Kontestasi
Pilkada dan Balada Kekerasan
Ali Rif'an ; Direktur Riset Monitor Indonesia
|
DETIKNEWS,
13 Maret
2018
Letupan
konflik dan aroma kekerasan menjelang gelaran Pilkada Serentak 2018 sudah
kian menyengat. Terhitung sejak Desember 2017 hingga Februari 2018, terdapat
21 kali penyerangan dan letupan konflik. Peristiwa-peristiwa itu terjadi di
Cicalengka, Bandung, Tangerang, Yogyakarta, dan Lamongan.
Meskipun
sebagian (katanya) dilakukan oleh orang tidak waras, namun disinyalir kuat
kekerasan yang terjadi tak bisa dilepaskan "muatan politik"
menjelang pilkada. Ini menyedihkan karena kekerasan pilkada terjadi secara
berulang-ulang. Salah satu daerah yang kerap dihinggapi balada kekerasan
dalam pilkada adalah Aceh. Berdasarkan data Perludem, jumlah kasus kekerasan
di Aceh tahun 2017 lalu sebanyak 21 kasus. Padahal sebelumnya pada Pilkada
2017 ada 57 kasus dan tahun 2012 sebanyak 167 kasus kekerasan pilkada.
Menurut
studi Trubus Rahardiansyah (2014), ada beberapa sumber yang mengakibatkan
terjadinya kekerasan dalam pilkada. Pertama, kekerasan dapat bersumber dari
kampanye negatif antarpasangan calon. Kampanye negatif, apalagi sudah
mengarah kampanye hitam, kerap kali menjadi biang kerok terjadinya konflik
dan kekerasan. Polanya, para pendukung yang tidak terima kandidatnya dihina
kemudian melakukan balas dendam politik.
Kedua,
kekerasan bersumber dari mobilisasi politik atas nama etnik, agama, daerah,
dan darah. Mobilisasi ini biasanya dilakukan oleh antarkandidat untuk saling
menjatuhkan dengan menggunakan isu SARA. Ketiga, kekerasan dapat bersumber
dari premanisme politik dan pemaksaan kehendak. Hal ini biasanya muncul
setelah pilkada usai dan sang kandidat kepala daerah tidak siap menerima
kekalahan.
Keempat,
kekerasan dapat bersumber dari manipulasi dan kecurangan perhitungan suara
pilkada. Kekerasan jenis ini terutama berpeluang muncul di daerah-daerah yang
kepala daerahnya maju kembali dengan memanfaatkan aparat birokrasi (PNS, TNI,
dan Polri) untuk memobilisasi dukungan.
Menghawatirkan
Konflik
dan kekerasan yang mewarnai pilkada tentu sangat menghawatirkan. Apalagi di
Indonesia --menurut banyak studi-- sangat rawan potensi konflik dan
kekerasan. Meminjam bahasa Arend Lijphart (1968), Indonesia merupakan negara
yang termasuk dalam kategori centrifugal democracy, di mana perilaku elitenya
sangat kompetitif.
Berdasarkan
Indeks Kerawanan Pemilu (IKP) Pilkada Serentak 2018 yang dirilis Bawaslu, ada
sejumlah daerah yang tergolong memiliki titik rawan. Tiga provinsi yang
dikategorikan paling rawan adalah Provinsi Papua, Provinsi Maluku, dan
Provinsi Kalimantan Barat. Sementara untuk kabupaten/kota, terdapat enam
daerah yang dinilai paling rawan, yakni Mimika, Paniai, Jaya Wijaya, Puncak
(Papua), Konawe (Sultra), dan Timor Tengah Selatan (NTT).
Sementara
itu, terkait penggunaan politik identitas, ada 22 daerah yang masuk kategori
titik rawan. Daerah tersebut terdiri atas delapan provinsi, yakni Sumatera
Utara, Sumatera Selatan, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan Barat, Kalimantan
Timur, Maluku, Maluku Utara, serta Papua. Dan terdiri dari 14 kabupaten/kota.
Indeks
Kerawanan Pemilu disusun dari tiga aspek utama, yaitu penyelenggaraan,
kontestasi, dan partisipasi. Dari tiga aspek itu kemudian diturunkan menjadi
10 variabel dan 30 indikator sebagai alat ukur kerawanan. Indeks kerawanan
yang dikeluarkan terdiri dari indeks rendah antara 0-1,99, indeks sedang
2,00-2,99, dan indeks tinggi 3,00-5.00. Faktor pemicu kerawanan tinggi berupa
politik uang, keberpihakan petugas penyelenggara, kontestasi antarcalon,
pemenuhan hak pilih warga, netralitas PNS, penggunaan media sosial, dan
penggunaan politik identitas.
Antisipasi
Kita
tentu tidak ingin balada kekerasan dalam pilkada terus terulang. Pemerintah,
segenap penyelenggara pilkada, dan aktor dalam pilkada harus melihat masalah
ini secara serius. Kita berharap para aparat negara-seperti TNI dan
Polri-benar-benar hadir menjamin keamanan dalam pilkada. Justru karena
pilkada berlangsung secara serentak itulah potensi konflik sekaligus
pelanggaran sangat besar. Pasalnya, dibandingkan pilpres dan pileg, pilkada
merupakan pesta demokrasi yang paling rawan menimbulkan konflik.
Kita
juga mengimbau kepada para penyelenggara pilkada seperti KPUD dan Bawaslu
supaya bekerja ekstra. Ancaman konflik dan kekerasan yang bersumber dari
mobilisasi politik atas nama etnik, agama, daerah, dan darah, kampanye
negatif, premanisme politik, harus menjadi perhatian khusus.
Kepada
para calon kepala daerah, kita berharap mereka bertarung secara profesional
dan bersih. Pasalnya, di tengah keterbukaan informasi saat ini, setiap
kecurangan yang dilakukan akan dengan mudah segera diketahui. Cara-cara culas
dalam pilkada hanya akan menjadi masalah dan beban sejarah di kemudian hari.
Kita
sudah kenyang dengan balada kekerasan yang terus mewarnai setiap jengkal
pesta demokrasi lokal digelar. Untuk itu, langkah antisipatif mutlak
diperlukan supaya konflik dan kekerasan tidak kembali menyembul dalam daur
ulang demokrasi lokal. Semoga. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar