Eksploitasi
Privasi Pengguna Medsos
Agus Sudibyo ; Direktur Indonesia New Media Watch
|
KOMPAS,
29 Maret
2018
Facebook, platform media sosial
(medsos) terpopuler sejagat itu seperti tak pernah putus dirundung prahara.
Skandal mobilisasi akun-akun Facebook palsu oleh Rusia untuk menyebarkan
ribuan ujaran kebencian dan berita bohong dalam pilpres di AS tahun 2016
masih dalam proses penyelidikan, kini muncul skandal yang tak kalah
menggemparkan.
Seorang “peniup peluit”
(whistleblower) bernama Christopher Wylie mengungkapkan bahwa data pribadi
lebih dari 50 juta orang pengguna Facebook telah secara diam-diam digunakan
perusahaan bernama Cambridge Analytica untuk mendukung kampanye Donald Trump
pada pilpres AS 2di 006. Cambridge Analytica mengolah data tersebut untuk
memprediksi kecenderungan politik para pemilih dalam pilpres AS, untuk
kemudian menjadikan mereka sebagai sasaran iklan politik yang sesuai.
Kegeraman dan kepanikan pun terjadi
di mana-mana. Tidak hanya Pemerintah AS yang kelabakan, tetapi juga
Pemerintah Inggris, Uni Eropa (UE), Israel, India dan lain-lain. Muncul
kekhawatiran praktik penyalahgunaan data pengguna medsos untuk memobilisasi
opini publik juga terjadi di negara lain. Keluarnya Inggris dari UE
diperkirakan juga tak terlepas dari kejahatan itu. Untuk Indonesia yang
sedang menyongsong tahun politik dan sedang didera histeria hoaks, kejahatan
itu jelas sangat relevan dan kontekstual.
Dalam buku berjudul Marx in Age of Digital Capitalism
(2016), Vincent Mosco menjelaskan bahwa media-media baru seperti medsos,
mesin pencari dan e-commerce telah menciptakan ekosistem baru yang sangat
rawan manipulasi dan kejahatan.
Kerawanan itu setidaknya
disebabkan empat hal: 1) ketidaktahuan pengguna internet akan risiko-risiko
keaktifan mereka di ranah digital; 2) kemampuan perusahaan media digital
untuk mengakses privasi penggunanya nyaris tanpa batas; 3) ketidakmampuan
atau ketidakmauan perusahaan media digital untuk menjamin keamanan data
penggunanya; 4) belum adanya pranata hukum untuk menangani berbagai
manipulasi, penyelewengan dan kejahatan pada aras itu. Dalam konteks ini,
menjadi jelas bahwa yang kita hadapi terkait dengan medsos bukan hanya ujaran
kebencian dan hoaks, tetapi juga campur-tangan dan pengendalian atas
kehidupan pribadi pengguna medsos.
Infiltrasi ranah personal
Para pengguna medsos umumnya tidak
menyadari campur-tangan dan pengendalian tersebut. Mereka terus-menerus
mengumbar data pribadi, aktivitas, sikap politik dan orientasi ideologis di
medsos. Kata sosial dalam media sosial begitu hegemonik sehingga masyarakat
umumnya mengira medsos murni merupakan ruang diskusi dan interaksi sosial.
Mereka tidak menyadari bahwa medsos juga merupakan instrumen pengawasan
dan pengendalian yang sistemik dan eksesif oleh perusahan-perusahaan media
digital. Dalam kaitan inilah pada 2015, Shoshanna Zuboff mengenalkan konsep
surveillance capitalism.
Jenis kapitalisme yang senantiasa
mengawasi dan merekam aktivitas pengguna internet untuk menghasilkan data
perilaku (behavioral data) yang akan digunakan untuk menunjang kepentingan
bisnis perusahaan media digital. Melalui penghitungan algoritma dan penerapan
kecerdasan artifisial, perusahaan medsos, e-commerce atau mesin pencari mengolah
data perilaku penggunanya untuk menghasilkan prediksi pola konsumsi,
keputusan dan interaksi sosial pengguna tersebut. Data perilaku ini kemudian
bertransformasi menjadi surplus perilaku (behavioral surplus) ketika dikemas
sedemikan rupa dan dijual kepada pelanggan perorangan, organisasi dan
perusahaan yang akan membayar tarif layanan data sesuai permintaan. Surplus
perilaku inilah instrumen utama bisnis perusahaan media digital. Pada tataran
global, surplus perilaku itu secara oligopolis dikuasai oleh sedikit
perusahaan seperti Google, Facebook, Amazon.
Lebih dari itu, yang juga terjadi
menurut Mosco adalah infiltrasi atas ranah personal pengguna internet. Google
diam-diam dapat membaca surat elektronik para pengguna layanan Gmail untuk
menentukan iklan apa yang tepat untuk dikirimkan ke pengguna tersebut.
Facebook dapat memanipulasi lini
masa penggunanya untuk mendongkrak jumlah waktu yang dihabiskan setiap orang
untuk berselancar di medsos. Data tentang durasi penggunaan medsos ini kemudian digunakan untuk menarik minat pengiklan. Facebook juga dapat
memasok iklan-iklan daftar impian (bucket list) kepada penggunanya karena
Facebook telah memetakan terlebih dahulu masalah dan kebutuhan mereka.
Eksploitasi data pengguna internet
juga lazim terjadi pada ranah politik. Tahun 2012, Amazon menyediakan layanan
berbasis analisis big data untuk tim kampanye Barack Obama. Keberhasilan
Amazon mengidentifikasi dan mengarahkan pemilih AS pada Obama di sini mirip
dengan kemampuan Amazon dalam menggiring pengguna internet ke arah iklan
digital tertentu. Keberhasilan itu dianggap sebagai salah satu penyebab
kesuksesan Obama terpilih sebagai presiden untuk kedua kali.
Berkat keberhasilan ini, Amazon
dapat imbalan berupa kontrak 600 juta dollar AS guna menyediakan layanan
cloud dan big data untuk CIA.
Menurut Mosco, Amazon di sini bukan hanya
sukses mendominasi bisnis media digital, melainkan juga mendemonstrasikan
tendensi usang kapitalisme: kemampuan menggunakan akses politik demi raih
keuntungan ekonomi.
Peretasan privasi pengguna
internet secara terus-menerus serta pengawasan atas pengguna internet yang
semakin menyeluruh merupakan elemen penting dari model bisnis yang
dikembangkan perusahaan media digital seperti Facebook dan Google. Mereka
memaksimalkan pengolahan dan penggunaan data pengguna internet yang tersimpan
dalam server raksasa yang mereka miliki, lalu mengemas dan menawarkan data
itu kepada klien bisnis maupun politik yang akan membayar layanan data sesuai
dengan permintaan.
Pertanggungjawaban
Pertanyaannya adalah, bagaimana
etika penggunaan data pribadi pengguna internet secara sepihak oleh
perusahaan media digital? Apakah perusahaan media digital pernah meminta izin
menggunakan data itu? Atas dasar apa perusahaan media digital merasa berhak
memonetisasi data pribadi penggunanya? Apakah ini bukan merupakan
manipulasi atau penyalahgunaan?
Dalam konteks inilah permintaan
maaf bos Facebook, Mark Zuckerberg, kepada publik AS atas skandal Cambridge
Analytica menarik untuk dicermati. Di satu sisi, dia menyatakan tidak
seharusnya data pribadi pengguna Facebook digunakan secara sepihak. Namun,
bukankah selama ini model bisnis perusahaan medsos memang berdasar pada
pemanfaatan sepihak atas data penggunanya? Di satu sisi dia mengakui adanya
kesalahan dan meminta maaf, tetapi di sisi lain dia secara implisit
menyatakan kesalahan bukan pada Facebook, tetapi Cambridge Analytica.
Ketiadaan hukum yang mengatur
keamanan data pengguna internet di sini memberikan efek impunitas bagi
perusahaan media digital. Impunitas juga tercermin dari bagaimana peretasan
data pengguna internet diselesaikan. Kasus peretasan atas 10 lembaga keuangan
di AS yang berdampak pada keselamatan data 83 juta pelanggan layanan cloud
pada September 2014, menurut Vincent Mosco menunjukkan bahwa baik pemerintah
(AS) dan perusahaan media digital hanya terfokus untuk menangani peretasan
itu sebagai murni tindakan kriminal pelanggaran privasi dan peretasan.
Padahal ada dua perkara di sini.
Pertama, ketidakmampuan perusahaan media digitaldalam melindungi data pelaku
pengguna internet yang telah mereka kelola. Kedua, tindakan peretasan oleh
individu atau kelompok.
Namun, yang dianggap tindakan
kriminal adalah perkara kedua saja. Padahal secara kausalitas, masalah kedua
tak akan terjadi jika masalah pertama tak terjadi. Masalah pertama semestinya
juga merupakan kesalahan yang mengandung konsekuensi bagi yang
bertanggung-jawab atasnya. Perusahaan media digital merekam data perilaku
pengguna internet dan memanfaatkannya tanpa izin untuk mendapatkan keuntungan
ekonomi atau politik.
Namun ketika tak mampu menjaga
keselamatan data perilaku itu dan menyebabkan kerugian bagi pengguna
internet, perusahaan tak merasa perlu bertanggung-jawab. Peretasan atas
keamanan data dianggap bukan tanggung-jawab perusahaan media digital, tetapi
semata-mata tanggung-jawab sang peretas.Impunitas perusahaan media digital
dalam kasus ini paralel dengan impunitas perusahaan medsos dalam kasus
persebaran hoaks. Dalam perang melawan hoax di Indonesia sejauh ini, penegak
hukum belum menempatkan perusahaan medsos sebagai pihak yang mesti turut
bertanggung-jawab atas persebaran hoaks. ●
|
Saya telah berpikir bahwa semua perusahaan pinjaman online curang sampai saya bertemu dengan perusahaan pinjaman Suzan yang meminjamkan uang tanpa membayar lebih dulu.
BalasHapusNama saya Amisha, saya ingin menggunakan media ini untuk memperingatkan orang-orang yang mencari pinjaman internet di Asia dan di seluruh dunia untuk berhati-hati, karena mereka menipu dan meminjamkan pinjaman palsu di internet.
Saya ingin membagikan kesaksian saya tentang bagaimana seorang teman membawa saya ke pemberi pinjaman asli, setelah itu saya scammed oleh beberapa kreditor di internet. Saya hampir kehilangan harapan sampai saya bertemu kreditur terpercaya ini bernama perusahaan Suzan investment. Perusahaan suzan meminjamkan pinjaman tanpa jaminan sebesar 600 juta rupiah (Rp600.000.000) dalam waktu kurang dari 48 jam tanpa tekanan.
Saya sangat terkejut dan senang menerima pinjaman saya. Saya berjanji bahwa saya akan berbagi kabar baik sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman mudah tanpa stres. Jadi jika Anda memerlukan pinjaman, hubungi mereka melalui email: (Suzaninvestment@gmail.com) Anda tidak akan kecewa mendapatkan pinjaman jika memenuhi persyaratan.
Anda juga bisa menghubungi saya: (Ammisha1213@gmail.com) jika Anda memerlukan bantuan atau informasi lebih lanjut