Teknologi
dan Keamanan Perbankan
Edy Purwo Saputro ; Dosen Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surakarta
|
SUARA
MERDEKA, 23 Maret 2018
KEJAHATAN perbankan
cenderung terus berkembang dan apa kasus dana raib sejumlah nasabah dari
salah satu bank persero bukan hal yang baru. Terkait dengan ini, beralasan
jika BI dan OJK berkomitmen untuk segera menuntaskan kasusnya karena setiap
kasus kejahatan perbankan cenderung berdampak sistemik terhadap kepercayaan.
Di satu sisi, kepercayaan
merupakan faktor penting dalam modernitas layanan bank, termasuk dari adopsi
e-banking, meski di sisi lain ancaman terhadap kejahatan bank ke depan akan
semakin beragam seiring dengan modernitas adopsi teknologi perbankan.
Artinya, kasus skimming dan phising bukan hal baru dan tentu akan berkembang
lagi ke model kejahatan lainnya. Oleh karena itu, beralasan jika kejahatan
perbakan disebut juga sebagai kejahatan kerah putih.
Urgensi terhadap jaminan
keamanan layanan perbankan sejatinya telah menjadi isu pada era global,
terutama dikaitkan dengan model layanan perbankan yang sifatnya homogen.
Artinya, semua bentuk layanan perbankan cenderung sama sehingga satu saja
kejahatan perbankan secara otomatis akan berpengaruh terhadap layanan
lainnya.
Oleh karena itu, kasus
raibnya dana nasabah dari salah satu bank pesero secara otomatis memengaruhi
layanan perbankan lainnya, bukan hanya sesama bank pesero, melainkan juga
bank swasta dan BPR. Hal ini mengindikasikan bahwa homogenitas dari layanan
perbankan modern ternyata tidak bisa sepenuhnya menjamin terhadap aspek
keamanan dana nasabah.
Jika dicermati, sejatinya
aspek keamanan itu penting, terutama jika dikaitkan dengan model online yang
kini hampir diadopsi semua bidang. Meski layanan online dilakukan untuk
memberikan kemudahan, kecepatan, dan kenyamanan layanan, namun jangan lupa,
semua bentuk layanan online ada celah yang bisa dicuri untuk memberikan
keuntungan tertentu.
Celah itu menjadi
tantangan sekaligus peluang bagi otoritas terkait untuk memberikan jaminan
kepercayaan dan keamanan di semua bentuk layanan kepada nasabah atau
konsumen. Kasus bocornya data pengguna kartu seluler pascaregistrasi kemarin
seharusnya menjadi pembelajaran agar ke depan tidak ada lagi kasus-kasus
kejahatan berbasis layanan online.
Konsekuensi dari model
layanan online, termasuk e-banking dalam perbankan, memang memberi jaminan
kemudahan karena dapat diakses dan transaksi bisa dilakukan di mana saja dan
kapan saja tanpa kendala ruang dan waktu. Artinya, semua transaksi bersifat
realtime online dan kebutuhan terhadap layanan online cenderung semakin kuat
karena faktor mobilitas individu yang semakin tinggi.
Faktor lain yang tidak
bisa diabaikan dari model layanan modern berbasis online adalah ancaman dari
kejahatan cyber. Hal ini dimungkinkan karena semua bisa mengakses data secara
online, tidak hanya di dalam negeri tapi juga di luar negeri. Terungkapnya
kasus kejahatan perbankan yang melibatkan warga negara asing telah banyak terjadi
dan kasus ini tidak hanya terjadi di Indonesia tapi juga di banyak negara.
Oleh karena itu, beralasan jika pengungkapannya cenderung melibatkan
koordinasi lintas negara, sedangkan kasus yang terjadi juga tidak hanya di
satu daerah tapi menyebar di sejumlah daerah.
Ancaman
Jaminan terhadap keamanan
menjadi kunci karena keamanan tidak bisa terlepas dari kepercayaan. Padahal,
ancaman dari ketidakpercayaan adalah rush sehingga menjadi mimpi buruk bagi
perbankan. Oleh karena itu, sedari dini perbankan khususnya dan bisnis lain
yang menggunakan layanan online perlu memproteksi semua celah yang bisa
memicu ancaman kejahatan cyber. Paling tidak kasus penipuan ojek online
dengan modus order fiktif juga menjadi pembelajaran bahwa online di semua
model layanan bisa memicu celah kejahatan.
Fakta ini memberikan
pelajaran bahwa kejahatan cyber membutuhkan kecermatan dan kejelian dalam
menyikapinya agar semua celah yang ada bisa terdeteksi dan kerugian
diminimalkan. Setidaknya, korban yang melibatkan konsumen atau nasabah bisa
direduksi sehingga tidak memicu ketidakpercayaan terhadap modernitas layanan
online di semua bidang.
Yang pasti membangun
jaringan sistem yang aman saat ini semakin dibutuhkan karena kebutuhan
teknologi telah mengharuskan adanya transformasi layanan dari model kuno
(offline) menjadi online. Ironsinya, perilaku konsumen atau nasabah tidak
dapat dipisahkan dengan adanya ancaman, yaitu human error dan technical
error.
Meskipun perbankan telah
menyosialisasikan pentingnya menjaga kerahasiaan PIN dan password,
kasus-kasus kejahatan yang terkait dengan penggunaannya terus saja terjadi.
Bahkan, phising juga tidak bisa dihindari karena tampilan yang sama persis
sehingga nasabah sulit membedakan dengan websiteasli dan akhirnya terjebak.
Terkait dengan ini,
digitalisasi sebagai bagian dari modernitas layanan perbankan dan bidang
lainnya secara online tidak bisa terlepas dari celah ancaman kejahatan cyber
sehingga perlu edukasi secara sistematis dan berkelanjutan. Setidaknya BI dan
OJK perlu melakukan sosialisasi dan edukasi secara lebih intensif untuk
mereduksi kejahatan cyber. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar