Keliru
Pikir Pemberantasan Korupsi
Adnan Topan Husodo ; Koordinator Indonesia Corruption Watch
|
KOMPAS,
27 Maret
2018
Beberapa waktu terakhir,
ada kesan bahwa semangat nasional terkait agenda pemberantasan korupsi
mengalami penurunan. Selain karena
Presiden Jokowi gagal dalam mengesahkan Strategi Nasional Program
Pemberantasan Korupsi (Stranas PPK)—sebuah dokumen resmi yang semestinya
dijadikan rujukan nasional-daerah dalam upaya memberantas korupsi—kabar
mengejutkan datang dari Kepolisian.
Melalui salah satu
petingginya, Kabareskrim, lahir gagasan dan kebijakan untuk ‘mengabaikan’
kejahatan korupsi yang dikategorikan kecil. Pengertian kecil ini adalah
apabila nilai kerugian negara yang timbul lebih sedikit dari biaya yang
dikeluarkan oleh aparat penegak hukum untuk menangani perkaranya. Deponering
model kepolisian ini dapat diterapkan dengan syarat apabila tersangka telah
mengembalikan kerugian keuangan negaranya.
Dalil yang digunakan untuk
mengusung kebijakan di atas adalah perhitungan ekonomi atau kalkulasi untung
rugi. Artinya, negara diasumsikan mengalami kerugian apabila biaya menangani
perkara korupsi dianggap lebih mahal dari kasus yang ditanganinya. Dalam
situasi semacam itu, negara dianggap tidak mendapatkan apapun secara ekonomi
saat menjalankan fungsinya untuk menegakkan hukum.
Pertanyaannya, sejak kapan
fungsi penegakan hukum, atau fungsi untuk menegakkan aturan diukur dengan
pendekatan untung rugi secara ekonomi? Sejak kapan pula aparat kepolisian
berubah menjadi ekonom?
Korupsi
kecil
Sebenarnya korupsi
berkategori kecil tidak dapat dijelaskan secara utuh. Aparat kepolisian
menafsirkan korupsi kecil sebagai perbuatan korupsi yang nilai kerugian
negaranya lebih sedikit dari ongkos penegakan hukumnya. Lalu, korupsi senilai
berapa yang kemudian dianggap kecil?
Rp 5 juta atau Rp 10 juta
atau di bawah Rp 100 juta? Dalam soal ini, kita tidak pernah dapat menentukan
angka pastinya. Artinya, jika hal ini kemudian menjadi kebijakan resmi, yang
lahir kemudian adalah diskresi dari penegak hukum untuk menentukan besar
kecilnya.
Masalahnya, diskresi yang
terlalu luas juga memicu korupsi. Apakah pada akhirnya tidak mungkin tercipta
kesempatan luas kolusi antara penegak hukum dan pelaku untuk ‘membebaskan’
kasus itu dengan dalih telah mengembalikan kerugian keuangan negara dan nilai
kerugian negaranya kecil?
Demikian halnya, dalam UU
No 31 tahun 1999 jo UU 20 tahun 2001 diatur dengan jelas jenis perbuatan yang
disebut korupsi. KPK dalam buku sakunya membagi jenis korupsi itu menjadi
tujuh bagian. Korupsi yang berkaitan dengan nilai kerugian keuangan negara
hanyalah salah satu jenis korupsi yang dimaksud oleh UU. Lantas, bagaimana
dengan pidana suap, pemerasan, gratifikasi, dan lain-lainnya? Apabila nilai
suap yang diterima oleh penyelenggara negara, pegawai negeri, aparat penegak
hukum dan hakim misalnya Rp 10 juta, apakah ini juga dianggap sebagai korupsi
berkategori kecil karena biaya penegakan hukumnya sebagai misal Rp 20 juta?
Toleransi
terhadap korupsi
Bertrand de Speville,
mantan Komisioner ICAC Hong Kong, dalam satu makalah berjudul “The Struggle
Against Corruption: Progress at a Snail’s Pace. Why?” yang diterbitkan
Asia-Pasicif Review (2016) mengingatkan kita bahwa pengabaian terhadap
penanganan korupsi yang dianggap kecil akan membuat persoalan korupsi lebih
serius.
Menurutnya, pemberantasan
korupsi hanya akan berhasil jika semua kejahatan yang dianggap korupsi atau
penyimpangan direspons secara cepat untuk menunjukkan bahwa pemerintah atau
negara tidak memberikan toleransi sekecil apapun atas perbuatan itu. Hal ini
juga karena korupsi kecil yang dilakukan secara terus menerus akan
menimbulkan kerusakan yang serius apabila didiamkan.
Lebih lanjut, ia
memberikan alasan bahwa setiap laporan yang disampaikan oleh masyarakat
merupakan langkah awal untuk membangun kepercayaan dan dukungan dalam melawan
korupsi. ICAC Hongkong yang hingga hari ini menikmati dukungan publik luas di
Hongkong memulai cara untuk meraih kepercayaan itu dari responsifnya mereka
terhadap laporan masyarakat yang masuk. Apabila investigasi yang dilakukan
ICAC tidak mendapatkan bukti yang cukup, pelapor akan diberitahu dan ICAC
melalui mekanisme review-nya akan meninjau kebijakan atau tindakan yang meskipun
tidak dianggap korupsi, tapi berpotensi mengarah ke korupsi untuk diperbaiki.
Jika karena dianggap
korupsi kecil, kemudian laporan dari publik diabaikan, maka hal ini merupakan
titik balik dari upaya melawan korupsi. Dukungan masyarakat dalam bentuk pelaporan
akan mengalami penurunan apabila respons yang diberikan tidak memadai.
Masyarakat mungkin tidak memercayai, atau enggan untuk memberikan informasi
lagi, meskipun mereka melihat kejahatan korupsi terjadi, kepada penegak hukum
apabila dalam laporan sebelumnya, mereka dikecewakan.
Situasi semacam ini akan
sangat menyulitkan kerja-kerja memberantas korupsi kedepan.
Fungsi
negara dan kalkulasi untung rugi
Masalah lain yang timbul
dari kebijakan mengabaikan korupsi kecil adalah alasan ekonomi yang menjadi
latar belakangnya. Negara seakan-akan mengalami kebangkrutan apabila
mengeluarkan biaya yang tidak sedikit untuk menegakkan aturan, memastikan
ketertiban sosial dan mengawal prinsip rule of law.
Padahal secara
substansial, fungsi negara untuk menegakkan prinsip rule of law tidak bisa
dihilangkan atau dikurangi dengan alasan karena keuangan yang terbatas.
Cita-cita pemberantasan
korupsi yang paling utama adalah ketika pada tingkat masyarakat, sektor
swasta dan pemerintah/negara, tercipta sebuah nilai-nilai antikorupsi
bersama. Upaya membangun nilai-nilai itu salah satunya dilakukan dengan
pendekatan penegakan hukum.
Dapat membedakan mana yang
boleh dan mana yang tidak bisa dilakukan, mana yang dianggap pelanggaran
hukum dan mana yang bukan, mana yang disebut korupsi dan mana yang tidak
merupakan bagian dari nilai-nilai bersama yang diharapkan terbangun.
Sementara apabila ada yang
melewati batas-batas ini penegak hukum akan mendeteksi dan memberikan
hukuman. Ini semua adalah proses yang mana negara harus menanggung biayanya,
seberapa besarpun ongkos itu harus dikeluarkan. Jika cara berpikir negara
telah berubah menjadi pedagang, justru ini adalah awal mula petaka korupsi
yang lebih serius akan terjadi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar