Kehadiran
Zumi di acara penting pencegahan korupsi tersebut menuai tanda tanya. Kenapa
KPK segampang itu memberi karpet merah terhadap figur tersangka korupsi.
Padahal, sejak dirinya resmi menjadi tersangka korupsi, publik pun paham saat
itu pula legitimasi etis dan moralnya sebagai seorang pejabat runtuh.
Secara
nalar etis, seorang pelaku praktik yang dimusuhi masyarakat tidak boleh lagi memperoleh
privilege apa pun secara sosial dan politis untuk menghadiri acara-acara yang
bersifat kepublikan, apalagi yang terkait dengan pemberantasan korupsi. UU
tentang KPK pun sudah jelas mengatakan bahwa pimpinan dan pegawai KPK
dilarang mengadakan hubungan langsung atau tidak langsung dengan tersangka
atau pihak lain yang ada hubungan dengan perkara korupsi yang ditangani
KPK.
Jangan anakronistik
Larangan
itu penting untuk ditegakkan. Pertama, demi menjaga dan menyelamatkan
persepsi publik terhadap pentingnya pemerintahan yang bersih dan berwibawa.
Sejauh ini kita tahu negara terus berjibaku melakukan kampanye dan aksi nyata
melawan korupsi untuk menyelamatkan muruah penabirannya.
Sudah
banyak pejabat dari level pusat sampai pejabat di level daerah yang masuk bui
karena terjerat korupsi. Namun, sayangnya preseden kelam tersebut tak
memantik efek jera. Seperti tisu yang ditarik dan muncul lagi tisu
berikutnya, seperti itu wajah kemaruk pejabat kita dalam membantai ekspektasi
keadilan publik.
Mereka
yang semestinya menjadi pelayan rakyat, yang bertugas menjaga dan melindungi
pemenuhan hak-hak keadilan dan kesejahteraan rakyat justru dibombardir roh
gigantis korupsi di segala level sehingga jabatan yang dimiliki dijadikan
sebagai instrumen untuk mengeksploitasi sumber daya kekuasaan demi memperkaya
diri sendiri dan keluarga.
Kedua,
untuk menyelamatkan persepsi publik terhadap keberadaan KPK sebagai institusi
yang bersih, independen, dan demokratis. KPK ialah lembaga independen yang
dimandatkan oleh rakyat untuk melakukan misi sakral memerangi kebatilan
korupsi di Tanah Air. Sebagai institusi yang lahir dari rahim rakyat, KPK
seharusnya memiliki komitmen yang sungguh untuk menjaga misi sucinya,
termasuk membentengi diri agar tidak digembosi oleh kepentingan subjektif
yang mendegradasi kredibilitasnya serta melemahkan taring otoritasnya di
hadapan koruptor.
KPK
yang diidolakan sebagai ‘tim buru sergap’ koruptor mestinya tidak
anakronistik. Sejarah selalu mengajarkan bahwa iktikad perlawanan terhadap
kebatilan yang memusnahkan kebaikan bersama dengan merampas hak-hak
kesejahteraan rakyat akan didukung penuh oleh rakyat semesta. Namun, jika
sebaliknya, KPK pasti akan berbalik diresistensi rakyatnya.
KPK
harusnya tidak boleh kecolongan melawan serbuan licik para komplotan
pencoleng uang negara dengan segala derivatnya. Kalau sampai terjadi hal
seperti itu bisa dipastikan KPK akan mudah digoyang secara hukum dan politis,
terutama oleh anak kandung, rakyatnya sendiri.
Kita
takut, nyala api pemberantasan korupsi menjadi padam dalam perjalanannya
karena KPK membiarkan dirinya dirusaki sikap ambivalen-dramaturgis, yakni di
satu panggung menyatakan diri sebagai musuh koruptor, tetapi di panggung
lain, justru bersalaman dengan koruptor.
KPK
memang menyatakan tidak pernah meminta Zumi Zola untuk membuka dan menghadiri
acara pencegahan korupsi yang dilakukan bersama Pemprov Jambi. Namun, ini
menjadi bertolak belakang dengan argumen lain KPK yang mengatakan bahwa KPK
sudah mengagendakan acara tersebut jauh-jauh hari. Jika memang sudah
diagendakan sejak lama, mestinya persiapannya sudah sangat matang. KPK secara
koordinatif dan komunikatif perlu menjamin bahwa acara itu bersih dari
elemen-elemen yang memproduksi polemik dalam masyarakat. Suatu koordinasi
yang sudah menjadi makanan sehari-hari untuk lembaga sementereng KPK.
KPK dan good governance
Kita
jangan lupa, KPK dalam setiap wejangannya dalam pelbagai forum pencegahan dan
pemberantasan korupsi selalu menekankan hubungan eliminasi korupsi dengan
pelaksanaan good governance (GG). Spirit itu tentu bukan sekadar aforisma
lembaga demi pencitraan semata, tetapi memiliki makna substantif yang patut
diterjemahkan KPK secara serius di dalam ruang implementasi konkret.
Menurut
Graf, Huberts dan Smulders (2014), penerapan good governance merupakan upaya
untuk menjawab tantangan dalam mengelola ketegangan yang muncul akibat
berbagai nilai publik yang saling bertentangan. Menurut mereka, nilai GG
tidak hanya terkait dengan performing governance (efisiensi dana
efektivitas), responsive governance (partisipasi, transparansi, legitimasi
dan akuntabilitas). Namun juga yang tak kalah pentingnya ialah proper
governance (integritas, keadilan, kesetaraan dan kepatuhan pada hukum).
Artinya, KPK dalam melakukan pemberantasan korupsi harus menjauhkan dirinya
dari sentuhan nilai-nilai kompromi-pragmatis yang merusak integritas
dirinya.
Makanya
akhir-akhir ini rakyat banyak yang menghendaki KPK tak boleh masuk ke jerat
inflasi konsumsi pernyataan yang berpotensi menjadikan KPK terseret ke ranah
politis-multitafsir. Alih-alih bergerak dalam ruang senyap pemberantasan
korupsi, tetapi kaya penetratif, tindakan inflasi pernyataan KPK itu justru
akan mengerdilkan tubuhnya sendiri di dalam kerongkongan penilaian sumir dan
insinuatif publik yang menganggap KPK bermain politik praktis.
Rakyat
sudah sepakat, KPK ialah ujung tombak pemberantasan korupsi. Itu berarti
setiap perilaku yang mencerminkan penegakan hukum yang objektif dan rasional
ialah harga mati yang harus dijiwai oleh KPK. Negara hukum, bukanlah negara
yang bejibun aturan-aturan hukum semata, tapi negara yang diatur oleh nilai
keadilan bagi semua (Fisman dan Miguel, 2007). Korupsi harus dilawan dengan
mata pedang independensi, keadilan yang tajam, bukan dengan emosionalitas
balutan sikap dan perilaku distortif yang memincangkan langkah-langkah pemberangusan
korupsi di Tanah Air. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar