Senin, 26 Maret 2018

Benturan Peradaban

Benturan Peradaban
MH Samsul Hadi  ;   Wartawan Senior Kompas
                                                        KOMPAS, 26 Maret 2018



                                                           
Pada 1993, pakar politik asal Amerika Serikat, Samuel P Huntington, melontarkan hipotesis yang kontroversial dan mengundang perdebatan banyak kalangan berjudul ”Benturan Peradaban (The Clash of Civilization)?” Hipotesisnya, antara lain, berupa pandangan bahwa identitas budaya dan agama bakal menjadi sumber utama konflik-konflik di dunia pasca-Perang Dingin.

Dalam teorinya, ia membagi dunia ke dalam beberapa peradaban utama, tetapi ia menyebutkan konflik politik dunia cenderung berupa konflik peradaban Barat versus non-Barat. Saat itu, banyak kritik dan penentangan diajukan pada klaim serta teori Huntington itu, sekaligus dengan menyodorkan konsep tandingan—bukan benturan (clash)—yakni dialog antarperadaban.

Teori ”Benturan Peradaban” tersebut diangkat kembali oleh Graham Allison, pakar politik di Harvard Kennedy School of Government, untuk menganalisis konflik AS versus China. Dalam artikelnya di jurnal Foreign Affairs (September/Oktober 2017) mengenai AS versus China, ia menyebutkan, peristiwa tahun-tahun belakangan ini dan ke depan akan semakin memperkuat teori Huntington itu.

”Ketegangan di antara nilai-nilai, tradisi, serta filosofi antara Amerika dan China bakal memperburuk tekanan-tekanan struktur fundamental, yang terjadi manakala kekuatan yang sedang bangkit, seperti China, mengancam menggantikan kekuatan mapan, seperti AS,” tulis Allison dalam artikel tersebut.

Berbagai analisis konflik AS versus China seperti itu relevan dan menarik dicermati jika mengamati situasi akhir-akhir ini. Pada Kamis lalu, Presiden AS Donald Trump kembali menabuh genderang ”perang dagang” dengan China saat ia menyatakan akan menerapkan tarif baru untuk produk-produk impor China ke AS.

Langkah itu langsung direspons China. Melalui pernyataan Kementerian Keuangan negara tersebut, Jumat (23/3), Beijing menegaskan, mereka ”tidak takut dengan perang dagang”. Mereka bahkan menyebut lebih detail besaran tarif serta jenis produk-produk impor dari AS yang akan dikenai tarif, sebagai balasan terhadap AS.

Kementerian Keuangan China menyebutkan, produk-produk AS senilai 3 miliar dollar AS bisa dikenai tarif hingga 25 persen, mulai dari buah-buahan hingga daging babi dan minuman anggur. ”China tidak ingin terlibat perang dagang, tetapi pasti tidak takut terhadap perang dagang,” kata Beijing.

Genderang perang dagang yang ditabuh Trump, pekan lalu, itu babak lanjutan dari keputusan AS sebelumnya soal penerapan tarif atas impor baja dan aluminium. Sudah bukan rahasia lagi, sasaran perang dagang AS adalah China. AS ingin memangkas defisit perdagangan dengan China yang tahun lalu mencapai 375,2 miliar dollar AS.

Seperti yang sudah terjadi, ketegangan AS versus China di ranah perdagangan memicu gejolak pasar bursa saham di banyak negara, termasuk di Jakarta. Ada kekhawatiran, situasi ini akan menimbulkan perang dagang terbuka AS versus China.

Perlu dicatat, ancaman perang dagang itu menambah front rivalitas kedua negara, selain rivalitas di ranah politik kawasan, khususnya di Laut China Selatan. Allison mengingatkan, dalam beberapa tahun ke depan sejumlah ketegangan bisa menyebabkan krisis dalam hubungan AS-China.

Peringatan serupa disampaikan Kishore Mahbubani dari Lee Kuan Yew School of Public Policy, Singapura. Saat kekuatan nomor satu di dunia (AS) menjelang diungguli kekuatan baru (China), tulis Kishore di buku ASEAN Miracle (Keajaiban ASEAN)”, persaingan dua kekuatan itu akan mencapai tingkat paling sengit.

Nah, apakah situasi sekarang menjadi tanda persaingan sengit itu sudah dimulai? Mungkin saja. ●

1 komentar: