Sabtu, 31 Maret 2018

Memahami Konflik di Suriah

Memahami Konflik di Suriah
Zuhairi Misrawi  ;   Intelektual Muda Nahdlatul Ulama;  Analis Pemikiran dan Politik Timur-Tengah di The Middle East, Jakarta
                                                    DETIKNEWS, 15 Maret 2018



                                                           
Ada seorang ustaz yang ditanya perihal tips agar negeri ini tidak terpecah-belah dan terlibat dalam konflik akut seperti konflik di Suriah. Ustaz tersebut menjawab agar kita tidak mudah terperosok dalam kubangan hoaks, dan selalu melakukan klarifikasi dan verifikasi alias tabayyun.

Namun ironis, ustaz tersebut justru memberikan testimoni yang sangat ganjil nan ganjal terkait konflik politik yang terjadi di Suriah. Penjelasannya tidak berdasarkan tabayyun, melainkan asumsi personal yang bersifat dangkal dan subjektif. Bahkan pandangannya dapat membahayakan, karena berusaha membenturkan antara Sunni dan Syiah. Beruntung para mahasiswa yang belajar di Damaskus berhasil memberikan tanggapan yang mencerminkan situasi objektif yang terjadi di Suriah.

Sampai sekarang ustaz yang menyerukan tabayyun itu tidak mau melakukan tabayyun. Setidak-tidaknya merevisi pandangannya dalam memotret konflik politik yang terjadi di Suriah saat ini.

Di sini diperlukan sebuah cara pandang yang mencerminkan dua sisi (cover both side) untuk memahami konflik yang berlangsung hampir delapan tahun itu. Harus diakui, bahwa konflik yang terjadi di Suriah adalah murni konflik politik antara rezim yang berkuasa Bashar al-Assad dengan kelompok oposisi.

Angin revolusi yang berembus di Tunisia dengan cepat menjalar ke beberapa negara di Timur-Tengah. Di Mesir angin revolusi berhasil menumbangkan rezim otoriter Hosni Mubarak. Di Libya berhasil menjungkalkan kursi kekuasaan Moamar Qaddafi. Di Yaman berhasil menggulingkan Ali Abdullah Saleh.

Namun, ketika angin revolusi berembus kencang di Suriah, Bashar al-Assad masih kokoh sebagai orang nomor wahid, bahkan posisinya saat ini semakin kokoh. Kenapa Bashar al-Assad tidak mudah digulingkan?

Pertama, Bashar al-Assad masih mendapatkan dukungan yang luas dari warga Suriah. Ia sosok pemimpin yang dicintai rakyatnya, karena ia mampu mempersatukan warga Suriah di tengah gempuran pihak Barat dan Israel. Mustahil ia bisa bertahan selama ini jika tidak mendapatkan dukungan yang besar dari warganya. Itulah yang membedakan antara Bashar al-Assad dengan Hosni Mubarak, Ali Abdullah Saleh, Ben Ali, dan Moammar Qaddafi.

Kegagalan revolusi di sejumlah negara Arab telah membukakan kesadaran warga Suriah, bahwa tidak mudah untuk memilih jalan revolusi. Karena jika tidak hati-hati, maka akan mudah terjerembab pada masalah yang lebih besar, yaitu instabilitas politik dan krisis ekonomi yang akut. Fakta tersebut terjadi di Mesir, Yaman, dan Libya. Hanya ada satu negara yang relatif membaik dari segi demokrasi, yaitu Tunisia. Meskipun, Tunisia juga menghadapi masalah ekonomi yang tidak mudah.

Bashar al-Assad diuntungkan oleh momentum kegagalan negara-negara Arab lainnya yang tidak mampu bangkit dari krisis politik dan ekonomi, sehingga ia berhasil merebut kembali hati warga Suriah untuk mendukung dirinya.

Kedua, kelompok oposisi yang tidak solid. Sebagai kekuatan penyeimbang dan pro-perubahan, kelompok oposisi semakin lama telah kehilangan legitimasi karena mereka tidak mampu membentuk sebuah kekuatan bersama yang mencerminkan aspirasi politik warga Suriah. Alih-alih ingin membentuk oposisi yang solid, mereka justru terlibat dalam konflik internal yang akut.

Ketiga, kelompok teroris yang ingin mendulang keuntungan dari instabilitas politik di Suriah. Selama ini Bashar al-Assad selalu menegaskan bahwa kelompok teroris berada di balik konflik politik di Suriah. Pernyataan tersebut tidak sepenuhnya salah, karena semua maklum ISIS telah memporak-porandakan Suriah. Belum lagi kelompok teroris yang berafiliasi dengan al-Qaeda, seperti Jaisy al-Islam, Jabhat al-Nusra, Haiat Tahrir al-Sham, dan Faylaq al-Rahman.

Adanya kelompok teroris di Suriah semakin membenarkan, bahwa ada pihak-pihak yang sebenarnya mempunyai tujuan politik yang lebih besar. Intervensi Amerika Serikat dan Arab Saudi terhadap kelompok-kelompok tersebut semakin memberikan dukungan politik terhadap Bashar al-Assad untuk melawan kelompok teroris hingga titik darah penghabisan.

Keempat, dukungan dari Rusia, Iran, dan Hizbullah Lebanon. Faktor ini sepertinya menjadi faktor determinan kenapa Bashar al-Assad tidak mudah ditaklukkan. Bahkan, kabarnya pasukan khusus Rusia memberikan pengawalan dan pengamanan yang super-canggih terhadap Bashar al-Assad, sehingga tidak akan mudah diterobos oleh lawan-lawan politik, termasuk Amerika Serikat.

Maka dari itu, memahami konflik di Suriah tidak bisa dengan menggunakan pendekatan konflik sektarian. Apa yang terjadi di Suriah merupakan murni konflik politik di dalam negeri yang sampai ini belum mencapai titik-temu. Selebihnya, konflik politik yang terjadi di Suriah juga merambah pada ranah geopolitik, yaitu pertarungan besar antara Amerika Serikat dan Rusia. Kedua negara ini sedang sama-sama mempertaruhkan pengaruhnya di Timur-Tengah.

Pada ranah yang paling sederhana juga ada pertarungan antara Arab Saudi dan Iran yang sama-sama ingin menjadikan Suriah sebagai mitra strategis. Apalagi Iran yang selama ini sudah merasa nyaman dengan Bashar al-Assad untuk membentengi dirinya dari infiltrasi Amerika Serikat dan Israel. Maka dari itu, Iran akan berusaha sekuat tenaga untuk mendukung rezim Bashar al-Assad.

Apa yang terjadi di Ghouta Timur juga merupakan episode yang belum selesai dari peristiwa yang terjadi sebelumnya. Apa yang terjadi di Ghouta merupakan pertarungan antara pasukan Bashar al-Assad yang didukung sepenuhnya oleh Rusia dan Iran melawan kelompok teroris Jabhat al-Nusra. Mereka berada di tengah-tengah ratusan ribu warga Ghouta untuk mendapatkan dukungan, seolah-olah mereka sebagai warga Ghouta. Ironisnya, kelompok Jabhat al-Nusra ini mempunyai persenjataan yang canggih, yang berhasil memberikan perlawanan terhadap pasukan Rusia.

Maka dari itu, solusi yang paling mujarab untuk menyelesaikan konflik politik di Suriah adalah rekonsiliasi antara kelompok oposisi dan pihak Bashar al-Assad. Semua pihak harus duduk bersama membincangkan sejumlah poin bersama, di antaranya memilih jalur politik untuk menentukan masa depan Suriah, termasuk jika diperlukan ada solusi konstitusional untuk memenuhi kebutuhan seluruh faksi politik.

Semua itu akan bisa dicapai jika kelompok-kelompok teroris yang mempunyai persenjataan harus hengkang dari Suriah, sebagaimana ISIS sudah hengkang dari Suriah dan Irak. Mereka harus memberikan kesempatan kepada warga Suriah untuk menentukan masa depan mereka. Selebihnya, Amerika Serikat dan Rusia harus mematuhi keputusan politik seluruh warga Suriah.

1 komentar: