Sabtu, 31 Maret 2018

Mencari Penantang Jokowi

Mencari Penantang Jokowi
Aminuddin  ;   Analis Politik pada Literasi Politik dan Edukasi untuk Demokrasi (LPED);  Alumnus UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
                                                    DETIKNEWS, 14 Maret 2018



                                                           
Sudah menjadi habitus bahwa presiden yang sedang berkuasa akan kembali dicalonkan oleh partai pengusung dan koalisinya. Tentu saja, deklarasi PDIP mencalonkan Joko Widodo sebagai capres 2019 bukan hal yang mengejutkan. Selain memiliki peluang paling tinggi dibandingkan dengan tokoh lain di internal PDIP, ia juga menjadi satu-satunya yang terkuat di internal koalisinya. Pertanyaannya, siapa tokoh alternatif yang mampu menekan "zona nyaman" Jokowi di ajang kontestasi pilpres 2019?

Sejauh ini, ketua umum Partai Gerindra, Prabowo Subianto menjadi satu-satunya calon yang digadang-gadang menjadi pesaing kuat Jokowi. Prabowo dan Jokowi dianggap akan menjadi pacuan kuda dalam perebutan kursi kekuasaan. Namun sayangnya, ketika kubu Jokowi sudah mendeklarasikan sebagai capres, kubu Prabowo masih adem ayem. Bahkan Prabowo secara simbolik mengatakan bahwa jika rakyat menghendaki, ia akan maju. Itu artinya, kubu Prabowo masih melihat kemungkinan-kemungkinan peta politik setidaknya beberapa bulan ke depan. Selain masih membaca peta politik, hajatan pilkada juga masih menjadi alasan utamanya.

Deklarasi terhadap Joko Widodo sebagai capres seolah menjadi antitesis PDIP dalam mengumumkan calon. Biasanya, PDIP mengumumkan calon pada detik-detik terakhir. Apalagi, pengumuman tersebut berlangsung tertutup. Ini menjadi pertanyaan penting bagi publik terkait pencalonan Jokowi. Dalam kaitan ini, bisa saja Jokowi sebagai bagian dari strategi politik PDIP untuk mendongkrak perolehan suara di Pilkada 2018. Seperti diketahui, PDIP juga mencalonkan banyak kader di berbagai daerah. PDIP berharap dengan percikan popularitas Jokowi mampu mendongkrak kemenangan PDIP di daerah.

Pencalonan Jokowi sebagai presiden tentu saja tidak bisa dilepaskan dari tangan dingin Megawati Sukarnoputri. Megawati menjadi sosok tunggal yang mampu menentukan arah politik PDIP. Pencalonan Jokowi tidak bisa dibawa sebagai bagian dari hukum alam. Melainkan dibaca sebagai politik restu dari pemilik parpol. Apalagi, Jokowi bukan sosok yang lahir dari politik biologis Sukarno. Ditambah lagi dengan anggapan "petugas partai". Dalam posisi inilah, benar apa yang disebut Robert Michels (1912) bahwa partai politik nyaris tidak ada yang mampu keluar dari penyakit kronis elitis. Elite politik akan selalu menguasai struktur dan pengambilan keputusan di dalam internal partai politik.

Di tengah moncernya elektabilitas Jokowi saat ini, memang tidak mudah untuk mencari figur yang mampu menandinginya. Apalagi, banyak partai yang rela mendukung Jokowi sebagai calon presiden 2019. Sebelum PDIP, sudah ada Partai Nasional Demokrat (Nasdem), Partai Golongan Karya (Golkar), Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura), Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI), dan Partai Persatuan Indonesia (Perindo). Dengan modal seperti itu, tentu pendeklarasian partai mendukung Jokowi sebagai imbas dari posisi tawar Jokowi.

Namun logika penting yang harus dipahami, elektabilitas tidak menjadi jaminan petahana akan melenggang mulus dalam piplres 2019. Logika ini mudah dianalisis. Belajar dari pengalaman Jokowi sebelum mencalonkan menjadi capres 2014, popularitasnya kalah jauh dari Prabowo Subianto yang sudah terlebih dahulu mendeklarasikan menjadi capres. Bahkan kampanyenya sudah memenuhi ruang publik dan media. Prabowo dianggap tanpa hadangan menuju RI-1 waktu itu. Namun Jokowi mampu membalikkan anggapan tersebut. Setali tiga uang, kita masih ingat pilkada DKI 2017 silam di mana petahana kalah dari Anies Baswedan. Padahal sebelum mencalonkan, Anies kalah pamor oleh Ahok.

Dengan pengalaman seperti itulah, bukan tidak mungkin Jokowi bisa ditandingi oleh figur-figur alternatif. Maka, ada dua syarat jika ingin menandingi Jokowi. Pertama, tokoh tersebut harus lahir dari kalangan yang mewakili masyarakat sipil. Artinya, tokoh tersebut sudah dikenal oleh publik karena kinerjanya yang baik sebagai tokoh publik. Kehadiran tokoh dari masyarakat sipil penting untuk dilahirkan mengingat selama ini, calon yang kerap muncul berlatar belakang militer dan politisi yang memiliki masa lalu kurang baik. Kedua, tokoh tersebut tidak boleh menjadi antitesis Jokowi. Artinya, figur tersebut harus mampu mengimbangi Jokowi yang dianggap merakyat.

Ketiga, tokoh tersebut harus dekat dengan generasi muda (milenial). Syarat ini sangat penting mengingat pemilih yang tersedia merupakan generasi milenial dan melek digital. Apalagi, dukungan generasi milenial terhadap Jokowi dianggap lemah. Menilik temuan survei Centre for Strategic and Internasional Studies (CSIS) yang dirilis 2017 lalu, Jokowi masih lemah pada segmen pemilih milenial yang hanya 31,7%. Bahkan Jokowi kalah dari Prabowo Subianto yang mengantongi 35,7%. Karenanya, kelemahan tersebut bisa menjadi peluang bagi penantang lain untuk dimaksimalkan sebaik mungkin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar