Mengenalkan
Kerja sejak Anak-Anak
Junaidi Abdul Munif ; Direktur el-Wahid Center Semarang
|
MEDIA
INDONESIA, 26 Maret 2018
PADA 2030, kita akan
mengalami puncak bonus demografi, yang usia produktif (15-64 tahun) lebih
banyak dari usia nonproduktif (0-14 dan di atas 64 tahun). Bonus demografi
memberi dilema, sebagai anugerah atau beban. Menjadi anugerah manakala
potensi itu dapat mendukung pembangunan di Indonesia dan akan menjadi beban
jika mereka masih bergantung pada subsidi orang-orang usia produktif.
Menimbang bahwa anak-anak di usia nonproduktif ialah anak-anak yang sedang
mengenyam pendidikan formal, bagaimana pendidikan menyiapkan generasi muda
untuk benar-benar siap menghadapi bonus demografi?
Pada 2016, jumlah penduduk
usia produktif di Indonesia sebesar 70% dari total populasi. Namun,
kompetensi tenaga kerja kita masih rendah. Untuk itu, menurut Sri
Moertiningsih Adioetomo, perlu bimbingan dari pertama kali mengenyam pendidikan
untuk mempersiapkan penduduk usia produktif menuju dunia kerja. Hal ini
penting agar selama bersekolah mereka paham tentang keahlian yang wajib
dimiliki untuk masuk dunia kerja (lipi.go.id, 11/3/2016).
Di sisi lain, anak-anak
usia belasan tahun kini hidup dalam konsumerisme yang berderap kencang.
Mereka memiliki kebutuhan sendiri, misalnya untuk membeli pulsa/kuota
internet. Pengguna internet dalam rentang usia 10-24 tahun sebanyak 24,4 juta
(18,4%) dan dari jumlah itu, 8,3 juta merupakan pelajar. Kebutuhan
sekunder-rekreatif lainnya juga semakin banyak dan akan menjadi beban
orangtua jika anak-anak tidak dilatih produktif sejak dini.
Pendidikan
sebagai harapan
Masyarakat menaruh harapan
pada pendidikan (khususnya sekolah) untuk mengubah nasib. Bagi orang yang
mampu, pendidikan lebih mudah untuk meningkatkan taraf hidup. Akses terhadap
pendidikan yang berkualitas (mahal) lebih mudah. Sementara orang miskin akan
tetap miskin. Pendidikan orang miskin sering tidak berhasil karena jebakan
kemiskinan. Sebaliknya, mereka tetap miskin karena kurang berhasil dalam
pendidikan (Johannes Muller, Prisma, Juli 1980).
Kurikulum yang diterapkan
di tiap tingkatan sekolah tak selalu mengajarkan keterampilan kerja sejak
usia dini. Hanya SMK yang mencoba mengenalkan dunia kerja meskipun hasilnya
belum optimal. Di sekolah anak didik menjadi 'keranjang' yang bebas dimasuki
bermacam-macam ilmu secara serempak. Ironisnya, anak didik malah menjadi
'keranjang sampah' karena ternyata banyak ilmu yang sebetulnya tak diperlukan
dalam kehidupan mereka, tetapi tetap dilesakkan. Pengambangan ilmu yang tak
jelas ini menjadi masalah serius ketika anak didik memasuki dunia produktif
(kerja).
Konsentrasi ilmu yang akan
digunakan sebagai keterampilan dan bekal untuk bekerja bisa dikatakan baru
dimulai sejak kuliah. Namun, dalam waktu empat tahun--waktu rata-rata yang
diperlukan untuk menempuh gelar sarjana--tentu sulit menyiapkan mahasiswa
yang siap kerja. Inilah ironi dunia pendidikan tinggi ketika kampus sebagai
wahana penggodokan intelektual hanya melahirkan lebih banyak para
pengangguran.
'Penyiasatan' dengan mata
kuliah kewirausahaan misalnya, dijalankan semata-mata untuk menampakkan
kepedulian kampus akan nasib mahasiswanya, agar setelah lulus tak mendapat
gelar 'pengangguran terdidik dan intelektual.' Sering kita dengar orang yang
lulus kuliah bimbang akan apa yang akan mereka kerjakan. Ingin bekerja,
tetapi tidak memiliki keterampilan yang mumpuni. Berniat melakukan wirausaha,
tetapi bingung usaha apa dan bagaimana memulainya, serta modal dari mana.
Sesungguhnya, pesantren relatif adaptif dalam menyikapi hal ini. Di pesantren
agraris misalnya, beberapa santri juga mengurus sawah milik kiai. Di
pesantren kota, santri membantu menjaga kantin, warung, toko milik kiai dan
koperasi pesantren.
Namun, fenomena anak yang
bekerja juga bisa menjadi dilema. Penelitian Indrasari Tjandraningsih dan
Benjamin White (Prisma, Januari 1992) berdasarkan studi di Jawa Barat pada
rentang 1988-1990, menemukan fakta menarik tentang pekerja anak-anak di industri
kecil dan besar. Saat itu banyak anak putus sekolah memilih menjadi pekerja
meskipun ada beberapa industri yang menyerap tenaga kerja anak-anak dengan
mempertimbangkan jam sekolah. Problem pekerja anak menjadi masalah serius
negara dunia ketiga. Brasil dan India misalnya, pernah mengalaminya, sehingga
memaksa mereka menyusun strategi untuk menghadapi fenomena itu dengan
melibatkan LSM dan masyarakat lokal.
Belajar
pada tokoh
Belajar dari biografi
tokoh besar dunia yang berjuang sejak kecil dapat menumbuhkan semangat
kewirausahaan. Soicihiro Honda di masa kecilnya membantu ayahnya di bengkel
sepeda. Inilah investasi yang sangat penting hingga dirinya membangun
kerajaan Honda. Dunia kerja telah diakrabinya sejak mereka berusia di bawah
sepuluh tahun sehingga saat mereka besar dan tumbuh dewasa, tinggal memanen
hasil apa yang telah dipelajari dan diperjuangkan sejak kecil.
Thomas Alva Edison, di
sela berjualan koran di kereta api, menjadikan salah satu gerbong sebagai
labotarorium untuk belajar. Kini kita mengenalnya sebagai penemu paling
produktif sepanjang zaman, yang telah mematenkan lebih dari seribu
penemuannya. Nabi Muhammad SAW mengenal kerja sejak umur 8 tahun. Ia menjadi
penggembala kambing milik pamannya. Beberapa tahun kemudian bekerja mengikuti
pamannya berdagang ke negeri Syam. Modal inilah yang membentuk Rasulullah
menjadi pekerja yang dipercaya (al amin) saat bekerja pada wanita kaya,
Khadijah.
Anak-anak dengan
kejernihan jiwa mereka, memiliki naluri pembelajar, keberanian mencoba, dan mengambil
risiko yang bahkan ditakuti oleh orang dewasa sekalipun. Namun, kurikulum
pendidikan di sekolah lebih sering justru menjadi alat pemasungan sistemik
dan menjauhkan mereka dari pemahaman kerja. Hal ini diperparah dengan
paradigma di masyarakat bahwa dunia anak ialah dunia sekolah dan belajar dan
bekerja ialah dunia orangtua.
Kerja dan mencari uang,
seolah ialah hukum alam yang terkait dengan usia. Benar adanya, bahwa tanpa
dibekali 'pengalaman' kerja pun, saat anak tumbuh dewasa dan memiliki tanggung
jawab ekonomis, secara naluriah mereka akan bisa kerja dengan sendirinya.
Namun, cara pandang ini juga yang membuat kita mengafirmasi diktum 'kerja apa
pun yang penting halal (baik).' Sebuah gambaran pragmatis tentang bekerja
yang semata-mata bertumpu upah. Padahal, zaman sekarang banyak pekerjaan
tidak biasa yang bertumpu pada kreativitas. Seyogianya pendidikan menangkap
gejala ini untuk menyusun kurikulum yang menggenjot kreativitas anak.
Seseorang akan rugi jika
dunia kerja tak dikenal sejak kecil. Saat menjadi anak-anak ialah usia dengan
potensi besar, pikiran masih jernih dan mudah menangkap apa yang disampaikan
kepada mereka, baik itu informasi maupun pengalaman-pengalaman hidupnya.
Orang tua laik berperan
sebagai supervisor, pengawas yang mampu memunculkan semangat dan kreativitas
anak. Mengenalkan kerja pada anak sejak dini, selain memacu kreativitas,
ialah juga membentuk mentalitas memeras keringat. Dalam kerja ada
pembelajaran tentang tanggung jawab pada tugas kerja, komitmen sebagai atasan
dan karyawan, berikut target-target yang hendak dicapai. Ketika anak tumbuh
dewasa, dia sudah tahu akan ke mana mengarahkan tujuan hidupnya. Memilih
bekerja atau berwirausaha, karena mereka siap dengan keduanya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar