Sabtu, 31 Maret 2018

Mengelola Risiko Pilkada

Mengelola Risiko Pilkada
Sayfa Auliya Achidsti  ;   Dosen FISIP Universitas Sebelas Maret
                                                    DETIKNEWS, 13 Maret 2018



                                                           
Dimulainya masa kampanye Pilkada 2018 menandakan mesin politik calon kepala daerah seharusnya bekerja efektif mengumpulkan dukungan konstituen. Ada beberapa hal menarik dalam pilkada tahun ini.

Pertama, jumlah peserta lebih banyak dari tahun lalu, yaitu 171 daerah dengan 484 pasangan calon pada 2018 dibanding 101 daerah dengan 304 pasangan calon pada 2017. Kedua, momentum pilkada serentak yang berdekatan dengan penyelenggaraan Pemilu 2019. Momentum ini menjadi penting, karena hasil pilkada akan kuat mempengaruhi strategi politik Pemilu 2019 nanti.

Ketiga, aturan berlaku dalam teknis dan norma penyelenggaraan pilkada yang diperbarui Komisi Pemilihan Umum (KPU) dalam payung UU Pilkada. Poin ini krusial, sebab mempengaruhi langsung bentuk proses politik yang akan muncul, baik dalam proses menuju pilkada hingga pascahasil keputusan nanti.

Peraturan KPU (PKPU) Nomor 1-5 Tahun 2017 dirilis sebagai rule of game buat Pilkada 2018. Sedikit berbeda dari sebelumnya, konten yang sekarang mencoba menyentuh hingga ranah etik dan tradisi politik melalui PKPU No. 4/2017 tentang Kampanye, dan PKPU No. 5/2017 tentang Dana Kampanye. Di ranah etik, salah satunya dengan larangan penggunaan isu SARA. Sedangkan pada tradisi politik diterjemahkan dengan mengatur sumber dana kampanye dan tindakan aparatur negara.

Agaknya kita sedang mencoba menjajaki sistem politik yang lebih bertanggung jawab dan terbuka lantaran problem belakangan semakin marak menampilkan kekerasan politik di berbagai lini. Larangan penggunaan isu SARA dan pengaruh di lembaga negara diharapkan membuat politisi mengedepankan program. Batasan dana kampanye yang kumulatif sendiri masih diharapkan mampu menciptakan kontrak politik dengan konstituen daripada kebiasaan politik uang.

Celah Konflik

Pertanyaan mendasarnya, apakah semua sudah siap menjalankan cara politik yang diharapkan? Di antara tujuan-tujuan regulasi, bagaimanapun mengendalikan tradisi dan sistem politik adalah tugas yang tidak enteng. Walaupun regulasi telah dirancang dalam bentuk mutakhir, beberapa risiko politik tetap berpotensi terjadi.

Pertama, rigidnya aturan ibarat pedang bermata dua yang berpotensi kegaduhan politik. Apalagi, secara umum berlaku UU Pilkada yang meniadakan putaran kedua. Satu putaran artinya pertarungan keras saling mengungguli. Pada Pilkada sebelum-sebelumnya saja, jumlah gugatan masuk Mahkamah Konstitusi (MK) selalu tinggi. Pilkada 2015 ada 147 gugatan masuk (57 persen dari 256 daerah), sedangkan Pilkada 2017 ada 49 gugatan masuk (49 persen dari 101 daerah). Gugatan masuk ke MK ini terbatas hanya soal hasil suara. Dengan lebih rigid dan luasnya norma dalam PKPU, ada kemungkinan masalah pilkada bukan hanya di akhir, namun juga pada prosesnya.

Rigidnya aturan bisa dijadikan kerangka kontrol bagi penyelenggara dan pengawas, namun bisa pula dijadikan instrumen politik bagi para pesertanya untuk saling menjatuhkan. Sebagai contoh, tentang definisi penggunaan isu SARA yang masih abstrak, atau sebaliknya yang sangat teknis seperti larangan pemberian uang makan.

Kedua, risiko pada tingkat kepercayaan masyarakat terhadap proses dan hasil pilkada. Dengan tingginya potensi saling lapor antarpara calon kepala daerah dan parpol, kapasitas respons dan penyelesaian oleh negara jadi sangat menentukan.

Hasil kajian KPK dan LIPI mendapati bahwa ongkos politik untuk menjadi kepala daerah sangat tinggi. Kecenderungannya, paling sedikit keluar Rp 60 miliar untuk menjadi bupati dan Rp 100 miliar untuk menjadi gubernur. Dalam UU Pilkada, pelanggaran oleh tim sukses maupun calon kepala daerah bisa dipidana. Persoalannya, bagaimana tim sukses dalam praktik lapangan saat kampanye didefinisikan? Pada praktiknya, mesin politik bekerja tidak selalu dalam ruang terbuka. Relawan politik pun masih berada di luar objek regulasi, baik dalam UU Pilkada maupun PKPU.

Berbagi Risiko

Dalam peredaran uang selama proses kampanye, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi (PPATK) diharapkan mampu menjadi instrumen untuk mengawasi. Namun, "uang politik" tentu bukan hanya dari calon kepala daerah. Telah jadi rahasia umum bahwa perhelatan politik adalah tempat berseliwerannya uang yang tidak jelas asalnya, bahkan sebagai tempat "pencucian uang". Kondisi ini adalah tantangan bagi penyelenggaraan pilkada. Ada batasan nilai sumbangan kampanye dan penggunaannya. Persoalannya, ini tanpa disertai kapasitas untuk benar-benar menginvestigasi nilai pengeluaran di lapangan; bukan sekadar audit yang cenderung normatif.

Karena Pilkada adalah momen politik, penyelesaian segala bentuk laporan perlu memiliki kerangka waktu. Pelanggaran etik, administratif, pidana, dan keabsahan penetapan menjadi ranah Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Penegakan Hukum Terpadu (Gakumdu), dan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Tetapi, jika prosesnya masih menggunakan prosedur umum, jelas memakan waktu. Dalam pilkada yang membutuhkan kejelasan status laporan yang serba cepat, perlu ada prosedur "khusus" supaya penyelesaiannya bisa dipercepat.

Mari kita lihat contoh yang terjadi pada Pilgub DKI Jakarta 2017. Setelah penetapan hasil hitung suara rampung, baru satu bulan kemudian dibuka 308 temuan dan laporan pelanggaran kampanye. Selain soal waktu, masalah lain adalah kejelasan status dan tindak lanjut pelanggaran. Kita harus mengakui bahwa pelanggaran kampanye minim tindak lanjut. Ada keterbatasan kapasitas antarlembaga sinergi menelusuri fakta pelanggaran. Di sisi lain, kekhawatiran adanya kegaduhan politik pun membuat negara seakan enggan memperpanjang perkara.

Tidak terselesaikannya laporan pelanggaran akan menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintahan, bukan hanya pada parpol atau politisi. Demokrasi yang berkualitas mensyaratkan input politik (proses pilkada) terlegitimasi segala aspeknya. Semua harus terang-benderang sebelum pemerintahan terpilih efektif berjalan.

Penyelenggaraan pilkada perlu disiapkan dengan koordinasi cepat di lapangan. Perlu kerja serentak antarlembaga mewujudkan sistem sanksi yang tegas atas pelanggaran. Selama ini, risiko selalu dibebankan pada penyelenggara dan pengawas pilkada. Kini, perlu pembagian risiko bersama (risk-sharing) antara penyelenggara dan pengawas, penegak hukum, dan ragam institusi yang berwenang memperjelas status perkara. Kerja dalam satu kesatuan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar