Rabu, 28 Maret 2018

Pilpres dan Masa Depan Mesir

Pilpres dan Masa Depan Mesir
Smith Alhadar  ;   Direktur Eksekutif Institute for Democracy Education (IDE)
                                                        KOMPAS, 28 Maret 2018



                                                           
Di tengah seruan boikot kubu oposisi, rezim Presiden Abdul Fattah el-Sisi menyelenggarakan pemilihan presiden (pilpres), 26-28Maret. Seruan boikot adalah respons terhadap pilpres yang dipandang tidak demokratis-bebas-jujur. Ini lantaran calon-calon kompetitor yang bepotensi mengalahkan petahana ditahan, diancam, atau dipaksa   batal pencalonannya.

Kolonel Ahmad Konsowa,  yang mengumumkan niat ikut pilpres, dijatuhi hukuman enam tahun penjara oleh pengadilan militer karena tidak menaati perintah militer dengan mengungkapkan pandangan politiknya. Sami Anan, mantan kepala staf angkatan bersenjata Mesir, juga ditahan setelah mengumumkan niat ikut pilpres. Sementara Ahmad Shafik, mantan panglima angkatan udara  dan menteri Mesir, mundur dari kontestasi.

Khalid Ali, pengacara hak asasi manusia, ditekan agar mengurungkan niat ikut pilpres. Ia juga menghadapi hukuman tiga bulan penjara setelah dituduh mengganggu kesusilaan publik. Terakhir adalah mantan anggota parlemen Mohammad el-Sadat, keponakan mantan presiden Mesir Anwar Sadat, membatalkan pencalonan dengan alasan kondisi tidak fair.

Tokoh oposisi yang ditahan karena memboikot pemilu adalah  Abdul Moneim Aboul Fotouh. Fotouh, bersama delapan partai oposisi dan lebih dari 150 aktivis dan tokoh politik, mengajak rakyat Mesir memboikot pilpres.

Fotouh adalah mantan anggota Ikhwanul Muslimin (IM) dan kini pemimpin Partai Mesir Kuat. Pada pilpres 2012—pilpres paling demokratis sepanjang sejarah Mesir modern—Fotouh sebagai calon independen memperoleh hampir seperlima suara di putaran pertama. Ia dituduh menyebarkan berita palsu dan merendahkan presiden Mesir terkait pernyataannya bahwa pilpres tidak demokratis.

Pilpres tidak akan legitimate tanpa pesaing Sisi. Maka, muncul Moussa Mostafa Moussa, ketua Partai El-Ghad yang liberal. Pihak oposisi menganggap Moussa yang tidak populer ini, ditunjuk, bukan suka rela mencalonkan diri.   Moussa, loyalis Sisi, menyerahkan dokumen pencalonan 15 menit sebelum tenggat waktu.

Kondisi Mesir

Semua terjadi di tengah kondisi politik, sosial, ekonomi, dan budaya Mesir yang kurang baik. Sejak kejatuhan Presiden Hosni Mubarak pada 2011, investasi asing dan pendapatan pariwisata Mesir merosot akibat instabilitas politik dan keamanan.

Cadangan mata uang asing  anjlok 60 persen dan pertumbuhan ekonomi tinggal 3 persen. Inflasi pada Juli 2017 mencapai 28 persen. Korupsi merajalela, standar hidup stagnan, dan tiada trickle down effect. Indeks Persepsi Korupsi Mesir berada pada tingkat 144 dari 177 negara. Sementara, 40 persen penduduk  hidup dengan 2 dolar AS sehari.

The Pew Forum on Religion and Public Life menempatkan Mesir di peringkat kelima terburuk dunia dalam hal bekebasan beragama. Komisi tentang Kebebasan Beragama Internasional AS menempatkan Mesir dalam daftar negara yang perlu diawasi karena luasnya pelanggaran kebebasan beragama.

Undang-undang antiterorisme mengancam awak media dengan denda 25 ribu – 60 ribu dollar AS bagi yang menyebarkan informasi “keliru” terkait teror dalam negeri yang berbeda dengan pengumuman resmi dari Kementerian Pertahanan Mesir. Aktivis dan wartawan dipenjarakan atau dilarang bepergian. Wartawan Tanpa Batas menempatkan Mesir dalam hal kebebasan pers pada tingkat 158 dari 180 negara.

Rezim Mesir menggunakan polisi, tentara, dan pengadilan untuk konsolidasi kekuatan politik, menghilangkan kompetitor, dan memastikan narasi tunggal media. Rezim menyensor website berita dan HAM, memberlakukan undang-undang untuk menggilas masyarakat sipil, menyensor halaman media sosial, menangkap buruh yang berencana mogok maupun aktivis yang kampanye penghilangan paksa dan penyiksaan.

Langkah pemerintah Mesir menggusur kompetitor paling tidak menjelaskan tiga hal. Pertama, perasaan tidak aman Sisi tentang kekuatannya atas politik Mesir. Mungkin Sisi khawatir adanya kelompok perantara kekuasaan Mesir—termasuk perwira tinggi angkatan bersenjata dan aparat keamanan—yang menginginkan orang kuat lain.

Hal lain yang tampak jelas adalah kondisi ekonomi dan keamanan saat ini, yang lebih buruk dari sebelum Sisi mengambil alih kekuasaan. Program ekonomi Sisi gagal menghasilkan pendapatan yang ia janjikan, mata uang Mesir  terdepresiasi signifikan, inflasi berlipat, dan pengangguran pada level sangat tinggi.

Dalam hal keamanan, Mesir berada pada tingkat sangat buruk sepanjang sejarah modernnya. Serangan teroris dalam empat tahun pemerintahan Sisi lebih banyak ketimbang tiga puluh tahun kekuasaan mantan dikator Hosni Mubarak.

Selama bertahun-tahun Mesir bertempur dengan kelompok militan di Semenanjung Sinai, yang makin intens sejak Morsi dijatuhkan. Maka, mungkin saja upaya Sisi melenyapkan pesaing-pesaingnya merefleksikan rasa ketidakamanan dan sinyal pada rival-rival politik agar mereka tidak menantang dia.

Kedua, dukungan politik dan ekonomi  Arab Saudi dan UEA kepada Sisi. Sejak Sisi mengkudeta pemerintahan Presiden Mohammad Mursi dari IM pada 2013, Riyadh dan Abu Dhabi menyalurkan puluhan miliar dolar AS ke rezim Sisi. Dua negara ini bersama Mesir membentuk poros menghadapi Iran-Houthi di Yaman, dan blokade atas Qatar.

Saudi dan UEA juga mengandalkan dukungan Mesir bagi transaksi abad ini, yaitu konsep perdamaian Israel-Palestina yang disusun penasihat politik senior AS Jared Kushner dan Putra Mahkota Saudi Pangeran Mohammed bin Salman. Palestina akan kehilangan Yerusalem Timur dan sebagian wilayah Tepi Barat dengan imbalan kemerdekaan Palestina dengan wilayah Jalur Gaza plus sebagian wilayah Sinai Utara yang akan diberikan Mesir kepada Palestina.

Ketiga, Sisi terdorong oleh sikap kebijakan luar negeri Presiden AS Donald Trump dan khawatir terhadap kemungkinan keretakan dalam angkatan bersenjata Mesir. Segera setelah memenangkan pilpres 2016, Trump mengindikasikan bahwa promosi HAM dan demokrasi di luar negeri tidak termasuk prioritas kebijakan luar negerinya.

Dalam kasus Sisi, Trump membanjiri dengan pujian, menyebutnya sebagai “fantastic guy”. Trump membuat jelas bahwa ia tidak peduli pada catatan HAM rezim Sisi. Pada Juni 2017, Trump memberikan lampu hijau bagi blokade opresif terhadap Qatar oleh Arab Saudi, UEA, Bahrain, dan Mesir.

Posisi penting

Mesir memang negara penting di Timur Tengah yang vital dalam upaya memerangi terorisme, proses perdamaian Israel-Palestina, dan stabilitas regional. Maka Sisi akan berkuasa untuk masa jabatan kedua. Namun, sekali pun ia berhasil melenyapkan ancaman potensial dari dalam angkatan bersenjata Mesir, Sisi harus menghadapi rakyat.

Rakyat Mesir telah menjatuhkan seorang diktator, Mubarak, dengan demonstrasi massa yang besar di jalanan. Bukan tidak mungkin protes demikian dapat dilakukan lagi melawan Sisi.

Perlu diingat, di puncak popularitasnya—tak lama setelah kudeta militer—Sisi didukung tak sampai setengah penduduk Mesir. Dalam pilpres 2014 di mana Sisi menang telak, pemilik hak suara Mesir yang datang ke tempat pemungutan suara hanya 46 persen. Setelah empat tahun kemunduran ekonomi dan instabilitas sosiopolitik rasanya mustahil Sisi dapat meningkatkan dukungan rakyat. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar