Sabtu, 24 Maret 2018

Residu Kemenangan Putin untuk Kita

Residu Kemenangan Putin untuk Kita
Yuddy Chrisnandi  ;   Duta Besar LBBP RI untuk Ukraina, Armenia, dan Georgia
                                                        KOMPAS, 24 Maret 2018



                                                           
Hasil pemilu presiden di Rusia tidak mengejutkan. Jauh-jauh hari, beberapa pengamat politik internasional mengamini bahwa Vladimir Putin akan memenangi Pilpres Rusia 2018.

Seperti saya kutip dari tulisan Adam Taylor, bulan lalu, salah satu pengamat politik Eropa Timur yang juga seorang kontributor Washington Post itu menyampaikan bahwa Putin kembali akan memenangi pilpres. Menurut Taylor, tingkat popularitas Putin terus naik sejak 1999 hingga 2017 mencapai 81 persen. Putin sudah dianggap menang bahkan sebelum pilpres diadakan.

Saya menaruh perhatian terhadap situasi demokrasi dan bernegara di Rusia. Seperti kita ketahui, Putin memenangi pilpres dengan perolehan suara 76 persen, sedangkan pesaing terberatnya, Pavel Grudinin, hanya mengumpulkan 11 persen. Empat penantang lainnya, masing-masing tak lebih dari 1 persen. Angka yang sangat meyakinkan untuk menyebut kemenangan yang telak.

Tingkat partisipasi pemilih rakyat Rusia menunjukkan peningkatan cukup signifikan daripada pemilu legislatif tahun 2016 sebesar 47,81 persen menjadi 67 persen pada pilpres kali ini. Saya berpandangan bahwa antusiasme pemilih pada pilpres di Rusia menunjukkan tingkat kepercayaan rakyat kepada Putin.

Bagaimana ini bisa terjadi? Sebagaimana kita ketahui, Putin sering menjadi bulan-bulanan komunitas internasional disebabkan oleh pelbagai kebijakannya.

Harga diri Rusia

Diskusi kebijakan publik sering menggunakan frasa ”pemimpin otentik” untuk menyebut pemimpin yang ideal. Saya sendiri menggunakan term itu untuk menyebut pemimpin yang memiliki karakter yang kuat. Kuatnya sebuah karakter terbentuk oleh tempaan pengalaman dan orisinalitas berpikir.

Pemimpin yang berpengalaman akan mengeluarkan keputusan-keputusan yang bijak. Pemimpin yang bijak membaca masa lalu untuk mengamankan masa depan. Mereka tak reaktif terhadap satu peristiwa, tetapi akan memberikan solusi paling tepat dan efisien. Orisinalitas berpikir akan menciptakan kebijakan yang baru, solutif, dan mampu mengakomodasi berbagai kepentingan.

Muaranya pada kepuasan komunal yang dipimpin. Di alam demokrasi, kepuasan itu dapat dibuktikan dengan dipilihnya kembali seorang pemimpin pada periode berikutnya.

Saya menduga, Putin memiliki karakter pemimpin yang otentik. Secara kuantitatif dibuktikan dengan kepercayaan 56 juta rakyat Rusia yang memilih dia kembali sebagai presiden tahun 2018. Secara pengalaman, Putin bukan seorang migrator politik, ia konsisten berada di ranah pemerintahan. Ia memiliki pengalaman panjang sebagai bagian dari Pemerintah Rusia. Sejak 1975, ia sudah jadi anggota elite intelijen yang dulu disebut KGB. Tahun 1998, ia dipercaya memimpin organisasi itu. Lalu, pada 1999, ia menjadi perdana menteri (PM), setahun kemudian masuk Kremlin sebagai presiden terpilih Rusia.

Ia sempat jadi PM kembali pada 2008 akibat batasan konstitusi untuk masa jabatan presiden. Berkat kelihaiannya, setelah konstitusi Rusia tentang masa jabatan presiden berubah, ia kembali lagi jadi Presiden Rusia pada 2012. Berdasarkan catatan saya, pada era milenial, Putin adalah presiden satu-satunya di dunia yang menjabat paling lama, empat kali masa jabatan. Uniknya, jabatan itu terus bertahan melalui jalan demokrasi.

Episode pemerintahan Putin bukan tanpa plot-plot masalah. Boleh dikatakan rezim Putin sebagai perjalanan pemerintahan yang penuh risiko. Beberapa kali Rusia menjadi bahan bullying negara lain, utamanya negara-negara Barat. Sanksi ekonomi, embargo untuk berbagai sektor, dan komentar pedas pemimpin-pemimpin dunia sepertinya adalah hidangan sehari-hari di atas meja makan pemerintahan Putin. Bagi saya, yang mengesankan, setiap tantangan yang dihadapi oleh Pemerintah Rusia justru semakin menambah kepercayaan diri Putin menghunuskan kebijakannya semakin dalam. Ia mampu menghimpun simpul-simpul kekuatan internal untuk menunjukkan kepada dunia bahwa kepentingan Rusia di atas segalanya.

Tak ada pemimpin yang kuat tanpa dukungan rakyat yang kuat. Seni Putin dalam memimpin menghipnotis rakyat untuk membangkitkan rasa nasionalismenya.

Putin mengembalikan kenangan masa lampau rakyat Rusia akan kejayaan kekaisaran Tsar. Rakyat melihat sosok presiden mereka sebagai gambaran jati diri mereka sendiri. Karena itu, Putin, dengan segala artikulasi kebijakan yang sering membuat pertarungan terbuka dengan negara lain, justru mendapat dukungan dari rakyatnya. Putin bersama rakyatnya ingin menunjukkan kebangkitan Rusia sebagai polar kekuatan dunia.

Makna kemenangan Putin

Kemenangan Putin memiliki makna geopolitik kawasan Eropa Timur. Khususnya di Ukraina, tempat saya bertugas, hasil Pilpres Rusia tidak akan mengubah banyak keadaan. Seperti hubungan ekonomi, relasi keduanya saya gambarkan seperti melihat topi sulap ajaib. Dilihat dari luar sepertinya kosong, tetapi jika tangan kita masukkan ke dalam, ada seekor kelinci putih di sana.

Ilustrasi itu menggambarkan hubungan dagang kedua negara yang dulu satu union ini. Ada relasi perdagangan yang masih terus terjadi, tapi untuk mengetahuinya kita perlu masuk ke dalam. Contohnya komoditas gas. Rusia sebagai penghasil gas terbesar di kawasan tidak menjual secara langsung kepada Ukraina. Begitupun dengan Ukraina yang membutuhkan pasokan gas untuk industri dan rumah tangga, mereka tidak membeli langsung dari Rusia. Bagaimana caranya? Rusia akan menjual gas ke Polandia, lalu Polandia akan menjual kembali gas itu ke Ukraina. Konsekuensinya, harga gas yang harus dibayar Ukraina menjadi lebih mahal.

Ukraina saat ini dipimpin Presiden Petro Poroshenko yang dikenal pro-Barat. Gestur politik itu bukan tanpa manfaat. Poroshenko gencar mendekati Barat, dalam hal ini Uni Eropa (UE), untuk mendapatkan sokongan. Usaha itu ada hasilnya, seperti jaminan UE yang akan terus memasok kebutuhan gas ke Ukraina. Belum lagi manfaat lain yang diterima Ukraina dari negara Barat, seperti kucuran utang dari IMF, yang digunakan untuk pembangunan infrastruktur di seluruh wilayah Ukraina.

Juga dalam urusan politik, Ukraina mendapatkan dukungan dari Amerika Serikat, Inggris, dan UE, ketiganya  mengecam tindakan Rusia di Crimea. Kecaman itu bahkan berlanjut menjadi embargo ekonomi dan militer.

Menurut saya, gejolak wilayah perbatasan di Crimea, Donetsk, ataupun Luhanks masih akan terus berlangsung. Rezim Poroshenko belum akan melumer untuk mengikhlaskan ketiga wilayah yang diduga kaya sumber daya itu. Sementara Putin, kaisar Tsar era milenial ini, masih kencang memegang prinsip untuk kedaulatan wilayah. Konflik di wilayah yang secara de jure milik Ukraina ini belum akan rampung dalam satu dekade ke depan.

Sementara untuk kita, Indonesia, saya melihat demokratisasi Rusia yang semakin progresif adalah contoh yang baik. Secara empirik data yang saya baca dari beberapa laporan menyebutkan bahwa saat pilpres berlangsung, Rusia mengundang banyak LSM, organisasi pengawas pemilu internasional, perwakilan komisi pemilu dari negara-negara demokrasi, termasuk perwakilan KPU dan Bawaslu RI, untuk mengawasi pelaksanaan pilpres mereka. Beberapa laporan dari lembaga itu menyebutkan pelaksanaan demokrasi di Rusia berlangsung aman dan terbuka.

Keberhasilan pilpres kali ini tentu tak lepas dari campur tangan Putin. Komitmen pemerintahan Putin untuk melakukan pilpres yang terbuka, jujur, patut diapresiasi. Walau banyak negara Barat yang menyangsikan kedemokratisan Rusia, saya berpandangan, secara substansial mereka sudah melakukan pemilu terbuka dan adil. Kemenangan Putin dapat disiarkan sebagai kemenangan demokrasi ala Rusia.

Berbagai sumber mengatakan terjadi power shifting di kawasan Eropa, dari yang UE centered jadi Rusia centered. Sementara itu, kegagahan AS sebagai pemimpin global akan kian meredup di tengah percepatan munculnya kekuatan baru di Asia dan Eropa Timur. Rusia adalah negara kunci. Kepemimpinan Putin untuk enam tahun ke depan, menurut prediksi saya, akan mampu membawa Rusia naik tingkat.

Jika itu benar terjadi, tak salah jika Indonesia mulai menyiapkan strategi untuk mengadaptasi perubahan geopolitik global. Kiblat kita tidak harus terus ke Barat. Elite kita sebaiknya sudah mulai berpikir, atau lebih jauh mengambil aksi, untuk mengubah kompas keberpihakan relasi internasional. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar