Retorika
Penjeraan Narkotika
Choky R Ramadhan ; Pengajar Hukum Acara Fakultas Hukum Universitas
Indonesia; Ketua MAPPI FHUI
|
KOMPAS,
27 Maret
2018
Retorika hukuman berat
dalam perkara narkotika tetap mendominasi wacana publik. Hukuman mati sebagai
upaya penjeraan pelaku tindak pidana narkotika masih diyakini banyak pihak.
Begitu pula penghukuman penjara masih dianggap paling efektif membuat
pengguna tak kembali menikmati narkotika.
Faktanya dalam perkara
narkotika, penjeraan adalah suatu hal yang sulit untuk dicapai meski hukuman
yang diatur dan dijatuhkan sangat berat. Saat ini, ancaman hukuman yang
mendominasi bagi kejahatan narkotika adalah penjara.
Dalam kejahatan narkotika, Douglas Husak
menyatakan bahwa pemenjaraan berdurasi lama dan frekuensi tinggi yang
diberikan bagi pengguna narkotika, tidak memiliki korelasi dalam mengurangi
penggunaan narkotika (Husak, 2003).
Di Indonesia, misalnya,
jumlah pengguna dan pengedar narkotika yang ditahan dan dipenjara meningkat
sangat tajam sejak diberlakukannya UU No 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
Pada Desember 2010, jumlah tahanan dan terpidana narkotika seluruhnya 3.183
orang. Penanhanan dan pemenjaraan terhadap pengedar maupun pengguna narkotika
meningkat pesat hingga 2.847 persen dalam kurun waktu tujuh tahun hingga
mencapai jumlah 90.616 orang.
Semakin banyak pelaku
kejahatan narkotika yang dikurung di balik jeruji besi tak diiringi dengan
penurunan prevalensi penggunaan narkotika.
Sebelum UU No 35 Tahun
2009 tentang Narkotika diberlakukan, prevalensi penyalahgunaan narkotika
sebanyak 1,99 persen dari total penduduk atau 3,6 juta jiwa dalam kurun waktu
2006-2010 (Sulastiana, 2013). Akan tetapi pada 2014, prevalensi pengguna narkotika
meningkat menjadi 2,8 persen dari total penduduk atau 5,1 juta orang (Azhar,
2014).
Dampak penjara dalam
mengurangi kejahatan secara umum juga dikritik dan dibantah pada beberapa
penelitian. Kejahatan di Amerika Serikat, misalnya, tetap tinggi meski negara
itu paling banyak memenjarakan orang. Semakin banyak orang yang terkurung di
penjara belum tentu mengurangi kejahatan, namun yang pasti akan menambah
pengeluaran negara.
Penjara
bukan solusi
Tindakan yang dilakukan
kepada pengguna narkotika semestinya berbasiskan pada ilmu pengetahuan dan
bukti. Suatu kebijakan yang didasarkan pada emosi, retorika dan tanpa bukti
ilmiah cenderung menyesatkan. Bagi pengguna narkotika, penjara bukanlah
solusi yang paling jitu untuk dirinya maupun negara.
Penggunaan narkotika tidak
dapat dilepaskan dari faktor biologis, psikologis, dan sosial seseorang.
Terkait faktor biologis, toleransi seseorang terhadap alkohol dan obat-obatan
yang menimbulkan ketergantungan menurun melalui genetik (Kring, 2013).
Seorang anak atau anggota keluarga dari seseorang yang mengalami
ketergantungan juga memiliki angka tingkat ketergantungan lebih tinggi.
Faktor psikologis turut
berperan dalam penggunaan narkotika seperti (1) keinginan individu mengatasi
suasana hati; dan (2) adanya ekspektasi tertentu terkait penggunaan zat,
misalnya agar lebih bertenaga. Lingkungan sosial seperti pengaruh teman dan
bahkan keluarga, juga menjadi salah satu faktor penyebab penggunaan
narkotika.
Seseorang yang menggunakan
narkotika akan mengalami perubahan pada otak, psikis, dan fisik. Penggunaan
kembali narkotika dianggap sebagai jalan mengatasi rasa sakit fisik dan
kecemasan yang diderita. Cara kerja otak dalam jangka panjang juga berubah,
khususnya pada bagian pre-frontal yang berperan pada motivasi, memori,
kontrol atas impuls dan penilaian.
Kondisi seperti ini
berpotensi besar memunculkan periode penggunaan kembali (relapse) meskipun
telah dihukum penjara. Pemenjaraan terhadap pengguna narkotika justru akan
kian membuat keadaannya terpuruk dan tak teratasi permasalahan
ketergantungannya pada narkotika. Rekam kriminal yang melabeli seseorang juga
menghambat aksesnya untuk pendidikan dan pekerjaan yang layak.
Dalam jangka panjang,
tidak jarang seorang pengguna narkotika semakin terpuruk dan tergantung pada
penggunaan narkotika. Penelitian di Inggris, misalnya, menunjukkan pengguna
narkotika yang menjadi kecanduan sebagian besar berasal dari komunitas
miskin, dan untuk kecanduan ganja potensi besar terjadi bagi mereka yang
memiliki gangguan kejiwaan.
Oleh karenanya, tindakan
rehabilitasi dinilai lebih tepat bagi pengguna narkotika agar dapat mengelola
penggunaan dan meningkatkan kualitas hidupnya. Kualitas hidup yang baik ini
dapat diukur melalui kesehatan fisik, psikologis, kemandirian, relasi sosial,
lingkungan yang mendukung, dan religiusitas.
Mitos
hukuman mati
Keyakinan terhadap efek
jera hukuman mati juga perlu dibuktikan dengan penurunan peredaran narkotika.
Dalam periode kepemimpinan Presiden Joko Widodo, pemerintah telah
mengeksekusi mati sebanyak 14 orang pada 2015 dan empat orang pada 2016.
Semua eksekusi mati dilakukan terhadap terpidana kejahatan narkotika yang
mayoritas warga negara asing.
Pasca-eksekusi mati,
peredaran narkotika dalam jumlah besar masih kerap terjadi. Pada awal 2018, puluhan
kilogram yang siap diedarkan berhasil digagalkan. Produksi narkotika juga
terus dilakukan baik di tempat yang ramai dikunjungi banyak orang seperti
hiburan malam, ataupun yang dikendalikan oleh narapidana meski hukuman mati
mengancam mereka.
Pembuktian efek jera
hukuman mati berkali-kali dilakukan di berbagai negara. Di Amerika Serikat,
tidak ada penurunan kejahatan yang signifikan di negara bagian yang masih
mengeksekusi mati (Sellin: 1967 & 1980).
Tren angka kejahatan
pembunuhan juga sangat serupa antara negara bagian penghapus dan penahan
hukuman mati. Penurunan tingkat pembunuhan justru terjadi di negara yang
menghapus hukuman mati (Gebhard: 2005).
Selain itu studi atas
hubungan hukuman mati dan efek jera juga sudah pernah dilakukan dengan melibatkan
para pakar ilmu kriminologi di Amerika Serikat pada 2008. Di akhir studi,
para pakar berada pada konsensus bahwa hukuman mati tidak menambah efek jera
yang signifikan daripada pemenjaraan jangka panjang (Radelet & Lacock:
2009).
Apabila eksekusi mati
tidak didukung bukti kuat mengurangi kejahatan, efek jera pidana mati menjadi
mitos purbakala belaka. Pemerintah zaman modern sudah selayaknya tidak
mengambil kebijakan berdasarkan pada mitos serta lebih bijak sebelum
merenggut hidup seseorang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar