Paskah
dan Compassio
Otto Gusti ; Dosen Filsafat Politik dan HAM di STFK Ledalero, Maumere,
Flores, NTT; Alumnus Doktor di
Hochschule für Philosphie, Muenchen, Jerman
|
MEDIA
INDONESIA, 29 Maret 2018
PADA
24 Maret 1980 Oscar Romero, uskup agung dari El Salvador, mati terkapar
diterjang peluru aparat militer ketika sedang merayakan ekaristi. Oscar
Romero ialah seorang pemimpin agama Katolik di Amerika Latin yang getol
membela nasib kaum miskin dan terpinggirkan.
Keberpihakan Oscar Romero
Keberpihakannya
pada orang-orang miskin dan tertindas telah mengganggu rezim El Salvador yang
korup dan otoriter pada waktu itu. Untuk solidaritas tanpa kompromi itu Oscar
Romero harus membayar dengan nyawanya. Di mata para penguasa dunia yang lalim
dan tamak, khotbah-khotbah Oscar Romero dianggap sangat provokatif dan
berbahaya.
“Saya
mengutuk kekayaan, hak milik pribadi sebagai sebuah absolutum yang tak
terbantahkan. Awas, jika Anda berani menyentuh pagar tembok gheto orang-orang
kaya dengan tegangan listrik tinggi, Anda akan hangus terbakar!" (Jon
Sobriono, 2013)
Demikian
cuplikan khotbah Oscar Romero mengkritik gaya hidup mewah segelintir orang
kaya yang tak peduli terhadap mayoritas rakyat miskin di El Salvador. Mereka
ialah orang-orang beragama yang saleh secara ritualistik, tapi minus
pertanggungjawaban sosial imannya.
Oscar
Romero juga menelanjangi para penguasa politik El Salvador yang menutup mata
terhadap penderitaan rakyat dan berlaku kejam terhadap rakyatnya sendiri.
"Penguasa memanipulasi masa rakyat sebab mereka membiarkan orang banyak
hidup dalam kelaparan. Saya tak akan pernah merasa lelah mengkritik
ketidakadilan, penangkapan sewenang-wenang, penghilangan paksa, dan penyiksaan.
Kekerasan, pembunuhan, penyiksaan, membunuh orang dan melemparkan ke dalam
laut, melempar orang dari pesawat terbang adalah praktik-praktik dalam
kerajaan neraka." (Jon Sobrino, 2013)
Untuk
sikap profetis dan keberpihakannya terhadap masyarakat El Salvador yang
menderita dan diperlakukan secara tidak adil, Oscar Romero akhirnya menemukan
ajal secara tragis diterjang peluru aparat militer yang gajinya dibayar dari
uang pajak rakyat. Ia yakin bahwa umat Allah menghayati imannya dalam
realitas historis, sosiopolitik, dan ekonomi yang penuh pertentangan.
Beragama
dan menghayati iman secara radikal di tengah dunia yang diwarnai penindasan,
tipu muslihat, korupsi, dan ketidakadilan sosial akan bermuara pada
konsekuensi yang sama seperti Yesus Kristus sendiri yang mati di kayu salib.
Misteri Paskah
Dalam
perayaan Paskah umat Kristen sejagat mengenang peristiwa penderitaan, wafat,
dan kebangkitan Yesus Kristus guna membebaskan umat manusia dari belenggu
penderitaan dan dosa. Inti dari perayaan Paskah ialah cinta. Cinta yang tanpa
pamrih serta mengatasi kebencian dan kematian.
Misteri
cinta yang dirayakan dalam peristiwa Paskah tidak bersifat melankolis, tapi
politis. Cinta itu mencapai puncaknya dalam peristiwa penyaliban Yesus. Bagi
para pemimpin agama dan politik Yahudi pada masa itu, hidup Yesus dianggap
sangat provokatif.
Provokasi
Yesus tidak bersifat kategorial, tapi total. Bersifat total karena bertumbuh
dari sebuah inkarnasi ke tengah dunia yang dikuasai kejahatan dan kegelapan
dosa. Dalam dunia seperti ini tak mungkin Yesus bersikap netral sebab
bersikap netral berarti membiarkan kejahatan berkuasa. Atas nama Kerajaan
Allah yang berpihak terhadap yang menderita, Yesus beroposisi terhadap
kerajaan kekelaman.
Bagi
Yesus, pax romana bukan gambaran dunia yang dikehendaki Allah. Yesus
senantiasa menentang kekuasaan yang lalim. Maka dalam kacamata hukum yang
berlaku masa itu, kematian Yesus bukan kekeliruan. Itu konsekuensi logis dari
radikalitas cara hidup dan inkarnasi ke tengah dunia yang bertentangan dengan
Kerajaan Allah.
Yesus
ialah seorang figur kontroversial, bahkan provokatif. Hidupnya mengganggu
kemapanan para penguasa. Maka, ia dibenci dan dihukum mati. Provokasi Yesus
tidak bersifat artifisial untuk sebuah pencitraan, tapi eksistensial sebab
Yesus atas nama Allah yang membebaskan dan berpihak pada orang-orang miskin
membongkar berhala-berhala para ahli taurat, orang-orang farisi, dan kaum
saduki.
Compassio
Penyaliban
dan kematian Yesus merupakan konsekuensi logis dari cara hidup dan
keberpihakan-Nya (compassio) yang radikal kepada orang-orang miskin dan para
korban ketidakadillan. Pewartaan dan praksis hidup Yesus adalah ancaman besar
bagi para pemimpin agama dan politisi masa itu.
Untuk
konteks masyarakat Indonesia yang plural, penderitaan korban dan sikap Yesus
yang berpihak pada para korban seharusnya menjadi basis etika hidup bersama.
Penderitaan merupakan locus yang mempertemukan pelbagai etnik, ideologi,
agama, dan kepentingan yang menempati rumah Indonesia.
Di
tengah kondisi bangsa yang kian jauh dari toleransi dan rentan akan
kekerasan, narasi penderitaan para korban harus menjadi titik pijak semua
agama dan kelompok ideologis untuk bersama mencari dan mengatasi akar segala
penderitaan dan persoalan ketidakadilan.
Pertanyaan
para korban dapat menjadi basis koalisi agama-agama dan ideologi demi
menyelamatkan dan mendukung compassio sosial dan politik di dunia dewasa ini.
Compassio lebih dari sekadar empati. Ia adalah kemampuan untuk mengambil
bagian dalam penderitaan sesama, terutama sesama yang asing dan menderita.
Penderitaan
adalah otoritas moral tertinggi yang menjadi basis terakhir setiap diskursus
dan kriteria setiap konsensus (Bdk. JB Metz, 2008). Dalam jaringan masyarakat
global, protes atas penderitaan yang tidak adil merupakan elemen yang
mempertemukan dan mempersatukan pelbagai agama dan kebudayaan. Setiap
kebudayaan, agama, atau ideologi yang cukup serius sekurang-kurangnya mencoba
untuk memberi jawaban atas persoalan penderitaan dan kejahatan.
Otoritas
etis wajah para korban bergaung melampaui sekat-sekat ideologi, agama, dan
budaya. Bukan konsensus yang menciptakan otoritas etos, melainkan otoritas
batiniah sebuah etoslah yang memungkinkan dan memberi pendasaran terhadap
konsensus universal. Otoritas dimaksud adalah otoritas para penderita, para
korban ketidakadilan sosial yang terus berjuang melawan absurditas mencari
keadilan dan kebenaran di negeri para mafia dan preman. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar