Tobat
Nasional untuk Ketimpangan Tanah
Bambang Setiaji ; Rektor Universitas Muhammadiyah Kaltim
|
JAWA
POS, 28 Maret 2018
KRITIK
mantan Ketua MPR Amien Rais soal pencitraan atau pengibulan bagi-bagi
sertifikat tanah menjadi polemik. Di sisi lain, pemerintah tidak berbuat
banyak untuk menyelesaikan masalah mendasar soal ketimpangan kepemilikan
properti tersebut.
Sindiran
Amien yang menyebut 1 persen penduduk menguasai 74 persen tanah alih-alih
mendapat penjelasan dari pemerintah. Menko Kemaritiman Luhut Binsar
Pandjaitan membalas dengan akan mencari dosa Amien.
Belum
selesai polemik Amien vs Luhut, Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto
menyampaikan bahwa 1 persen penduduk menguasai 80 persen tanah dan elite
politik kita menganggapnya tidak apa-apa. Kekayaan kita diambil oleh asing,
elite kita mengatakan tidak apa-apa.
Apabila hal itu dibiarkan, analisis
dalam novel intelijen yang menyatakan bahwa Indonesia akan bubar pada 2030 akan
menjadi kenyataan.
Rakyat
banyak dan elite yang masih waras tentu saja sangat risau menghadapi fakta
ketimpangan kepemilikan tanah. Tanah berbeda dengan aset perbankan dan saham.
Sebab, tanah bersifat tetap, tidak bisa diperluas, serta bersentuhan langsung
dengan usaha rakyat bawah, yaitu pertanian dan perkebunan. Sedangkan saham
dan aset perbankan selalu dapat diperluas tanpa batas dan sering kali tidak
riil.
Proses
akumulasi tanah ke tangan korporasi sebenarnya sudah berjalan sangat lama dan
bukan dosa pemerintahan Jokowi-JK saja. Hanya, data mengenai ketimpangan itu
baru menarik perhatian publik sekarang, seiring dengan meningkatnya kesadaran
masyarakat. Juga, dengan diiringi keterbukaan dan penggunaan media sosial
yang masif.
Buya
Syafi’i Ma’arif, penasihat pemerintah yang sering berbeda pandangan dengan
Amien, sepakat soal ketimpangan aset tanah tersebut. Beliau juga memberi
catatan agar diselesaikan. Pemerintah dan DPR perlu duduk bersama, bagaimana
menyelesaikan ketimpangan aset tanah itu sebagai pertobatan nasional. Sebab,
begitu lama hal tersebut dibiarkan berlarut-larut dan menjadi dosa kolektif.
Akibat
Akumulasi Aset
Aset
tanah merupakan sumber pendapatan rakyat yang sangat penting. Sebab, negara
kita adalah negara agraris. Akumulasi atau konsentrasi kepemilikan akan
menyebabkan ketimpangan lanjutan, yaitu dari sisi pendapatan. Struktur 1
persen yang menguasai aset tanah 74 sampai 80 persen (bahkan suatu lembaga
survei menyebut menguasai 93 persen) merupakan struktur kolonial atau
menggambarkan masyarakat feodal. Semula, tanah-tanah dimiliki segelintir
elite atau kolonial dan dikerjakan para budak atau rakyat jajahan. Perbudakan
dihapus, tanah berubah jadi milik bangsawan dan dikerjakan oleh petani dalam
relasi feodal.
Setelah
revolusi industri dan merdekanya negara-negara jajahan, impian rakyat untuk
memiliki tanah tetaplah impian. Sebab, yang berubah hanya pola: Hak tanah
diberikan kepada pemodal atau kapitalis dan dikerjakan oleh para pekerja. Hal
itu memberikan impian atau ideologi lanjutan agar ada revolusi atau reformasi
sekali lagi untuk pembagian tanah dan modal yang lebih adil.
Salah
satu sebab penentangan dan pemberontakan kepada pemerintah kolonial di
Indonesia adalah penguasaan tanah, khususnya perkebunan. Saat kemerdekaan,
UUD disusun dengan merombak konsentrasi kepemilikan tanah model VOC/kolonial
menjadi ekonomi yang lebih berkeadilan. Ekonomi yang egaliter digambarkan
atau diskenario sebagai lawan dari mekanisme pasar, menjadi kekeluargaan, di
mana tercipta kelompok pengusaha menengah yang kuat dan besar.
Kelompok
menengah yang jumlahnya jutaan itu kemudian diwadahi industri pengolah hasil
perkebunan. Di situlah peran “si besar”, yaitu berinvestasi pada industri
pengolah berteknologi yang mewadahi usaha menengah dalam relasi yang adil dan
jujur. Demikianlah UUD ’45 bila dibayangkan menjadi lebih teknis.
Idealisme
UUD ’45 itu bukan makin dekat, melainkan makin jauh, karena ketimpangan
kepemilikan tanah. Ekonomi makin terkonsentrasi dan hubungannya tentu saja
tidak adil. Karena keadaan makin menjauh dari idealisme, ada dua cara menyelesaikannya,
yakni UUD diamandemen untuk mengikuti perkembangan atau diadakan tobat
nasional untuk mencari pemecahan mendasar meredistribusi aset dalam magnitude
yang signifikan.
Apa
akibat konsentrasi kepemilikan tanah? Melukai rasa keadilan yang menjadi
ultimate goal Pancasila. Misalnya, korporasi mengelola 2,5 juta hektare
tanah, bahkan ada data yang menyebutkan sampai 5 juta hektare. Perusahaan itu
bila dipecah menjadi perusahaan menengah kuat dengan masing-masing 1.000 hektare
akan menghasilkan keadaan yang dramatis. Dari satu direktur menjadi 2.500
sampai 5.000 direktur. Dari 4 wakil direktur menjadi 10.000 sampai 20.000
wakil direktur, dari 100 klerek menjadi ribuan klerek. Muncul kebutuhan
ribuan sopir, kelipatan ribuan satpam, dan ratusan ribu pekerja manual. Itu
baru satu korporasi. Padahal, terdapat cukup banyak pemain oligopoli yang
bisa dipecah dengan cara yang sama.
Kerja
besar pertobatan nasional itu akan menghasilkan pasar kerja yang menyerap penganggur.
Ekonomi akan menjadi egaliter dengan kelompok menengah yang kuat. Ekonomi
akan menjadi merata, seimbang, dan kecemburuan sosial hilang. Negara akan
menjadi kuat. Hal tersebut menghasilkan persatuan NKRI yang sejati, tidak
semu, dan membara. Membiarkan ketidakadilan dengan jalan membiarkan
konsentrasi kepemilikan tanah sama saja dengan menjerumuskan negara kepada
kehancuran. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar