Sabtu, 24 Maret 2018

Pemilu dan Ujian Keutuhan NKRI

Pemilu dan Ujian Keutuhan NKRI
Busman Edyar  ;   Kandidat Doktor Pascasarjana Universitas Islam Negeri Jakarta
                                                  KORAN SINDO, 22 Maret 2018



                                                           
Dalam dua tahun ini rakyat Indonesia akan meng­gelar hajatan pesta de­mo­krasi. Tahun 2018, misalnya, rakyat di 171 daerah akan me­milih calon pemimpin daerah melalui pilkada seren­tak. Semen­tara pada 2019 seluruh rakyat Indonesia akan memilih wakil mereka di DPR/DPD/ DPRD sekaligus pre­siden me­lalui pemilu serentak. Layaknya pesta, tentulah rakyat kembali akan menyambutnya dengan su­kacita. Ekspektasi rakyat ada­lah pesta demokrasi ini berimbas pada kehidupan mereka ke arah yang lebih baik.

Namun, di balik optimisme di atas, menyeruak kekha­wa­tir­an akan pecahnya persatuan bangsa. Belakangan ini kita menghadapi persoalan-per­soal­a­n serius me­nyangkut ke­lang­sungan hidup berbangsa dan bernegara. Mulai dari mun­cul­nya aksi kekerasan masif karena kesalahan dalam menafsirkan demokrasi, euforia kultural karena ketidaktepatan memak­nai otonomi, menjamur­nya nar­koba tiada henti, sampai tersebarnya hoaks yang ke­se­muanya dapat merusak ke­utuh­an Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Sekiranya kita tidak hati-hati dalam me­nyikapinya maka sangat mung­kin Indonesia mengalami apa yang disebut oleh Francis Fuku­yama dengan the end of history.

Saat ini usia kemerdekaan Indonesia memasuki 73 tahun. Kalau menurut Gardono (1999), saat memasuki usia lebih dari setengah abad, suatu negara akan memasuki masa kritis dan rentan dengan disintegrasi. Dari 10 kasus disintegrasi, 5 di antaranya menimpa negara yang berumur antara 50-100 tahun (Yugoslavia, Ceko­slovakia, Uni Soviet, Denmark, dan Swedia), 3 kasus menimpa negara dengan umur 0-50 tahun (Malaysia, Pakistan, dan Senegal), dan sisanya 2 kasus menimpa negara dengan umur di atas 100 tahun (Inggris/Irlandia dan Ethiopia/ Eritria). Bahkan, pada umur ini muncul generasi kedua yang akan mengevaluasi dan mem­per­tanyakan kesepakatan sosial yang sudah dibangun sebelum­nya oleh para pelaku revolusi. Amerika Serikat sendiri pernah mengalaminya ketika berusia di antara 50-100 tahun (1863), tapi mereka dapat mempertahankan integrasi.

Hilangnya Sensitivitas
Munculnya disintegrasi suatu bangsa biasanya dipicu oleh memudarnya rasa keber­samaan anak bangsa. Rasa ini pudar ketika apa yang menjadi cita-cita kemerdekaan seperti keadilan, kemakmuran, masya­ra­kat yang cerdas dan sejahtera, tidak dapat dirasakan oleh seluruh rakyat. Artinya, hanya sekelompok tertentu yang menikmati hasil kemerdekaan, sementara kelompok masya­ra­kat yang lain hanya menjadi penonton. Kita lihat betapa banyaknya anomali hukum, sosial, dan ekonomi yang terjadi di tengah masyarakat. Ketika negara kita terjerat utang sampai ribuan triliun, kita tetap menyaksikan berseliwerannya mobil-mobil keluaran terbaru di jalanan.

Atau, ketika sebagian masyarakat kita hidup di bawah standar, sulit sekolah karena tidak ada biaya, tak mendapat layanan berobat karena tidak punya uang muka, di saat yang sama elite politik dan pejabat justru semakin banyak yang tertangkap tangan karena penyelewengan jabatan. Hilangnya sensitivitas pu­blik dari pejabat dan elite politik ke­mudian ditambah oleh pe­rasaan terpinggirkan di te­ngah masya­rakat, lama-kela­ma­an me­nim­bul­kan perasaan sebagai out sider  yang berujung pada kepu­tus­asaan dalam meng­gapai tujuan hidup ber­sama. Latar belakang inilah yang menjadi cikal bakal lahir­n­ya gerakan separatis yang berujung pada disintegrasi bangsa.

Maurice Duverger dalam Sosiologie Politishe  (1979) me­nyatakan bahwa kontinuitas histori sebuah negara-bangsa ditentukan oleh derajat “soli­da­ritas psikologis” (psychological solidarity ) sebagai conditio sine qua non  yang sifatnya tran­shistorik. Kalau ikatan psiko­logis antar­masyarakat di negeri ini tidak terbangun secara benar, ancam­an disintegrasi tetap akan mem­bayang. Ibarat sebuah kelom­pok sosial ter­kecil, berga­bung­nya individu-individu biasanya dilatar­bela­kangi oleh beberapa hal se­perti:  1) adanya kesamaan (similarity ), 2) merasa senasib (common fate), 3) adanya ke­dekatan baik secara fisik atau psikologis (proximity), 4) me­rasa mendapatkan ancaman dari musuh yang sama (shared threat), 5) motif lain yang ber­sifat utilitarian seperti ke­untung­an bersama, pencapai­an tujuan bersama, dan lain-lain (Hamdi Muluk : 1999).

Selagi individu-individu yang bergabung dalam kelom­pok tersebut memiliki dan meyakini kelima faktor di atas maka akan solidlah kelompok itu. Sebalik­nya, bila kelima hal tersebut sudah mulai hilang atau pudar, akan semakin rapuhlah kelom­pok itu. Persis seperti yang di­kata­kan Arthur M Schlesinger Jr dalam Disuniting of America: Reflections on A Multicultural Society  (1992) bahwa banyak negara di dunia pecah karena mereka gagal memberikan alasan-alasan yang kuat kepada orang-orang dari berbagai latar belakang etnis untuk melihat (meyakini) diri mereka sebagai bagian dari negara yang sama. Bubarnya negara sosialis Uni Soviet dan Yugoslavia atau pecahnya Ceko dan Slovakia serta berpisahnya Pakistan dan Bangladesh dari India me­rupa­kan bukti konkret hilangnya keyakinan untuk tetap bersama.

Demikian halnya dengan Indonesia. Negara ini lahir se­bagai kesepakatan bersama para pendiri bangsa yang sama-sama merasakan pahitnya di­jajah Belanda dan Jepang. Pe­rasaan sama-sama menderita selama dijajah ini telah menya­tu­kan tekad bangsa Indonesia untuk menumpas penjajahan. Bahkan, estimasi berlebihan Gubernur Jenderal Hindia Belanda Van Mook pada 1942 yang menye­but­kan Indonesia baru bisa merdeka setelah se­ratus tahun kemudian (sekitar 2042), tidak­lah menyurutkan tekad para pendiri republik untuk mem­proklamasikan ke­merdekaan Indonesia secara se­pihak. Itulah sebabnya, me­ngapa dalam teks proklamasi disebutkan pemi­n­dah­an ke­kuasaan (bukan penye­rah­an kekuasaan) dalam tempo sesingkat-singkatnya. Sebab, kemerdekaan adalah usaha dan keyakinan bangsa Indonesia, bukan pemberian dari bangsa penjajah sebagaimana dialami negara-negara yang baru mer­deka ketika itu.

Pentingnya Keadilan
Dengan latar belakang se­perti ini sudah seharusnya kita mempertahankan kesepakatan sosial para pendiri negara, yakni sepakat untuk mencapai ke­sejah­teraan, keadilan, dan ke­makmuran bersama.  Kemer­deka­an yang direbut dengan mempertaruhkan nyawa, jelas bukanlah tujuan utama kita. Demikian juga dengan rang­kaian pilkada dan pileg/pilpres, jelas bukanlah tujuan kita. Karena kemerdekaan, pilkada ataupun pileg/pilpres hanyalah sarana mencapai tujuan ber­negara, yakni masyarakat yang adil dan sejahtera. Untaian kata adil terpampang jelas dalam teks Pembukaan UUD 1945. Bahkan, kata dasar adil tak kurang dari lima kali disebutkan dalam mukadimah itu. Hal ini berarti keindonesiaan harus dibangun di atas keadilan, sebab rasa ketidakadilan dan hidup tidak sejahtera rentan keretakan. Sejarah separatisme di Indonesia menunjukkan ke­tidakadilan distribusi hasil pembangunan memicu keingin­an memisahkan diri dari NKRI.

Karena itulah, keadilan harus betul-betul dirasakan bersama secara proporsional oleh setiap warga negara. Tidak boleh ter­jadi kelompok masyarakat yang makmur di atas kemelaratan kelompok lain. Semoga rang­kaian pilkada dan pemilu (pileg ataupun pilpres) kali ini mampu jadi jembatan untuk solusi persoalan bangsa ini. Wallahu a’lam bi alshawab. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar