Misteri
Indonesia 2030
Anis Matta ; Pengamat Politik Internasional
|
REPUBLIKA,
27 Maret
2018
Diskursus tentang
kemungkinan Indonesia bubar pada 2030 yang dipicu oleh buku Ghost Fleet
(2015) dan dikomentari oleh politisi dan para tokoh Indonesia ini menarik.
Saya ingin menggunakannya sebagai momentum mengukur ketegangan geopolitik
dunia dan prospek kekuatan Indonesia. Apa yang akan terjadi masih misteri.
Sejumlah pemikir strategis memperkirakan 2030 adalah titik persilangan antara
menurunnya dominasi Amerika Serikat dengan menguatnya Cina di bidang ekonomi,
teknologi, dan militer. Jika tidak ada interupsi, maka Cina akan menjadi
negara adidaya nomor satu dunia.
Di atas kertas, sebenarnya
AS masih jauh lebih unggul dari Cina, dalam hal ekonomi, teknologi, apalagi
militer. Namun, yang dilakukan Cina sekarang adalah memperkecil jarak,
seperti pelari di nomor dua yang sedang bekerja keras menyusul pelari
pertama. Pada 2030 itulah diperkirakan mereka akan berlari seiring. Dalam
perspektif strategi perang, ini berarti Cina akan siap dan mampu menghadapi
AS jika terjadi eskalasi konflik yang serius di Asia dan dunia.
Masalah
di Amerika
Amerika Serikat memang
masih unggul dalam banyak ukuran, namun ia sekarang tengah bergelut dengan
krisis legitimasi para pemimpinnya serta konflik elite yang berlarut-larut
sejak awal proses pemilihan umum hingga terpilihnya Donald Trump sebagai
presiden. Krisis ini menyebabkan AS tidak mampu melakukan mobilisasi sumber
daya besar-besaran karena tidak solidnya kekuatan-kekuatan domestik. Jika
Amerika memutuskan pergi berperang, hambatan pertama yang akan dihadapi
adalah penolakan besar-besaran dari rakyatnya sendiri.
Amerika juga sedang
mencari bentuk kebijakan luar negerinya. Slogan Trump “Make Amerika Great
Again” dan “America First” membuatnya berorientasi ke dalam (inward looking)
dengan cakrawala yang sempit. Faktor ini yang menyebabkan barisan Amerika
tampak belum rapi di tengah konflik global yang terus naik tensinya.
Menurunya, kemampuan
Amerika melakukan mobilisasi besar-besaran juga disebabkan menurunnya
kekuatan ekonomi. Jika dulu “Barat” menguasai sekitar 70-80 persen ekonomi
global, kini tinggal sekitar 40 persen karena direbut oleh Asia, khususnya
Cina dan India.
Amerika juga masih limbung
karena belum pulih dari terpaan krisis ekonomi 2008. Krisis yang dimulai dari
kredit macet sektor properti ini berkembang hingga memukul jantung
kapitalisme, pasar bebas, dan secara khusus meruntuhkan kepercayaan kepada
sistem keuangan global. Satu per satu raksasa keuangan Amerika tumbang, mulai
dari Bear Sterns, Lehman Brothers, hingga AIG. Kemudian muncul krisis utang
di Eropa yang meluluhlantakkan Yunani dan merembet ke Irlandia, Portugal,
Spanyol, dan Siprus. Bersamaan itu, mulai timbul krisis gelombang pengungsi
ke Eropa.
Amerika kehilangan
legitimasi di Eropa. Ini tampak dari sikap beberapa negara, salah satunya
Kanselir Jerman Angela Merkel yang dengan tegas menyatakan sudah waktunya
Barat tidak lagi tergantung pada kepemimpinan Paman Sam. Di dalam negeri,
Amerika tidak bisa melakukan konsolidasi elite untuk melakukan agenda-agenda
besar.
Kembali ke Ghost Fleet,
buku ini bisa dibaca sebagai warning dan provokasi agar Amerika segera
melakukan interupsi ketika masih dalam posisi unggul. Ada pihak yang tidak
menginginkan Amerika nantinya harus masuk ke suatu konflik—bahkan perang—yang
tak mungkin dimenangkannya.
Masalah
di Cina
Dengan segala glorifikasi
sebagai keajaiban ekonomi dari timur, Cina bukan tanpa masalah. Setelah
mencapai puncak pertumbuhan ekonomi 14,2 persen pada 2007, mulai 2015 hingga
sekarang angka pertumbuhan Cina selalu di bawah 7 persen dengan tren menurun.
Negeri Panda ini belum mendapat momentum lagi untuk menggenjot roda
perekonomiannya. Padahal, dalam bahasa yang sederhana, tidak mudah memberi
makan sekitar 1,4 miliar manusia. Konsekuensi dari perlambatan ekonomi adalah
menurunnya penciptaan lapangan kerja dan kesejahteraan sehingga ancaman
revolusi sosial terus membayangi negeri itu.
Masalah kesenjangan
ekonomi pun semakin banyak ditulis oleh media internasional. Pada akhir 2016,
Forbes mengutip penelitian dari Nanjing Agricultural University,
menggambarkan Cina yang terbagi dua: tujuh provinsi pesisir, yaitu Shanghai,
Tianjin, Jiangsu, Zhejiang, Guangdong, Shandong, and Fujian serta bagian
Inner Mongolia adalah daerah berpendapatan tinggi; sementara daerah lain di
pedalaman adalah daerah berpendapatan rendah. Pendapatan per kapita di daerah
pedalaman hanya 60 persen dari mereka yang tinggal di daerah kaya. Tak heran
ada yang menyebut, kota-kota pesisir yang berkilau seperti Shanghai,
Guangzhou atau Shenzhen tak ubahnya ruang tamu yang indah untuk
menyembunyikan ruang dalam yang sederhana.
Namun, Presiden Xi Jinping
lebih mampu melakukan konsolidasi ke dalam, terutama setelah konstitusi
negeri itu menghapus masa jabatan presiden. Ia tidak memiliki masalah
legitimasi kepemimpinan dan konsolidasi elite seperti yang dihadapi Trump. Xi
juga lebih mampu mengendalikan masyarakat sipil untuk konsolidasi
agenda-agenda besar.
Konsolidasi kekuatan
militer tampak dari belanja persenjataan yang terus naik. Data resmi
menunjukkan pada 2016 belanja militer Cina USD 146 miliar (Rp 1.900 triliun),
naik 11 persen dari USD 131 miliard pada 2014. Angka ini menempatkan Cina
sebagai nomor dua persis di bawah AS. Dari sisi industri pertahanan pun Cina
telah menjadi eksportir senjata terbesar nomor tiga dunia, memasok
persenjataan ke 35 negara dengan pembelian signifikan dari Pakistan,
Bangladesh, dan Myanmar.
Dalam perspektif kritis,
agenda Xi memperkuat militer juga bertujuan mengantisipasi kemungkinan
terjadinya pembelahan sosial yang tidak terkendali. Konsolidasi elite juga
dilakukan dengan memberangus lawan-lawan politiknya melalui isu pemberantasan
korupsi.
Cina dengan cerdas
memanfaatkan hamparan kontinen Asia untuk memperkuat posisi geopolitiknya
melalui pembangunan jalan dan rel kereta serta jalur pipa gas. Belajar dari
Barat, Cina juga memperkuat dominasinya dengan membentuk lembaga keuangan
raksasa Asian Infrastructure Investment Bank (AIIB) dengan 67 negara anggota,
termasuk sejumlah negara Eropa seperti Belanda, Swiss, Jerman dan Israel.
Cina mengadopsi
kapitalisme untuk menggenjot pertumbuhan ekonominya, tetapi masih menetapkan
komunisme dalam sistem ideologi dan politiknya, seraya menjaga jarak terhadap
kapitalisme global. Cina bahkan mulai masuk ke isu sensitif seperti
Palestina-Israel dan konflik Suriah.
***
Mengikuti alur di atas,
jika tidak ada interupsi, Cina akan menjadi negara adidaya nomor satu di
dunia. Interupsi yang mungkin terjadi adalah krisis ekonomi dalam skala besar
atau perang. Itulah misteri yang baru akan terjawab pada waktunya. Lalu, di
mana Indonesia di tengah konflik yang memanas ini? Katakanlah, jika Laut Cina
Selatan mengalami eskalasi, apa yang bisa kita lakukan?
Lebih penting lagi,
bisakah Indonesia menjadi faktor interupsi agar perimbangan kekuatan dunia
tetap terjaga sehingga usia perdamaian bisa lebih panjang? Itu yang harus
dijawab oleh para pemimpin. Jika bisa mengelola semua potensi yang dimiliki,
seharusnya Indonesia duduk di meja utama perundingan dunia. ●
|
Kualitas artikel kamu bagus gan.. aku suka baca artikel kamu.. seperti artikel berjudul Jenis Buah Yang Bermanfaat Untuk Segala Jenis Ayam Laga
BalasHapusArtikel kamu bagus gan! aku selalu menunggu artikel kamu.. Seperti artikel berjudul Tafsir Mimpi tawon
BalasHapusApakah kamu sudah tau prediksi togel mbah jambrong yang jitu? bila belum baca Prediksi jitu mbah jambrong Hk
BalasHapus