Paradoks
Empat Partai Baru Peserta Pemilu
Iqbal F Randa ; Alumnus Ilmu Politik FISIP Universitas Brawijaya
|
DETIKNEWS,
14 Maret
2018
Sebanyak
15 partai politik dipastikan akan mengikuti pertarungan di Pemilihan Umum
pada 2019 nanti. Jumlah itu ditetapkan setelah Partai Bulan Bintang (PBB)
secara dramatis memenangi gugatannya pada Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu)
terkait hasil verifikasi Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang sebelumnya hanya
meloloskan 14 partai. Drama tersebut menjadi 'bumbu tambahan' dalam persiapan
penyelenggaraan pemilu kali ini selain kehadiran empat partai politik baru
yang ikut berkompetisi.
Membicarakan
keikutsertaan empat partai baru dalam pemilu ini menjadi jauh lebih menarik
sebab mereka hadir dalam situasi yang terbilang sulit. Diketahui bila tingkat
kepercayaan publik terhadap partai politik saat ini begitu rendah. Selain
itu, hasil survei Indobarometer pada Maret 2017 lalu juga menunjukan bahwa
sebesar 62,9 persen masyarakat merasa tidak dekat dengan partai politik.
Tantangan
semakin berat mengingat pada helatan Pemilu 2019 nanti keempat partai baru
itu, yakni Partai Persatuan Indonesia (Perindo), Partai Solidaritas Indonesia
(PSI), Partai Berkarya, dan Partai Garuda akan bersaing ketat dengan para
partai lama untuk memperebutkan sekitar 196,5 juta suara aktif masyarakat.
Terkait hal itu, upaya diferensiasi menjadi kunci tantangan sekaligus
kesempatan bagi partai-partai baru yang mesti dihadapi.
Citra
maupun popularitas partai tentu menjadi ujian pertamanya. Partai-partai
dituntut untuk mampu tampil dalam pendekatan yang berbeda kepada masyarakat
dengan tujuan mendobrak kejenuhan masyarakat dalam memandang partai politik
yang selama ini terkesan koruptif sekaligus manipulatif. Bila hal itu mampu
dilakukan, kesempatan untuk partai baru dalam mengakumulasi suara dan
mendapatkan kepercayaan publik akan semakin terbuka lebar.
Melalui
hal itu, maka inovasi politik mutlak diperlukan. Firmanzah (2011) dalam
bukunya Mengelola Partai Politik menyebut inovasi politik dalam hal ini
dimaksudkan sebagai temuan atau perbaikan atas isu-isu atau program kerja
politik yang disesuaikan dengan setiap perubahan yang ada dalam masyarakat.
Pertanyaan yang terlontar kemudian, sejauh mana parti politik baru mampu
menciptakan gagasan inovasi politik dan tampil sebagai partai alternatif
pilihan masyarakat? Atau, hanya akan sama saja dengan pola partai yang sudah
ada?
Gagasan Partai 'Alternatif'
Seiring
hadirnya keempat partai baru dalam daftar peserta Pemilu 2019 kali ini,
wacana mengenai adanya partai 'alternatif' pun kembali menyeruak di ranah
publik. Hal itu sebagai imbas dari adanya pendekatan partai yang berbeda
dengan parta-partai sebelumnya. PSI misalnya, dianggap mewakili suara baru
dengan mengusung konsep anak-anak muda kelas menengah sebagai basis
pendukungnya. Kampanye yang ditampilkan sering merujuk pada penguatan basis
etika publik dengan menyinggung isu korupsi, kesetaraan, maupun keberagaman.
Namun,
kondisi itu berbeda dengan ketiga partai lainnya. Perindo dan Partai
Berkarya, keduanya masih terlihat menggunakan pendekatan personalistik dengan
menampilkan figur kuat dalam citra partainya. Dibandingkan dengan PSI,
keduanya jauh lebih bisa dikatakan sebagai partai dengan model partai
elektoralis dengan ciri ketiadaan basis massa yang mengakar, ketergantungan
yang tinggi terhadap eksistensi figur, dan seringkali memanfaatkan sejumlah
potensi untuk meraup keuntungan pada dimensi citra ataupun material
Partai
Perindo yang didirikan pada Februari 2015 sejak awal terlihat menonjolkan
sosok Hary Tanoesoedibjo selaku Ketua Umum sekaligus pendiri partai. Namun,
secara popularitas partai ini bisa jadi lebih unggul dibandingkan ketiga
partai lainnya, mengingat pemanfaatan jaringan media yang tersebar luas dan
berbagai jenis milik Hary Tanoe untuk mempopulerkan gagasan dan visinya.
Sedangkan,
untuk Partai Berkarya sosok Hutomo Mandala Putra (Tommy Soeharto) tampil
dengan pesan kuat untuk melanjutkan kejayaan Sang Ayah. Tak jauh berbeda,
kehadiran Partai Garuda pun demikian. Digawangi oleh Ahmad Ridha Sabana
mantan Direktur PT Cipta Televisi Indonesia (TPI), partai ini dibayangi oleh
sosok Siti Hardiyanti (Tutut Soeharto) yang disebut-sebut ada di balik layar.
Partai Garuda kemudian seolah memperkuat anggapan kembalinya trah Cendana
pada kontestasi politik 2019.
Melihat
situasi ini, gagasan mengenai beberapa partai baru tersebut sebagai partai
alternatif akhirnya terlihat kabur. Kehadiran partai baru tersebut masih
belum terlihat menampilkan sirkulasi elite baru. Hal ini tentu bersinggungan
dengan amanat reformasi politik yang menjadi pijakan dari proses transisi
demokrasi yakni memungkinkan lahirnya pemimpin-pemimpin baru sebagai
alternatif. Munculnya nama Tommy Soeharto, Siti Hardiyanti, dan Hary Tanoe
menjadi bukti bahwa jaringan rezim Orde Baru juga masih saling berkaitan dan
berpengaruh dalam lanskap politik Indonesia.
Jebakan Oligarki
Menjadi
dilematis apabila kemunculan empat partai baru pada akhirnya juga terjebak
pada kondisi yang sama: menguatkan relasi oligarki --penguasaan oleh
segelintir orang kaya-- yang sampai saat ini mendominasi arena politik
Indonesia. Jeffrey A. Winters (2011) menyebut terjadi pergeseran pola
oligarki pasca-Orde Baru, yang sebelumnya bersifat sultanistik dengan sosok
sentral Presiden Soeharto, menjadi penguasaan kolektif. Relasi yang dibentuk
adalah memanfaatkan patronase yang menyebar, koalisi yang cair, dan sekaligus
saling bersaing.
Gejala
ini muncul bila kita melihat latar belakang para tokoh utama dari
partai-partai baru tersebut. Perindo misalnya, Hary Tanoe dikenal sebagai
seorang konglomerat media pemilik jaringan MNC Group yang lahir berkat
kedekatannya dengan Cendana. Begitu pula Partai Garuda dan Berkarya yang banyak
disebut mendapat dukungan dari jaringan konglomerat lama.
Bagaimana
dengan PSI? Hal itu bisa saja terjadi, mengingat PSI juga disokong oleh
kekuatan jaringan para pengusaha. Dalam beberapa kesempatan, Grace Natalie
--Sang Ketua Umum-- juga menyampaikan bahwa PSI didukung oleh para pengusaha
menengah. Melalui hal ini, maka konfigurasi yang terjadi justru bisa dilihat
bahwa ini bisa jadi semata pertarungan antarkekuatan oligarki dalam kelas
berbeda. Kompetisi akan terjadi dalam perebutan kursi di parlemen, namun
koalisi dengan pola pragmatisme terjadi dalam pemilihan presiden.
Pada
akhirnya, kemunculan keempat partai baru ini menampilkan kesan yang saling
bertolak belakang (paradoksal). Di satu sisi, mereka memunculkan harapan baru
sebagai alternatif pilihan berbeda, namun di sisi lain mereka sekaligus
dicurigai semakin meneguhkan pola oligarki politik yang saat ini sudah kuat
bercokol di banyak partai politik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar