Cadar
dan HAM
Ratno Lukito ; Direktur Riset dan Publikasi Yayasan Sukma
|
MEDIA
INDONESIA, 12 Maret 2018
SUATU hari dunia pendidikan di
Kanada dihebohkan dengan kasus dikeluarkannya siswa dari suatu SMA karena
pakaiannya yang dianggap dapat membahayakan jiwa siswa-siswa lain. Siswa itu
berasal dari India dan pemeluk taat ajaran Sikh yang dalam tuntunannya
mewajibkan pengikutnya memakai pakaian dengan model tertentu, di samping
mengenakan pedang sebagai kelengkapannya.
Keberatan bermula dari para
orangtua murid, yang mengkhawatirkan siswa Sikh itu menyalahgunakan pedang
yang dibawanya untuk melukai teman-temannya. Akibat begitu banyaknya aduan
dari para orangtua murid, kepala sekolah memutuskan mengeluarkan anak Sikh
itu.
Persoalan berlanjut karena
orangtua siswa Sikh tidak menerima keputusan sekolah dan mengajukannya ke
pengadilan. Dalam argumennya, sekolah harus menghormati privasi dan hak asasi
siswa Sikh untuk menjalankan ajaran agama. Membawa pedang itu semata memenuhi
aturan ajaran Sikhnya dan sama sekali bukan untuk tujuan melukai orang lain.
Pro-kontra yang muncul saat itu
melibatkan para aktivis HAM dan orang-orang yang peduli dengan pendidikan
untuk memberikan tanggapan. Persoalan berkembang tidak hanya pada masalah
apakah pakaian yang dikenakan siswa Sikh dipandang melanggar norma yang
dibangun dalam sistem sekolah, tetapi juga sejauh mana persoalan HAM dari
setiap siswa itu harus selalu diperhatikan oleh lembaga sekolah.
Menariknya, Mahkamah Agung Kanada
pada akhirnya memutuskan memenangkan tuntutan siswa Sikh itu. Mahkamah
berpendapat bahwa hak setiap anak mendapatkan pendidikan dan hak pendidikan
itu hak asasi yang tidak boleh dipatahkan hanya karena persoalan keyakinan
tertentu yang bersifat privat.
Artinya, sekolah tidak boleh
mengeluarkan anak itu lantaran pakaiannya yang unik karena ajaran tertentu
yang diyakini kebenarannya. Karenanya, cara-cara lain yang lebih persuasif
mungkin bisa dilakukan sekolah itu untuk menghindari kekhawatiran munculnya
efek negatif yang mungkin hadir.
Cerita sejenis bisa saja terjadi
di negeri ini meski dengan bentuk dan macam peristiwa yang berbeda. Baru-baru
ini pun kita disibukkan dengan pro-kontra persoalan pelarangan pakaian cadar
di sebuah perguruan tinggi (PT) di Tanah Air. Cadar satu sisi dipandang
sebagai hak pribadi seseorang berpakaian. Pada aspek lain PT menganggap itu
sebagai refleksi satu ideologi tertentu yang berlawanan dengan anutan
ideologi negara, dengan lembaga pendidikan negeri harus turut mengusungnya.
Di sini, otoritas lembaga negara dalam banyak kasus dibenturkan dengan hak
individu anggota masyarakat yang hidup dalam lembaga itu.
Di negara-negara yang memisahkan
agama dengan negara (secular ideology), persoalan HAM lebih ditekankan pada
komitmen negara dalam pemenuhan hak-hak individu seorang warga. Namun
persoalan sejenis di negara, seperti RI cenderung menjadi bola liar politik
identitas yang lebih rumit pemecahannya.
Dalam kasus siswa Sikh di Kanada,
persoalan dapat selesai dengan lebih simpel karena ketaatan semua pihak
kepada institusi hukum (MA) yang sudah memberikan putusan. Di negeri ini
persoalan cadar bisa menjadi modal kelompok tertentu untuk menunjukkan posisi
politiknya vis-a-vis rezim yang sedang berkuasa. Di sinilah dibutuhkan
kearifan setiap pihak untuk menanganinya.
Perspektif
HAM
Persoalannya sekarang, apakah
pemahaman kita tentang HAM itu dan bagaimana kita mampu memahamkan HAM secara
benar kepada para peserta didik? Untuk menjawab ini, kita semua harus mampu
mendudukkan persoalan HAM itu pada proporsi yang benar dan dengan pemahaman
yang penuh terhadap nilai-nilai sosial-budaya yang berakar dalam masyarakat.
Di negara-negara dunia ketiga, HAM
banyak dipandang sebagai alat neokolonialisme untuk memaksakan kehendak
negara industri terhadap negara berkembang. Karenanya, gencar dibenturkan di
dalamnya persoalan HAM Vs relativitas budaya. HAM dipahami semata masalah
benturan budaya antara nilai-nilai masyarakat yang maju dan yang belum maju.
Pada perkembangannya, masyarakat
dunia ketiga melihat HAM itu lebih sebagai perjuangan kelompok subaltern yang
menuntut hak dan keadilan dari segala bentuk otoritarianisme. Berbeda dengan
masyarakat negara maju yang melihat HAM itu lebih pada persoalan nilai-nilai
dan budaya pergaulan keseharian, dengan setiap individu harus berkomitmen
untuk menjaganya.
Hak asasi adalah tentang kita,
tidak mesti berkenaan dengan persoalan struktural. Dalam hal ini, kita
melihat adanya dorongan psikologis yang berbeda dalam melihat persoalan HAM
itu antara masyarakat belahan dunia utara dan selatan.
Walhasil, perjuangan HAM yang
dilakukan kekinian memiliki variasi perspektif dan corak ajarannya. Para ahli
pada umumnya membaginya ke dalam lima bentuk pandangan, HAM sebagai suatu
strategi pemajuan masyarakat, alat pemberdayaan, jalan pemenuhan hak-hak
perempuan, alat penegakan hukum, dan bentuk pendidikan hukum untuk
transformasi sosial dan perasaan kemanusiaan (J George dan Richard Pierre
Claude, Human Rights Education for the Twenty-first Century, 1997).
Persoalan HAM tidak sekadar
pemenuhan hak asasi anggota masyarakat, tapi juga lebih sebagai kebutuhan
setiap makhluk hidup untuk menjaganya agar kehidupan ini dapat lebih
langgeng.
Persoalan
pendidikan HAM
Pada persoalan bagaimana
mendidiknya, Tibbitts mengemukakan pendidikan HAM dapat dikembangkan melalui
tiga model. Pertama, pendekatan nilai dan kesadaran. Pendidikan difokuskan
pada pendalaman tentang isu-isu HAM dan pengintegrasian nilai-nilainya dalam
kehidupan keseharian. Di sini pendekatan filosofis-historis menjadi acuannya.
Kedua, pendekatan akuntabilitas.
HAM lebih didekati dengan pendekatan hukum dan politik dan perjuangannya
lebih digantungkan pada keterlibatan para penegak hukum yang profesional.
Ketiga, model transformasional, yaitu pendidikannya lebih memanfaatkan aspek
psikologis dan sosiologis dari persoalan HAM itu. Pihak-pihak yang terzalimi
menjadi fokus model ini sehingga proses pendidikan di dalamnya ditujukan
untuk memberikan pertolongan dan akses untuk pemenuhan hak-hak yang dirampas
(Felisa Tibbitts, 'Understanding What We Do: Emerging Models for Human Rights
Education' International Review of Education 48, 3-4 [July 2002], 159-171).
Memahami HAM dengan demikian
sejatinya merupakan usaha pemahaman kita terhadap kehidupan dan etika relasi
antarmanusia itu sendiri. Persoalan HAM bukanlah semata persoalan hukum. Dia
persoalan multidimensional yang muncul dalam kehidupan yang selalu berubah.
Karenanya, pendidikan HAM tidak dapat dilakukan dengan pendekatan singular
saja.
Dalam kenyataannya, tidak lagi
kita dapat menggunakan perspektif subaltern dalam melihat persoalan HAM ini.
Proses pendidikannya harus melibatkan nilai-nilai HAM itu sebagai nilai-nilai
yang hidup dalam kehidupan keseharian peserta didik. Baik dalam dimensi
terkecil keluarga, masyarakat, maupun negara hingga hubungan internasional
secara luas.
Kita yakin nilai-nilai HAM yang
hidup dalam relasi sosial masyarakat global tidak akan bisa diterima jika
dalam pergaulan keseharian, kita belum mampu mengamalkan nilai-nilai
sederhana tentang penghormatan dan apresiasi terhadap sesama. Inti perjuangan
HAM ialah penghormatan terhadap nilai-nilai kemanusiaan dan keberagaman
kehidupan itu sendiri. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar