Setya
Novanto, 'Deep Throat', dan
Bab
Akhir Seorang Politisi
Denny JA ; Akademisi; Konsultan
Politik
|
REPUBLIKA,
24 Maret
2018
Setnov (Setya Novanto)
sedang menulis bab terakhir dari buku perjalanan politiknya. Sungguhpun itu
hanya bab terakhir, dan sudah banyak bab sebelumnya, bab terakhir itu yang
akan menentukan tempat Setnov dalam sejarah.
Apakah Setnov akan
dikenang sebagai kisah tragedi semata? Ataukah akhirnya kisah tragedi itu
bercampur pula dengan aroma harum seorang pahlawan? Mampukah dan maukah
Setnov menutup karir politiknya dengan sejenis kisah happy ending bagi
tumbuhnya pemerintahan yang bersih?
Setnov kini sepenuhnya
memilih. Megakorupsi KTP-el adalah panggungnya. Ia berada di sentral proyek
itu. Dalam korupsi massal, uang itu seperti lagu Bengawan Solo: “air mengalir
sampai jauh. Akhirnya ke laut.” Setnov tahu hulu dan hilir mengalirnya uang
yang kini dituduh sebagai uang korupsi.
Apakah Setnov memilih
menyimpan semua nama? Lalu ia sendirian bersama pelaku kelas kecil saja meringkuk di penjara? Ia biarkan
pemain besar bergentayangan di luar sana, dan potensial mengulang korupsi
berjemaah kembali?
Ia biarkan “mafia korupsi”
tetap terjadi lagi karena permainan mafia tetap aman tersembunyi? Lalu Setnov
sendiri memilih dikenang semata sebagai titik hitam contoh seorang politisi?
Ataukah Setnov ingin
menyumbang sesuatu bagi terciptanya pemerintahan Indonesia yang bersih di
kemudian hari? Ia misalnya membagi pengetahuan dan pengalaman bagaimana “mekanisme
permainan uang di pemerintahan,” untuk pelajaran ke depan.
Setnov pun berubah dari
seorang politisi dan pada waktunya
menjadi sebuah istilah “Setnov Effect.” Itu istilah yang mengacu pada
kesaksian setnov yang akhirnya mengubah politik Indonesia.
Tentu kesalahan Setnov
tetap tak bisa dihapuskan. Namun bab akhir karier politiknya, “Setnov Effect”
itu menjadi harum karena misalnya, ia membongkar mafia, yang menyebabkan
mekanisme mafia itu hilang dalam belantara politik Indonesia.
Dua hari lalu, Setnov
sudah membuat heboh. Ia menyebut dana korupsi KTP-el mengalir bahkan sampai
pada Puan Maharani, seorang calon “permaisuri” politik Indonesia berikutnya.
Puan sudah membantah. Dan Puan berhak atas “asumsi tak bersalah”: bahwa Puan
harus dianggap tak bersalah sampai pengadilan memutuskannya bersalah.
Akankah Setnov gentar dan
mundur kembali? Ataukah Setnov mulai militan dengan semangat “tobat nasuha,”
dan spirit “Khusnul Khatimah?”
Dalam politik di Amerika
Serikat pernah terjadi seorang saksi yang mengubah politik. Saya membaca
ulasan Jonathan Freedland di tahun 2008, "Deep Throat’s Big
Impact".
"Deep Throat"
adalah nama samaran seorang saksi yang membocorkan sejenis mafia politik di
Istana Presiden Gedung Putih. Tak nanggung,
kasus penyadapan ilegal atas calon kompetitor politik sang presiden
ternyata melibatkan presiden Amerika Serikat sendiri: Presiden Nixon.
"Deep Throat"
membocorkan rahasia itu lewat dua jurnalis bersemangat Washington Post. Kisah
ini sudah difilmkan sangat bagus dalam “All the President’s Men.”
Siapa sebenarnya
"Deep Throat" itu? Bertahun kemudian setelah kematian Presiden
Nixon, barulah sang "Deep Throat" itu menampakkan diri. Ia adalah
pejabat penting di FBI yang mengetahui politik kotor tingkat istana.
Mata publik terbuka.
Betapa ternyata orang tertinggi di istana memainkan lembaga resmi FBI, CIA, dan IRS bukan untuk kebijakan negara,
tapi untuk politik pribadi bagi persaingan pilpres berikutnya.
"Deep Throat"
dikenang sebagai pahlawan karena memberikan efek besar bagi poltiik istana di
kemudian hari. Tak mudah lagi bahkan seorang presiden menggunakan bawahannya
untuk politik pribadi.
Tentu kasus "Deep
Throat" berbeda dengan Setnov. "Deep Throat" tidak tersangkut
masalah hukum. Ia juga membocorkan rahasia secara juga rahasia.
Namun Setnov dapat
memberikan efek yang sama. Setnov dapat membongkar semua mafia keuangan itu
di pengadilan. KPK, pers, politisi, pengusaha, publik luas akan mengalami
“shock” jika ternyata memang banyak orang penting dan orang besar lain
terlibat.
Namun Setnov akan harum
karena kesaksiannya membuat publik menekan keras. Publik akan lebih bergema
supaya mafia itu dilenyapkan. Pasca nyanyian Setnov, tekanan publik semakin
menjadi agar check and ballance dalam pemerintahan yang bersih semakin
dikeraskan.
Maukah Setnov? Mampukah
Setnov? Beranikah Setnov?
Dalam hening, semoga
Setnov membaca puisi Chairil Anwar: “Sekali Berarti. Sudah itu mati.” Ayo
Setnov! Hidup hanya sekali. Buatlah berarti sebelum semua kita mati.
Tulislah bab akhir karir
politikmu dengan sesuatu yang harum untuk dirimu sendiri dan negara. Bongkar
itu mafia, jika memang ada. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar