Korupsi
Membayangi Pilkada
Zainal Arifin Mochtar ; Pengajar Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta;
Ketua Pukat Korupsi Fakultas Hukum
UGM
|
KOMPAS,
29 Maret
2018
Pemilihan kepala daerah selalu
menyimpan cerita permainan uang yang mengiringinya. Mulai dari gejala beli
perahu untuk pencalonan, menyawer uang untuk membeli dukungan, kampanye
dengan menyebar uang, hingga serangan fajar di hari pemilihan maupun
permainan di tingkat tabulasi hasil adalah riwayat yang senantiasa hadir di
setiap pilkada.
Bahkan daftar itu belum cukup.
Dapat diperpanjang hingga tahapan perselisihan hasil di Mahkamah Konstitusi
(MK), yang beberapa waktu lalu pernah memakan korban ketua MK kala itu.
Hampir setiap tahapan membutuhkan konversi ke dalam bentuk uang. Pemilihan
menjadi berbiaya mahal. Baik biaya untuk pengeluaran bagi kegiatan halal
maupun biaya untuk kegiatan haram.
Bahwa pemilu berbiaya mahal, kita
semua sudah mafhum hal itu, walau tidak berarti harus maklum. Pada titik
itulah, tindakan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menyasar kandidat
petarung di pilkada menjadi menarik. Jauh lebih menarik dibandingkan
”kegenitan” KPK mengumumkan akan menersangkakan banyak kandidat. Bahwa KPK
kurang pas dalam penyampaian adalah benar. Namun, tak kalah benarnya adalah
esensi kewajiban KPK untuk melirik ke pilkada yang sudah menjadi pesta
permainan uang dan korupsi.
Pola lama
Sebenarnya, tak ada yang
benar-benar baru dalam kaitan pola permainan uang dalam pilkada ini. Modal
besar untuk ikut pilkada ini membuat pihak tertentu mau untuk melakukan
investasi koruptif yang terbangun dari kepentingan masing-masing pihak.
Pemilik modal tinggal melihat siapa pemilik elektabilitas tertinggi. Taruh
uang di situ dengan perjanjian akan mendapatkan sesuatu setelah keterpilihan.
Bahkan, sering kali, pemilik modal
tidak menaruh dalam satu keranjang saja. Pemilik modal yang punya kapasitas
keuangan lebih biasanya berani untuk menaruh dalam keranjang siapa saja yang
bertarung. Dengan harapan, siapa pun pemenangnya, setelah dilantik dan
mengelola Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), dana tersebut akan
cepat kembali.
Pola relasi itu bertemu dengan
kewenangan kepala daerah dalam menentukan hal-hal administratif tertentu,
khususnya pelaksanaan APBD dan sumber daya alam (SDA). Korupsi APBD dan SDA
ini menjadi ajang simbiosis mutualisme bagi kepala daerah dan pemodal. Relasi
supply and demand (penawaran dan permintaan) pemburu rente yang kemudian
bertemu dalam pasar yang disebut dengan pilkada.
Bahkan, seiring dengan model
pilkada serentak, terkadang membuat kandidat kepala daerah makin berani.
Tatkala ada jeda waktu antara pemilihan, pengumuman pemenang, bahkan hingga
pelantikan, kepala daerah yang sudah menang (menurut survei) ataupun menurut
perhitungan komisi pemilihan di daerah sudah berani meminta dan menawarkan
APBD dan hal tertentu.
Menang tapi belum dilantik ini membuat mereka berani menjarah uang oleh
karena berpikir seakan-akan karena belum dilantik, mereka belum menjadi pejabat
daerah dan masuk dalam rekam radar penegak hukum antikorupsi.
Padahal, meskipun belum dilantik
sebagai kepala daerah, pada hakikatnya pemenang pilkada sudah dapat dianggap
harus mempertanggungjawabkan jika melakukan pelanggaran koruptif. Mengutip
Eddy OS Hiariej (2018) yang menyitir pendapat Hazewinkel Suringa dan Jan
Rammelink, pada dasarnya dalam hukum pidana berlaku prinsip dolus anteceden
yang berarti kesengajaan yang ditempatkan sebelum salah satu unsur delik
terpenuhi tetapi pasti akan terpenuhi.
Unsur delik yang belum terpenuhi
tetapi pasti terpenuhi ini menggariskan bahwa seseorang tidak bisa dipidana
jika unsur yang belum terpenuhi itu tidak pernah terjadi. Maka, seseorang
biasa yang terpilih menjadi pejabat negara atau sudah ditunjuk tetapi belum
dilantik, lalu ia menerima atau meminta sesuatu berupa suap, maka begitu ia
dilantik, delik tersebut terpenuhi.
Impitan aturan pilkada
Balik ke calon kepala daerah,
tindakan Menko Polhukam yang meminta agar KPK menunda penegakan hukum
tidaklah sepenuhnya tanpa alasan. Dalam penalaran, yang ditakutkan Menko
Polhukam adalah kemungkinan buntu akibat kandidat yang kemudian
ditersangkakan dan ditahan KPK. Ini karena aturan UU Pilkada yang tidak
membolehkan adanya pergantian kandidat oleh partai pengusung pada tahapan
setelah ditetapkannya calon tetap. UU hanya mengatur kemungkinan proses
pergantian tatkala kandidat meninggal dunia, yang kemudian pengusung dapat
melakukan usulan penggantian dengan jangka waktu tertentu.
Begitu juga dengan Peraturan KPU
No 3 Tahun 2017 tidak mengaturnya secara limitatif. Bayangkan, jika kemudian
mereka ditahan lalu pendukungnya melakukan tindakan amuk. Belum lagi
bagaimana pelaksanaan pilkada jika kandidatnya kemudian ditahan dan pilkada
tidak dapat dilaksanakan.
Sayangnya, alasan tersebut tidak
pas karena negara hukum memberikan titah yang tidak sederhana terhadap
penegakan hukum. Fiat justicia ruat coelum, hukum harus tetap ditegakkan
meski langit akan runtuh. Dalam konteks ini, seharusnya pemerintah berbicara
dalam langgam yang sama, yakni penegakan hukum tetap harus dikedepankan.
Bukan hanya demi penegakan hukum, melainkan juga demi masa depan demokrasi
elektoral itu sendiri. Rasa aman dan damai pilkada tidak bisa didahulukan
dibandingkan mendapatkan kepala daerah yang benar-benar bersih dan mumpuni.
Integritas dan kapabilitas
kandidat adalah paduan yang tak kalah penting dibandingkan keamanan tatkala
proses pilkada. Lagi pula jangan dilupakan, rasa aman dan damai pilkada
adalah sebuah proses dan bukan sesuatu yang ”jatuh dari langit”. Harus
diciptakan dan dijaga oleh aparat negara yang bekerja untuk itu.
Karena itu, dibandingkan dengan
menunda proses penegakan hukum terhadap para kandidat yang berkelindan dengan
masalah korupsi, jauh lebih tepat jika pemerintah mengupayakan sesuatu yang
lebih bermartabat, yakni menyediakan jalan keluar dari impitan aturan pilkada
tersebut. Tentu saja, salah satunya adalah menyediakan aturan, baik UU maupun
peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu), untuk menutup pintu ke
jalan buntu akibat kandidat yang ditahan.
Ide perppu
Perppu adalah salah satu jawaban
atas hal ihwal kegentingan memaksa yang mengimpit pelaksanaan pilkada yang
dibayangi proses koruptif ini. Sayangnya, perppu juga bukan sesuatu barang
murah yang dapat diobral, karena setidaknya ada dua hal yang harus
dibicarakan tatkala rencana untuk mengeluarkan perppu.
Pertama, tentu saja persoalan
teknis timing. Hingga saat ini, banyak berdasarkan Pasal 22 Ayat 1 UUD 1945
yang mengatakan bahwa perppu dapat dikeluarkan kapan saja oleh presiden
sepanjang ada hal ihwal kegentingan memaksa. ”Hal ihwal kegentingan memaksa”
adalah suatu kondisi subyektif presiden yang nantinya akan diobyektifikasi
oleh proses penerimaan di DPR. Makanya, dalam Ayat 2 di pasal yang sama,
dikatakan bahwa harus mendapatkan persetujuan DPR dalam persidangan yang
berikut.
Akan tetapi, dalam penalaran
hukum, sebenarnya ada sebab musabab mengapa Pasal 22 Ayat 2 ada anak kalimat
”dalam persidangan yang berikut”. Karena sesungguhnya, perppu tidak dapat
dikeluarkan kapan saja. Perppu dikeluarkan tatkala DPR tengah tidak
bersidang, sedang masa reses. Karena itulah makna mengapa disebut dengan
disidangkan pada masa sidang berikutnya. Hal yang artinya, begitu masuk masa
sidang DPR, maka perppu tersebut langsung disidangkan.
Bayangkan jika tengah masa sidang,
maka menurut pasal tersebut, seharusnya perppu disidangkan pada masa sidang
berikutnya, dan bukan pada masa sidang yang tengah berjalan. Dan jika itu
terjadi, akan menghilangkan esensi perppu adalah suatu kondisi hal ihwal
kegentingan yang memaksa, artinya memang sebuah produk yang membutuhkan
penggunaan segera. Bahaya otoritarian akan membayangi jika presiden dibiarkan
mengeluarkan suatu produk setara UU yang berlangsung segera dan menunggu
waktu terlalu lama untuk mendapatkan persetujuan wakil rakyat.
Sederhananya, jika DPR masih
bersidang, maka yang dibutuhkan tentu saja adalah pembentukan undang-undang
secara cepat. Bisakah? Sangat mungkin sepanjang pembentuk UU, presiden dan
DPR, sepakat untuk melakukannya. UU No 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD,
dan DPRD (UU MD3), misalnya, sudah beberapa kali mengalami perubahan cepat
bahkan dengan hitungan hari.
Padahal, kepentingan yang ada
hanyalah kepentingan politis semata tatkala itu, yakni soal penambahan kursi
wakil partai-partai di alat kelengkapan. Jika memang pembentuk UU masih
berpikir pada konteks kepentingan rakyat, seharusnya bisa membentuk UU cepat,
yang didorong inisiasinya oleh pemrakarsa, lalu bersidang untuk memasukkan UU
tersebut ke dalam pembahasan.
Inilah mengapa disebutkan di atas
bahwa bukan cuma perppu, perubahan UU cepat pun masih sangat mungkin untuk
menjadi alat untuk menyelamatkan pilkada. Jika DPR masih bersidang, pembentuk
UU membuat UU cepat. Jika tidak tengah bersidang, Presiden mengeluarkan senjata
perppu.
Kedua, tentu saja persoalan
substansi. Jika memang disepakati bahwa perppu adalah jalan yang paling pas,
maka substansi yang kemudian penting untuk dibicarakan. Sesungguhnya, meski
UU Pilkada mengharamkan kemungkinan untuk melakukan penggantian kandidat
tatkala sudah memasuki tahapan kampanye, tidak berarti pintu itu ditutup
sepenuhnya. Oleh karena masih ada Pasal 54 yang memberikan kemungkinan untuk
melakukan pergantian tatkala kandidat tersebut meninggal dunia.
Karena itu, sederhananya pasal
bagi perppu penyelamatan pilkada dari perilaku koruptif ini adalah
dimungkinkannya bagi pengusung kandidat untuk melakukan penggantian
menggunakan mekanisme dan klausul ketika kandidat meninggal dunia. Dengan
demikian, pasal yang dibutuhkan untuk dicantumkan di dalam perppu sebenarnya
cukup sederhana, yakni cukup dengan menambah bahwa klausul Pasal 54 juga
diberlakukan tatkala kandidat dikenai penegakan hukum atas pelanggaran pidana
khusus, semisal korupsi, narkoba, dan terorisme. Dengan begitu, proses pergantiannya
kemudian mengikuti mekanisme pergantian ketika kandidat meninggal
dunia.
Walaupun ada ide menempatkan
aturan ini tak perlu via perppu, tetapi merevisi Peraturan KPU Nomor 3 Tahun
2017, tetapi sangat mungkin tidak menyelesaikan masalah jika tidak
ditempatkan di dalam aturan setingkat UU. Sangat mungkin KPU yang
dipersoalkan karena mengatur terlalu jauh sesuatu yang tidak diatur oleh UU.
Pada akhirnya, negeri inilah yang
harus diselamatkan dari perilaku korupsi yang terus membayangi pilkada. Sekali
lagi, dibandingkan melarang penegakan hukum ditegakkan secara cepat buat para
bandit demokrasi ini, mending mencari cara aturan dikeluarkan untuk
menyelamatkan pilkada dari kemungkinan gagal akibat praktik korupsi. Tentu
menyelamatkan pilkada tidak cukup, mencari peta jalan keluar agar korupsi tak
terus membayangi pilkada juga harus dilakukan.
Kita semua paham permainan korupsi
yang membayangi proses pemilihan jabatan kepala daerah sudah sekian lama
menghantui, dan tatkala masih diam dan terus membiarkan terjadi, kita hanya
akan terus berjalan terseok bak keledai yang jatuh pada lubang yang sama. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar