Selasa, 27 Maret 2018

Zaini Misrin, Potret Ironis Pekerja Migran

Zaini Misrin, Potret Ironis Pekerja Migran
Bagong Suyanto  ;   Guru Besar FISIP Universitas Airlangga;
Sedang melakukan penelitian pekerja migran ilegal
                                              MEDIA INDONESIA, 27 Maret 2018



                                                           
NASIB pekerja migran yang mencari kerja di luar negeri acap kali ironis. Di satu sisi banyak penduduk miskin di desa nekat mengadu nasib mencari ringgit, dolar, atau dinar sebagai pekerja migran ke berbagai negara tujuan untuk mencari taraf kehidupan yang lebih baik. Namun, di sisi lain, tidak sedikit pekerja migran yang nasibnya berakhir tragis.

Salah satu TKI yang bernasib malang, yang baru saja dihukum pancung di Arab Saudi karena divonis bersalah membunuh majikannya ialah Muhammad Zaini Misrin Arsyad. TKI asal Kabupaten Bangkalan Madura ini divonis hukuman mati meski proses hukum yang dilaluinya dinilai sejumlah pihak janggal. Zaini yang bekerja di Arab Saudi sebagai sopir ditangkap polisi pada 2004 lalu karena dituduh dan ditekan untuk mengakui telah membunuh majikannya yang bernama Abdullah bin Umar Muhammad Al Sindy. Migrant Care, misalnya, mengisyaratkan proses pengadilan Zaini tidak berjalan sebagaimana mestinya.

Sepanjang 2011-2018, jumlah WNI yang dijatuhi vonis mati di berbagai negara, menurut data Kementerian Luar Negeri, tercatat sebanyak 583 orang. Walaupun 392 kasus berhasil ditangani dan WNI yang didakwa berhasil dibebaskan dari ancaman hukuman mati, masih ada 188 kasus vonis mati yang tengah dihadapi WNI di luar negeri, termasuk sebagian di antaranya pekerja migran.

Sebanyak 148 kasus terjadi di Malaysia, 20 kasus di Arab Saudi, 11 kasus di Tiongkok, 4 kasus di Uni Emirat Arab. Selebihnya 2 kasus di Singapura, 2 di Laos, dan 1 kasus di Bahrain. Khusus di Arab Saudi hampir semua WNI yang divonis mati ialah TKI atau pekerja migran. 

Penderitaan pekerja migran

Terlepas kasus hukum yang dihadapi WNI di luar negeri, kisah pilu tentang kurangnya perlindungan dan jaminan keselamatan bagi pekerja migran tidak sekali-dua kali terjadi. Di berbagai negara, tidak sedikit pekerja migran yang memperoleh perlakuan tidak manusiawi. Menjadi korban perdagangan manusia, korban pemerkosaan, dan bahkan tewas mengenaskan karena menjadi korban penganiayaan.

Sejumlah faktor yang menyebabkan pekerja migran acap kali tidak memperoleh perlindungan yang memadai ialah, pertama, karena relasi kuasa yang terjalin antara pekerja migran dan pihak majikan di negara tujuan berjalan tidak seimbang. Tidak sedikit pekerja migran karena status sosial maupun status hukumnya, rawan menjadi korban eksploitasi dan perlakuan yang tidak menyenangkan dari berbagai pihak.

Seorang pekerja migran yang berangkat dari jalur tidak resmi dan kemudian nekat mengadu nasib bekerja di negeri jiran, jangan kaget jika mereka sering menjadi korban perlakuan yang tidak manusiawi. Mereka bukan hanya harus pasrah memperoleh upah yang tidak sebanding dengan jam kerja yang dilakukannya, tetapi juga tak jarang menjadi korban tindak kekerasan.

Studi yang dilakukan Suyanto dkk (2017) yang meneliti 400 pekerja migran ilegal asal Jawa Timur menemukan, akibat posisi mereka yang lemah, ilegal, dan tidak memiliki perlindungan hukum yang pasti, sering terjadi pekerja migran ilegal harus menghadapi ancaman eksploitasi dan berbagai perlakuan yang merugikan.

Sebanyak 10,8% pekerja migran mengaku sering diintimidasi mandor, dan sebanyak 37% bahkan mengaku sering diintimidasi majikan mereka. Bentuk intimidasi yang dialami pekerja migran memang bermacam-macam, tetapi sebagian besar intimidasi yang mereka alami umumnya ialah tekanan psikologis karena relasi yang asimetris dan juga verbal abuse berupa kata-kata kasar serta ancaman.

Bentuk perlakuan kurang mengenakkan yang pernah dialami buruh migran ilegal selama mengadu nasib bekerja di luar negeri, sebagian besar ialah penahanan gaji, dipaksa kerja lembur dan dibentak atau dimarahi. Sebanyak 15,6% pekerja mengaku gaji mereka ditahan majikan, 14,8% mengaku dibentak atau dimarahi majikannya, dan 14% mengaku dipaksa kerja lembur. Di luar itu, sebanyak 12,6% pekerja migran mengaku ketika sakit tidak diobati, dan sebanyak 11,8% mengaku paspornya ditahan.

Kedua, karena kurangnya jaminan perlindungan hukum yang memadai terhadap pekerja migran yang bekerja di luar negeri. Berbeda dengan pekerja migran dari Filipina yang terkenal solid dan memperoleh jaminan perlindungan hukum yang memadai dari pemerintahnya, pekerja migran asal Indonesia sering kali belum memperoleh hal yang sama. Walaupun telah ada UU perlindungan bagi pekerja migran, implementasinya masih belum berjalan maksimal karena kurang kuatnya posisi bargaining dan tekanan politis dari pemerintah RI ketika ada pekerja migran yang menghadapi persoalan hukum di luar negeri.

Kasus yang dialami salah satu TKW asal Indonesia yang terjadi di Malaysia belum lama ini, misalnya ialah salah satu contoh betapa tidak adilnya perlakuan yang dialami pekerja migran yang mengadu nasib bekerja di negeri jiran. Migrant Care mengatakan Putusan Pengadilan Petaling Jaya yang hanya menghukum ringan tanpa penjara Datin Rozita Mohammad Ali majikan penganiaya keji terhadap TKI asal Sumatra Utara Suyantik benar-benar mencederai rasa keadilan.

Bisa dibayangkan di mana rasa keadilan bagi pekerja migran jika seorang majikan yang terbukti bersalah melakukan penganiayaan ternyata hanya dihukum untuk berbuat baik tidak tercela selama 5 tahun dan denda RM20.000. Bandingkan dengan penderitaan yang dialami korban penganiayaan majikan.

Layanan bantuan hukum dan perlindungan

Untuk mencegah agar tidak lagi terjadi perlakuan yang salah terhadap pekerja migran Indonesia di luar negeri, ada banyak hal yang perlu dikembangkan. Para pekerja migran di sini bukan hanya membutuhkan kepastian atau legalisasi status dan dukungan keterampilan atau keahlian yang memadai, tetapi juga exit strategy yang tepat setelah mereka bekerja sebagai migran di luar negeri.

Menjadi pekerja migran, apa pun statusnya, jelas bukan tujuan jangka panjang dan tidak mungkin dilakukan secara terus-menerus. Pada titik tertentu, mereka harus berhenti dan memanfaatkan dana hasil jerih payah mereka bekerja di luar negeri untuk membiayai kebutuhan modal usaha mandiri yang akan mereka kembangkan di desa asal atau memanfaatkan aset-aset produksi yang mereka beli dari hasil bekerja di luar negeri untuk kelangsungan kehidupan mereka.

Sebagai bagian dari subjek yang rawan menjadi korban kejahatan internasional, human trafficking, perlindungan terhadap pekerja migran perlu menjadi perhatian pemerintah. Terutama ketika TKI/TKW berisiko menjadi objek pemerasan dan eksploitasi berbagai pihak yang tidak bertanggung jawab.

Layanan bantuan hukum dan perlindungan hak pekerja migran perlu dikembangkan di berbagai negara yang menjadi tujuan buruh migran agar status TKI/TKW tidak membuat mereka makin terpuruk. Kesepakatan antarnegara maupun hubungan bilateral perlu terus dikembangkan dalam bentuk penandatanganan MoU antara pemerintah RI dan negara tujuan TKI/TKW agar upaya peningkatan perlindungan atas nasib dan kerja pekerja migran Indonesia dapat diwujudkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar