Mencari
Penantang Jokowi
Aminuddin ; Analis Politik pada Literasi Politik dan Edukasi untuk
Demokrasi (LPED); Alumnus UIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta
|
DETIKNEWS,
14 Maret
2018
Sudah
menjadi habitus bahwa presiden yang sedang berkuasa akan kembali dicalonkan
oleh partai pengusung dan koalisinya. Tentu saja, deklarasi PDIP mencalonkan
Joko Widodo sebagai capres 2019 bukan hal yang mengejutkan. Selain memiliki
peluang paling tinggi dibandingkan dengan tokoh lain di internal PDIP, ia
juga menjadi satu-satunya yang terkuat di internal koalisinya. Pertanyaannya,
siapa tokoh alternatif yang mampu menekan "zona nyaman" Jokowi di
ajang kontestasi pilpres 2019?
Sejauh
ini, ketua umum Partai Gerindra, Prabowo Subianto menjadi satu-satunya calon
yang digadang-gadang menjadi pesaing kuat Jokowi. Prabowo dan Jokowi dianggap
akan menjadi pacuan kuda dalam perebutan kursi kekuasaan. Namun sayangnya,
ketika kubu Jokowi sudah mendeklarasikan sebagai capres, kubu Prabowo masih
adem ayem. Bahkan Prabowo secara simbolik mengatakan bahwa jika rakyat
menghendaki, ia akan maju. Itu artinya, kubu Prabowo masih melihat
kemungkinan-kemungkinan peta politik setidaknya beberapa bulan ke depan.
Selain masih membaca peta politik, hajatan pilkada juga masih menjadi alasan
utamanya.
Deklarasi
terhadap Joko Widodo sebagai capres seolah menjadi antitesis PDIP dalam
mengumumkan calon. Biasanya, PDIP mengumumkan calon pada detik-detik
terakhir. Apalagi, pengumuman tersebut berlangsung tertutup. Ini menjadi
pertanyaan penting bagi publik terkait pencalonan Jokowi. Dalam kaitan ini,
bisa saja Jokowi sebagai bagian dari strategi politik PDIP untuk mendongkrak
perolehan suara di Pilkada 2018. Seperti diketahui, PDIP juga mencalonkan
banyak kader di berbagai daerah. PDIP berharap dengan percikan popularitas
Jokowi mampu mendongkrak kemenangan PDIP di daerah.
Pencalonan
Jokowi sebagai presiden tentu saja tidak bisa dilepaskan dari tangan dingin
Megawati Sukarnoputri. Megawati menjadi sosok tunggal yang mampu menentukan
arah politik PDIP. Pencalonan Jokowi tidak bisa dibawa sebagai bagian dari
hukum alam. Melainkan dibaca sebagai politik restu dari pemilik parpol.
Apalagi, Jokowi bukan sosok yang lahir dari politik biologis Sukarno.
Ditambah lagi dengan anggapan "petugas partai". Dalam posisi
inilah, benar apa yang disebut Robert Michels (1912) bahwa partai politik
nyaris tidak ada yang mampu keluar dari penyakit kronis elitis. Elite politik
akan selalu menguasai struktur dan pengambilan keputusan di dalam internal
partai politik.
Di
tengah moncernya elektabilitas Jokowi saat ini, memang tidak mudah untuk
mencari figur yang mampu menandinginya. Apalagi, banyak partai yang rela
mendukung Jokowi sebagai calon presiden 2019. Sebelum PDIP, sudah ada Partai
Nasional Demokrat (Nasdem), Partai Golongan Karya (Golkar), Partai
Solidaritas Indonesia (PSI), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Hati
Nurani Rakyat (Hanura), Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI), dan
Partai Persatuan Indonesia (Perindo). Dengan modal seperti itu, tentu
pendeklarasian partai mendukung Jokowi sebagai imbas dari posisi tawar
Jokowi.
Namun
logika penting yang harus dipahami, elektabilitas tidak menjadi jaminan
petahana akan melenggang mulus dalam piplres 2019. Logika ini mudah
dianalisis. Belajar dari pengalaman Jokowi sebelum mencalonkan menjadi capres
2014, popularitasnya kalah jauh dari Prabowo Subianto yang sudah terlebih
dahulu mendeklarasikan menjadi capres. Bahkan kampanyenya sudah memenuhi
ruang publik dan media. Prabowo dianggap tanpa hadangan menuju RI-1 waktu
itu. Namun Jokowi mampu membalikkan anggapan tersebut. Setali tiga uang, kita
masih ingat pilkada DKI 2017 silam di mana petahana kalah dari Anies
Baswedan. Padahal sebelum mencalonkan, Anies kalah pamor oleh Ahok.
Dengan
pengalaman seperti itulah, bukan tidak mungkin Jokowi bisa ditandingi oleh
figur-figur alternatif. Maka, ada dua syarat jika ingin menandingi Jokowi.
Pertama, tokoh tersebut harus lahir dari kalangan yang mewakili masyarakat
sipil. Artinya, tokoh tersebut sudah dikenal oleh publik karena kinerjanya
yang baik sebagai tokoh publik. Kehadiran tokoh dari masyarakat sipil penting
untuk dilahirkan mengingat selama ini, calon yang kerap muncul berlatar
belakang militer dan politisi yang memiliki masa lalu kurang baik. Kedua,
tokoh tersebut tidak boleh menjadi antitesis Jokowi. Artinya, figur tersebut
harus mampu mengimbangi Jokowi yang dianggap merakyat.
Ketiga,
tokoh tersebut harus dekat dengan generasi muda (milenial). Syarat ini sangat
penting mengingat pemilih yang tersedia merupakan generasi milenial dan melek
digital. Apalagi, dukungan generasi milenial terhadap Jokowi dianggap lemah.
Menilik temuan survei Centre for Strategic and Internasional Studies (CSIS)
yang dirilis 2017 lalu, Jokowi masih lemah pada segmen pemilih milenial yang
hanya 31,7%. Bahkan Jokowi kalah dari Prabowo Subianto yang mengantongi
35,7%. Karenanya, kelemahan tersebut bisa menjadi peluang bagi penantang lain
untuk dimaksimalkan sebaik mungkin. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar