Homogenisasi
Ideologi
Geradi Yudhistira ; Pengajar Program Studi Hubungan Internasional
Universitas Islam Indonesia
|
KOMPAS,
24 Maret
2018
Pamungkas Dewanto di
harian Kompas edisi 12 Februari 2018 menulis mengenai politik yang menjemukan
di Indonesia ini karena keseragaman logika tindakan politik, terutama di
daerah. Dalam artikel itu, Pamungkas berpendapat bahwa politik transaksional
sudah menjalar sampai ke level masyarakat paling bawah di perdesaan.
Hal ini disebabkan wabah
pragmatisme yang melanda masyarakat dan politisi di tingkat lokal. Menurut
Pamungkas, jika hal ini dibiarkan, akan menyebabkan masyarakat menjadi abai
pada kualitas demokrasi itu sendiri. Di sisi lain, saya menggarisbawahi hal
tersebut justru banyak disebabkan adanya sekat-sekat pemikiran yang dibentuk
oleh negara pada masa lalu dan terus direproduksi oleh masyarakat sendiri.
Salah satu indikasinya adalah muatan kampanye yang minim muatan ideologis.
Di Indonesia, hampir
setiap tahun adalah tahun politik. Kalau tak ada pilkada pada tahun itu,
wujud politisasi di ruang publik terjadi untuk mempersiapkan pemilu mungkin
dalam setahun, dua tahun, atau bahkan empat tahun ke depan. Sayangnya, isi
janji politik seorang calon tidak menarik untuk dibahas secara akademis,
bahkan menjadi bahan canda karena dianggap tidak masuk akal.
Janji kampanye para calon
tak lepas dari masalah kesejahteraan masyarakat. Hampir semua calon
memberikan janji kampanye dalam hal pendidikan gratis, pelayanan kesehatan
murah, penstabilan harga komoditas, pemberian kredit yang mudah, hingga
pemenuhan sandang, pangan, dan papan. Keseragaman narasi itu sangat terasa
pada semua calon anggota legislatif, calon kepala daerah, bahkan hingga calon
presiden. Hampir sulit ditemukan perbedaan ide antara satu calon dan calon
lain. Jika ada perbedaan, hal itu berada dalam lingkup teknis, bukan dalam
garis ideologi.
Proses pemilu merupakan
pertarungan antara aspek ideologi dan juga figur individu sehingga perdebatan
yang dihasilkan dalam proses kampanye merupakan diskusi yang produktif,
terutama untuk sintesis ide-ide bagi kemajuan bangsa. Namun, dalam demokrasi
elektoral di Indonesia yang terjadi sebaliknya. Pertarungan gagasan cenderung
lesu karena sulit menemukan diferensiasi antarkandidat.
Keseragaman narasi
kampanye ini menimbulkan dua dampak yang terasa, baik dampak elektoral maupun
pembangunan. Dalam dampak elektoral, kecacatan itu menimbulkan apatisme
masyarakat atas proses pemilu yang ada. Sementara antusiasme masyarakat
didasarkan pada euforia fanatisme dalam iklim kompetisi ketimbang penilaian
terhadap kedalaman visi dan misi (Kompas, 25 Juni 2014).
Hal inilah yang menjadi
lubang perangkap stagnasi pembangunan bangsa. Indikator yang paling nyata
adalah masalah kemiskinan yang terus-menerus menjadi berita di halaman surat
kabar. Kemampuan para politisi dalam menyintesiskan ide-ide pembangunan
terbentur dengan keterbatasan wawasan masyarakat mengenai ide-ide
pembangunan. Solusi pembangunan hanya direduksi menjadi masalah penurunan
biaya fasilitas dasar kehidupan dan infrastruktur material. Dalam konteks
seperti ini, akan sangat sulit menemukan sebuah terobosan pemikiran.
Bentukan
sejarah
Hasil analisis penulis,
pembentukan fenomena di atas justru berasal dari narasi sejarah yang dibentuk
oleh bangsa ini sendiri. Imajinasi dua kutub besar pemikiran pembangunan,
sosialisme dan liberalisme, justru dikebiri oleh mitos-mitos sejarah bentukan
masa lalu.
Ide liberalisme sudah
menjadi momok dalam masyarakat sejak slogan-slogan nasionalisme didengungkan
sejak tahun 1950-an. Di sisi lain, pengembangan ide-ide berbasis sosialisme
dimatikan sejak pemerintahan Orde Baru naik takhta pada paruh kedua 1960-an.
Sementara itu, pemikiran alternatif justru belum mampu menemukan
signifikansinya dalam dunia kontemporer, terutama menghadapi tantangan zaman
yang semakin kompleks.
Hal itu membentuk
pemikiran masyarakat Indonesia secara kolektif. Bagi masyarakat kita,
mengikuti ide-ide sosialisme adalah sebuah dosa besar yang pantas untuk
diberangus bahkan dilabeli anti-Pancasila. Namun, di sisi lain,
mengaplikasikan ide-ide mengenai kebebasan mengundang kemarahan masyarakat.
Dalam sebuah kesempatan dapat dimungkinkan seseorang dilabeli dosa sebagai
sosialis-komunis, tetapi pada saat yang sama juga dilabeli sebagai
liberal-kapitalis. Para pengikut gerakan alternatif justru malah terjebak
pada dua jalan buntu: politik identitas atau romantisisme masa lalu.
Ancaman-ancaman tersebut
mengakibatkan politisi menjadi takut berpikir di luar batas-batas yang sudah
dibentuk oleh dinding sejarah. Pengupasan ide-ide sosialisme dan liberalisme
hanya dilakukan di ruang- ruang pendidikan dan hampir tidak mungkin
diaplikasikan di dalam ranah politik praktis.
Penyeragaman pola berpikir
dan ideologi ini diinstitusionalkan dalam asas dan ideologi partai politik
yang seragam. Pemberlakuan asas tunggal Pancasila sejak tahun 1985
meninggalkan warisan yang mendalam pada ideologi parpol saat ini. Akibatnya,
bangsa ini tidak melalui proses berpikir dialogis dalam membaca fenomena
sosial seperti negara demokrasi yang telah mapan.
Dengan adanya penyeragaman
ini, masyarakat telah menjebak dirinya sendiri pada situasi stagnasi. Situasi
yang menjadi lingkaran setan jika kemampuan berpikir kolektif masyarakat
tidak mampu dihidupkan kembali. Tradisi pemikiran dialogis yang sempat hidup
pada awal pembentukan bangsa ini telah kehilangan tempatnya dan digantikan
oleh pragmatisme strategi-strategi pemenangan jangka pendek.
Jika berbicara mengenai
peran negara, maka—menurut saya—sudah terlambat karena logika politik yang
sudah diproduksi pada masa lalu telah membekas dan terus-menerus tertanam di
masyarakat. Oleh karena itu, pemahaman masyarakat atas kompleksitas sejarah
dan fungsi ideologi harus kembali diluruskan jika mau mengembalikan politik
dalam fungsi sebenarnya. Jika tidak, maka hanya akan ada dua akhir: stagnasi
atau tenggelam. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar