Kamis, 29 Maret 2018

Tobat Nasional untuk Ketimpangan Tanah

Tobat Nasional untuk Ketimpangan Tanah
Bambang Setiaji  ;   Rektor Universitas Muhammadiyah Kaltim
                                                      JAWA POS, 28 Maret 2018



                                                           
KRITIK mantan Ketua MPR Amien Rais soal pencitraan atau pengibulan bagi-bagi sertifikat tanah menjadi polemik. Di sisi lain, pemerintah tidak berbuat banyak untuk menyelesaikan masalah mendasar soal ketimpangan kepemilikan properti tersebut.

Sindiran Amien yang menyebut 1 persen penduduk menguasai 74 persen tanah alih-alih mendapat penjelasan dari pemerintah. Menko Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan membalas dengan akan mencari dosa Amien.

Belum selesai polemik Amien vs Luhut, Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto menyampaikan bahwa 1 persen penduduk menguasai 80 persen tanah dan elite politik kita menganggapnya tidak apa-apa. Kekayaan kita diambil oleh asing, elite kita mengatakan tidak apa-apa. 

Apabila hal itu dibiarkan, analisis dalam novel intelijen yang menyatakan bahwa Indonesia akan bubar pada 2030 akan menjadi kenyataan.
Rakyat banyak dan elite yang masih waras tentu saja sangat risau menghadapi fakta ketimpangan kepemilikan tanah. Tanah berbeda dengan aset perbankan dan saham. Sebab, tanah bersifat tetap, tidak bisa diperluas, serta bersentuhan langsung dengan usaha rakyat bawah, yaitu pertanian dan perkebunan. Sedangkan saham dan aset perbankan selalu dapat diperluas tanpa batas dan sering kali tidak riil.

Proses akumulasi tanah ke tangan korporasi sebenarnya sudah berjalan sangat lama dan bukan dosa pemerintahan Jokowi-JK saja. Hanya, data mengenai ketimpangan itu baru menarik perhatian publik sekarang, seiring dengan meningkatnya kesadaran masyarakat. Juga, dengan diiringi keterbukaan dan penggunaan media sosial yang masif.

Buya Syafi’i Ma’arif, penasihat pemerintah yang sering berbeda pandangan dengan Amien, sepakat soal ketimpangan aset tanah tersebut. Beliau juga memberi catatan agar diselesaikan. Pemerintah dan DPR perlu duduk bersama, bagaimana me­nyelesaikan ketimpangan aset tanah itu sebagai pertobatan nasional. Sebab, begitu lama hal tersebut dibiarkan berlarut-larut dan menjadi dosa kolektif.

Akibat Akumulasi Aset

Aset tanah merupakan sumber pendapatan rakyat yang sangat penting. Sebab, negara kita adalah negara agraris. Akumulasi atau konsentrasi kepemilikan akan menyebabkan ketimpangan lanjutan, yaitu dari sisi pendapatan. Struktur 1 persen yang menguasai aset tanah 74 sampai 80 persen (bahkan suatu lembaga survei menyebut menguasai 93 persen) merupakan struktur kolonial atau menggambarkan masyarakat feodal. Semula, tanah-tanah dimiliki segelintir elite atau kolonial dan dikerjakan para budak atau rakyat jajahan. Perbudakan dihapus, tanah berubah jadi milik bangsawan dan dikerjakan oleh petani dalam relasi feodal.

Setelah revolusi industri dan merdekanya negara-negara jajahan, impian rakyat untuk memiliki tanah tetaplah impian. Sebab, yang berubah hanya pola: Hak tanah diberikan kepada pemodal atau kapitalis dan dikerjakan oleh para pekerja. Hal itu memberikan impian atau ideologi lanjutan agar ada revolusi atau reformasi sekali lagi untuk pembagian tanah dan modal yang lebih adil.

Salah satu sebab penentangan dan pemberontakan kepada pemerintah kolonial di Indonesia adalah penguasaan tanah, khususnya perkebunan. Saat kemerdekaan, UUD disusun dengan merombak konsentrasi kepemilikan tanah model VOC/kolonial menjadi ekonomi yang lebih berkeadilan. Ekonomi yang egaliter digambarkan atau diskenario sebagai lawan dari mekanisme pasar, menjadi kekeluargaan, di mana tercipta kelompok pengusaha menengah yang kuat dan besar.

Kelompok menengah yang jumlahnya jutaan itu kemudian diwadahi industri pengolah hasil perkebunan. Di situlah peran “si besar”, yaitu berinvestasi pada industri pengolah berteknologi yang mewadahi usaha menengah dalam relasi yang adil dan jujur. Demikianlah UUD ’45 bila dibayangkan menjadi lebih teknis.

Idealisme UUD ’45 itu bukan makin dekat, melainkan makin jauh, karena ketimpangan kepemilikan tanah. Ekonomi makin terkonsentrasi dan hubungannya tentu saja tidak adil. Karena keadaan makin menjauh dari idealisme, ada dua cara menyele­saikannya, yakni UUD diamandemen untuk mengikuti perkembangan atau diadakan tobat nasional untuk mencari pemecahan mendasar meredistribusi aset dalam magnitude yang signifikan.

Apa akibat konsentrasi kepemilikan tanah? Melukai rasa keadilan yang menjadi ultimate goal Pancasila. Misalnya, korporasi mengelola 2,5 juta hektare tanah, bahkan ada data yang menyebutkan sampai 5 juta hektare. Perusahaan itu bila dipecah menjadi perusahaan menengah kuat dengan masing-masing 1.000 hek­tare akan menghasilkan keadaan yang dramatis. Dari satu direktur menjadi 2.500 sampai 5.000 direktur. Dari 4 wakil direktur menjadi 10.000 sampai 20.000 wakil direktur, dari 100 klerek menjadi ribuan klerek. Muncul kebutuhan ribuan sopir, kelipatan ribuan satpam, dan ratusan ribu pekerja manual. Itu baru satu korporasi. Padahal, terdapat cukup banyak pemain oligopoli yang bisa dipecah dengan cara yang sama.

Kerja besar pertobatan nasional itu akan menghasilkan pasar kerja yang menyerap penganggur. Ekonomi akan menjadi egaliter dengan kelompok menengah yang kuat. Ekonomi akan menjadi merata, seimbang, dan kecemburuan sosial hilang. Negara akan menjadi kuat. Hal tersebut menghasilkan persatuan NKRI yang sejati, tidak semu, dan membara. Membiarkan ketidakadilan dengan jalan membiarkan konsentrasi kepemilikan tanah sama saja dengan menjerumuskan negara kepada kehancuran.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar