Mengelola
Risiko Pilkada
Sayfa Auliya Achidsti ; Dosen FISIP Universitas Sebelas Maret
|
DETIKNEWS,
13 Maret
2018
Dimulainya
masa kampanye Pilkada 2018 menandakan mesin politik calon kepala daerah
seharusnya bekerja efektif mengumpulkan dukungan konstituen. Ada beberapa hal
menarik dalam pilkada tahun ini.
Pertama,
jumlah peserta lebih banyak dari tahun lalu, yaitu 171 daerah dengan 484
pasangan calon pada 2018 dibanding 101 daerah dengan 304 pasangan calon pada
2017. Kedua, momentum pilkada serentak yang berdekatan dengan penyelenggaraan
Pemilu 2019. Momentum ini menjadi penting, karena hasil pilkada akan kuat mempengaruhi
strategi politik Pemilu 2019 nanti.
Ketiga,
aturan berlaku dalam teknis dan norma penyelenggaraan pilkada yang diperbarui
Komisi Pemilihan Umum (KPU) dalam payung UU Pilkada. Poin ini krusial, sebab
mempengaruhi langsung bentuk proses politik yang akan muncul, baik dalam
proses menuju pilkada hingga pascahasil keputusan nanti.
Peraturan
KPU (PKPU) Nomor 1-5 Tahun 2017 dirilis sebagai rule of game buat Pilkada
2018. Sedikit berbeda dari sebelumnya, konten yang sekarang mencoba menyentuh
hingga ranah etik dan tradisi politik melalui PKPU No. 4/2017 tentang
Kampanye, dan PKPU No. 5/2017 tentang Dana Kampanye. Di ranah etik, salah
satunya dengan larangan penggunaan isu SARA. Sedangkan pada tradisi politik
diterjemahkan dengan mengatur sumber dana kampanye dan tindakan aparatur
negara.
Agaknya
kita sedang mencoba menjajaki sistem politik yang lebih bertanggung jawab dan
terbuka lantaran problem belakangan semakin marak menampilkan kekerasan
politik di berbagai lini. Larangan penggunaan isu SARA dan pengaruh di
lembaga negara diharapkan membuat politisi mengedepankan program. Batasan
dana kampanye yang kumulatif sendiri masih diharapkan mampu menciptakan
kontrak politik dengan konstituen daripada kebiasaan politik uang.
Celah Konflik
Pertanyaan
mendasarnya, apakah semua sudah siap menjalankan cara politik yang
diharapkan? Di antara tujuan-tujuan regulasi, bagaimanapun mengendalikan
tradisi dan sistem politik adalah tugas yang tidak enteng. Walaupun regulasi
telah dirancang dalam bentuk mutakhir, beberapa risiko politik tetap
berpotensi terjadi.
Pertama,
rigidnya aturan ibarat pedang bermata dua yang berpotensi kegaduhan politik.
Apalagi, secara umum berlaku UU Pilkada yang meniadakan putaran kedua. Satu
putaran artinya pertarungan keras saling mengungguli. Pada Pilkada
sebelum-sebelumnya saja, jumlah gugatan masuk Mahkamah Konstitusi (MK) selalu
tinggi. Pilkada 2015 ada 147 gugatan masuk (57 persen dari 256 daerah),
sedangkan Pilkada 2017 ada 49 gugatan masuk (49 persen dari 101 daerah).
Gugatan masuk ke MK ini terbatas hanya soal hasil suara. Dengan lebih rigid
dan luasnya norma dalam PKPU, ada kemungkinan masalah pilkada bukan hanya di
akhir, namun juga pada prosesnya.
Rigidnya
aturan bisa dijadikan kerangka kontrol bagi penyelenggara dan pengawas, namun
bisa pula dijadikan instrumen politik bagi para pesertanya untuk saling
menjatuhkan. Sebagai contoh, tentang definisi penggunaan isu SARA yang masih
abstrak, atau sebaliknya yang sangat teknis seperti larangan pemberian uang
makan.
Kedua,
risiko pada tingkat kepercayaan masyarakat terhadap proses dan hasil pilkada.
Dengan tingginya potensi saling lapor antarpara calon kepala daerah dan
parpol, kapasitas respons dan penyelesaian oleh negara jadi sangat
menentukan.
Hasil
kajian KPK dan LIPI mendapati bahwa ongkos politik untuk menjadi kepala
daerah sangat tinggi. Kecenderungannya, paling sedikit keluar Rp 60 miliar
untuk menjadi bupati dan Rp 100 miliar untuk menjadi gubernur. Dalam UU
Pilkada, pelanggaran oleh tim sukses maupun calon kepala daerah bisa
dipidana. Persoalannya, bagaimana tim sukses dalam praktik lapangan saat
kampanye didefinisikan? Pada praktiknya, mesin politik bekerja tidak selalu
dalam ruang terbuka. Relawan politik pun masih berada di luar objek regulasi,
baik dalam UU Pilkada maupun PKPU.
Berbagi Risiko
Dalam
peredaran uang selama proses kampanye, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi
(PPATK) diharapkan mampu menjadi instrumen untuk mengawasi. Namun, "uang
politik" tentu bukan hanya dari calon kepala daerah. Telah jadi rahasia
umum bahwa perhelatan politik adalah tempat berseliwerannya uang yang tidak
jelas asalnya, bahkan sebagai tempat "pencucian uang". Kondisi ini
adalah tantangan bagi penyelenggaraan pilkada. Ada batasan nilai sumbangan
kampanye dan penggunaannya. Persoalannya, ini tanpa disertai kapasitas untuk
benar-benar menginvestigasi nilai pengeluaran di lapangan; bukan sekadar
audit yang cenderung normatif.
Karena
Pilkada adalah momen politik, penyelesaian segala bentuk laporan perlu
memiliki kerangka waktu. Pelanggaran etik, administratif, pidana, dan
keabsahan penetapan menjadi ranah Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu
(DKPP), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Penegakan Hukum Terpadu (Gakumdu),
dan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Tetapi, jika prosesnya masih
menggunakan prosedur umum, jelas memakan waktu. Dalam pilkada yang
membutuhkan kejelasan status laporan yang serba cepat, perlu ada prosedur
"khusus" supaya penyelesaiannya bisa dipercepat.
Mari
kita lihat contoh yang terjadi pada Pilgub DKI Jakarta 2017. Setelah
penetapan hasil hitung suara rampung, baru satu bulan kemudian dibuka 308
temuan dan laporan pelanggaran kampanye. Selain soal waktu, masalah lain
adalah kejelasan status dan tindak lanjut pelanggaran. Kita harus mengakui
bahwa pelanggaran kampanye minim tindak lanjut. Ada keterbatasan kapasitas
antarlembaga sinergi menelusuri fakta pelanggaran. Di sisi lain, kekhawatiran
adanya kegaduhan politik pun membuat negara seakan enggan memperpanjang
perkara.
Tidak
terselesaikannya laporan pelanggaran akan menimbulkan ketidakpercayaan
masyarakat terhadap pemerintahan, bukan hanya pada parpol atau politisi.
Demokrasi yang berkualitas mensyaratkan input politik (proses pilkada) terlegitimasi
segala aspeknya. Semua harus terang-benderang sebelum pemerintahan terpilih
efektif berjalan.
Penyelenggaraan
pilkada perlu disiapkan dengan koordinasi cepat di lapangan. Perlu kerja
serentak antarlembaga mewujudkan sistem sanksi yang tegas atas pelanggaran.
Selama ini, risiko selalu dibebankan pada penyelenggara dan pengawas pilkada.
Kini, perlu pembagian risiko bersama (risk-sharing) antara penyelenggara dan
pengawas, penegak hukum, dan ragam institusi yang berwenang memperjelas
status perkara. Kerja dalam satu kesatuan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar