Menyigi
Kedigdayaan Xi Jinping
Novi Basuki ; Mahasiswa Doktoral Sun Yat-sen
University, Tiongkok
|
JAWA
POS, 20 Maret 2018
SESI pertama Kongres Rakyat Nasional Ke-13
menggelar rapat paripurna ketiga pada 11 Maret 2018 untuk memvoting draf
amandemen Konstitusi Tiongkok yang disusun Komite Tetap Kongres Rakyat
Nasional (KRN). Ramai diberitakan, sidang tersebut telah mengegolkan
rancangan amandemen 21 butir isi Konstitusi Tiongkok 1982 dengan memanen
2.958 suara setuju, 2 suara menolak, 3 abstain, dan 1 tidak sah.
Masa
Kepresidenan
Amandemen Konstitusi 1982 kali ini menjadi
sorotan lantaran penghapusan batasan masa jabatan presiden yang “tidak boleh
menjabat lebih dari dua periode berturut-turut” dalam pasal 79 ayat 3. Dengan
dicoretnya term limit itu, Xi Jinping, presiden Tiongkok sekarang yang
mestinya tidak boleh menjabat lagi setelah periode kedua kepresidenannya
berakhir pada 2023, termungkinkan untuk terus menjadi presiden sampai waktu
yang tak ditentukan. Karena itu, banyak kalangan luar khawatir Tiongkok akan
mundur ke era kediktatoran Mao Zedong yang berkuasa seumur hidup sekaligus
merusak sistem pensiun yang dirancang oleh dan dijalankan sejak Deng
Xiaoping.
Namun, artikel separo halaman yang ditulis
Xuan Li -nama pena Departemen Propaganda Komite Sentral Partai Komunis
Tiongkok Biro Teori (Xuanchuan Bu Lilun Ju)- di pagina ketiga Harian Rakyat
(Renmin Ribao) edisi 1 Maret 2018 menepis probabilitas akan diterapkannya sistem
jabatan seumur hidup (zhongshenzhi). Xuan Li memastikan, pengubahan batasan
masa jabatan presiden Tiongkok “bukan berarti mengubah sistem pensiun
pimpinan partai dan negara, juga bukan berarti pemberlakuan sistem jabatan
seumur hidup pimpinan partai dan negara”. Xuan Li mendasarkan pendapatnya
pada aggaran dasar Partai Komunis Tiongkok (PKT) pasal 36 yang mengatur masa
jabatan kader PKT di setiap tingkat tidak berlaku seumur hidup; mereka yang
karena faktor usia dan/atau kesehatan tidak leluasa menjalankan tugasnya bisa
pensiun atau mengajukan pengunduran diri.
Masalahnya, Xuan Li tak menyinggung dokumen
Keputusan Komite Sentral PKT tentang Pembentukan Sistem Pensiun Kader Lansia
(Zhonggong Zhongyang Guanyu Jianli Lao Ganbu Tuixiu Zhidu de Jueding) yang dikeluarkan
pada 20 Februari 1982. Di situ disebut, “Sekalipun sudah sampai pada usia
pensiun, tapi karena kebutuhan pekerjaan dan kondisi kesehatannya masih bisa
menopang pekerjaan itu dengan normal, setelah disetujui partai, boleh tidak
pensiun dalam kurun waktu tertentu untuk melanjutkan jabatannya.” Alhasil,
kalau Xi Jinping di masa senjanya masih merasa bugar, peluangnya untuk terus
menjadi presiden tetap terbuka lebar.
Cuma
Simbol
Meski demikian, dalam hierarki kepemimpinan
di Tiongkok, presiden adalah jabatan yang paling tidak krusial. Sebab, dari
dulu sampai sekarang, kedudukannya tak lebih sebagai lambang, figurehead,
belaka. Tampuk kekuasaan sesungguhnya, de facto, berada di tangan petinggi
PKT (Sekjen PKT dan ketua Komite Militer Pusat PKT).
Saking tak esensialnya, Tiongkok pernah
sejak revolusi kebudayaan 1966 hingga 1982 tidak mempunyai presiden. Dua
konstitusi Tiongkok sebelum Konstitusi 1982 (Konstitusi 1975 dan Konstitusi
1978) bukan cuma menghapus batasan empat tahun masa jabatan presiden Tiongkok
yang termaktub dalam konstitusi pertama Tiongkok (Konstitusi 1954), tapi juga
meniadakan jabatan presidennya.
Karena itu, tak heran, Mao Zedong sendiri
hanya menjadi presiden Tiongkok dari 1954 sampai 1959. Setelah itu, sambil
tetap memegang jabatan tertinggi di PKT, dia memberikan jabatan presidennya
kepada Liu Shaoqi sampai 1966. Liu, meski kala itu berstatus presiden, tak
berdaya menghadapi siksaan Pengawal Merah (Hong Weibing) loyalis Mao dalam
revolusi kebudayaan. Deng Xiaoping yang memangku jabatan ketua Komite Militer
Pusat PKT mulai 1981 sampai 1989 malah tak pernah menjabat presiden Tiongkok
hingga wafat. Walakin, sekalipun bukan sebagai presiden, tak akan ada yang
menyangsikan bahwa Mao dan Deng pada masanya adalah pemegang kekuasaan terbesar
di Tiongkok.
Pendek kata, di negara partai (party state)
seperti Tiongkok, kekuasaan presiden sebagai kepala negara berada di bawah
kekuasaan Sekjen PKT dan ketua Komite Militer Pusat PKT. Preambul anggaran
dasar PKT mengatur tegas, “Dang shi lingdao yiqie de (PKT memimpin
segalanya).”
Karena itu, kalau memang mau melanggengkan
kekuasaannya, Xi Jinping sebenarnya bisa saja melakukannya tanpa perlu repot
merevisi konstitusi terlebih dahulu. Dia, misalnya, dapat meniru Jiang Zemin
yang sekitar dua tahun tidak melepas jabatan ketua Komite Militer Pusat PKT
kepada Hu Jintao kendati jabatan Sekjen PKT dan presiden Tiongkok sudah
diserahkannya. Tak akan ada yang melarang Xi jika bertindak seperti itu pula.
Sebab, dalam anggaran dasar PKT, masa jabatan Sekjen PKT maupun ketua Komite
Militer Pusat PKT sama-sama tak dibatasi. Juga, sepanjang Xi bisa membawa
Tiongkok semakin makmur sentosa, rakyat Tiongkok mestinya sami’na wa atho’na. ●
|
Apakah kamu sudah tau prediksi togel mbah jambrong yang jitu? bila belum baca Prediksi jitu mbah jambrong Sgp
BalasHapus