Penyimpangan
Pekik Takbir di Ruang Publik
Fathorrahman Ghufron ; Wakil Katib Syuriah PW NU DIJ;
Dosen Fakultas Syariah dan Hukum
UIN Sunan Kalijaga
|
JAWA
POS, 21 Maret 2018
Forum Diskusi Persatuan Mahasiswa Indonesia
di University of Queensland (UQISA), Australia, (21/2/2018), Ketua Umum
Muhammadiyah Haedar Nashir menyampaikan gagasan penting bahwa ’’Allahu Akbar
adalah kalimat toyyibah, kalimat yang tinggi dan agung, bukan untuk dikorupsi
menjadi alat politik atau untuk meraih kepentingan sendiri dan kelompok’’.
Karena itu, dalam forum internal
Muhammadiyah, Haedar mengeluarkan larangan memekikkan takbir bagi warganya.
Meski, dalam perkembangannya, larangan tersebut menuai pro-kontra.
Pernyataan Haedar tersebut menjadi kritik
pedas bagi siapa pun yang gemar memekikkan takbir untuk berbagai tujuan
pragmatis dan sebagai modus tertentu untuk menyulut emosi massa agar larut
dalam kanalisasi kepentingannya.
Sebab, takbir yang semula adalah kalimat
luhur untuk mengagungkan kebesaran Allah sering kali tereduksi sebagai
kalimat hipnotis berdaya agitasi yang mengeksploitasi dan mencemari akal
budi. Bahkan, di tangan orang-orang yang tak bertanggung jawab, pekik takbir
sering kali digunakan untuk main hakim sendiri dan menundukkan siapa pun yang
tak sama dengan dirinya.
Dalam kaitan ini, kritik Haedar
mengingatkan kita pada bait-bait puisi KH Mustofa Bisri (Gus Mus) yang
berjudul ’’Allahu Akbar’’; Urat-urat
leher kalian membesar//Meneriakkan Allahu Akbar//Dan dengan semangat jihad//
Nafsu kebencian kalian membakar// Apa saja yang kalian anggap munkar.
Pola
Penyimpangan
Dalam realitas kehidupan yang sarat tujuan
pragmatis, banyak pola penyimpangan (deviation) takbir yang dilakukan
sekelompok orang untuk menarik perhatian publik. Pertama, penyimpangan secara
individual yang terkait dengan sikap patologis yang gemar membesar-besarkan
egonya di hadapan banyak orang dengan menggunakan kalimat takbir sebagai
basis legitimasinya. Bahkan, pada tingkat yang lebih ekstrem, seseorang
menggunakan pekik takbir untuk menyatakan kepada publik bahwa dirinya adalah
yang paling benar, sedangkan pihak yang berseberangan dengan dirinya adalah
salah, sesat, dan murtad.
Dengan bermodal sedikit pengetahuan tentang
sebuah kebenaran atau pemahaman sebuah ajaran yang sempit, melalui pekik
takbir, seseorang yang merasa dirinya paling benar tak segan dan tanpa malu
menggiring opini banyak pihak ke dalam lapisan egoismenya. Anehnya, banyak
pihak yang dibuat tak sadar bahwa dirinya sedang dipengaruhi pekik takbir
yang salah.
Padahal, dalam kondisi egoisme yang tak
terkendali, seseorang yang menyimpangkan takbir untuk kepentingan dirinya
sesungguhnya mengalami mental terkepung (besieged
mentality) yang tak mau mengakui kelemahan dirinya dan hanya cenderung
menyalahkan pihak lain.
Lalu, sebagai pelariannya, dia menggunakan
berbagai terma berdaya magnet massa yang bisa menarik perhatian publik. Di
antaranya, menggunakan jargon agama seperti kalimat takbir yang secara psikis
mampu menciptakan sebuah energi bergelombang untuk meyakinkan pihak lain.
Kedua, penyimpangan secara institusional
yang terkait dengan sikap patologis dalam melakukan penguatan sikap fanatisme
kelompok terhadap para penganutnya serta membangun simbol glorifikasi melalui
pekik takbir bahwa kelompoknya adalah yang paling digdaya. Secara sistemik,
pekik takbir dijadikan semacam aturan main untuk menyemangati pengikutnya
dalam memperjuangkan kepentingan kelompoknya. Bahkan, dengan membangun pola
gerakan populisme, yaitu gerakan yang seolah-olah menjunjung tinggi rakyat
kecil, pekik takbir dijadikan ’’senjata perlawanan’’ dalam menghadapi
persaingan.
Dalam emosi kelompok ini, pekik takbir
seolah menjadi ’’mantra sosial’’ untuk membangun kepatuhan kolektif di antara
pengikutnya. Seolah-olah, dengan memekikkan takbir, setiap perilaku
berkelompoknya mendapat ’’restu ilahiah’’. Padahal, dalam perkembangannya,
tidak sedikit pekik takbir dalam berkelompoknya yang berubah bentuk menjadi
’’ilusi syaithaniyah’’ lantaran yang disebarkan adalah semangat permusuhan.
Kenyataan tersebut bisa dicermati dalam
setiap kelompok yang kerap memekikkan takbir di ruang publik, tetapi setiap
pekikan takbirnya disertai amuk massa yang tak terkendali. Melalui radiasi
fanatismenya, setiap pengikut yang didaulat setia dalam barisan kelompoknya
membangun energi perlawanan untuk menundukkan dan menaklukkan siapa pun yang
dianggap mencela dan berbeda pandangan.
Bahkan, secara lebih naif lagi, kelompok
yang begitu mudah meniscayakan pekikan takbir sebagai ciri pergerakannya sudi
masuk dalam berbagai pertarungan politik yang dikendalikan para kompradornya.
Para kelompok yang sudah masuk dalam arena pertarungan kekuasaan itu menjadi
semacam operator jalanan yang siap menyulutkan emosi massanya yang selalu
beririsan dengan pekik takbir yang cetar membahana. Padahal, mereka tak sadar
bahwa sebenarnya posisi mereka sedang dimanfaatkan pihak partisan politik
yang hanya meminjam fanatisme kelompok dan emosi massanya yang gigih
memekikkan takbir tersebut untuk sebuah kepentingan sesaat.
Bila sudah demikian kenyataan yang terjadi,
sesungguhnya mereka hanyalah gerombolan orang yang melakukan penyimpangan
takbir sekaligus menyekutukan Tuhan dalam bentuk lain. Merujuk pada beberapa
bait akhir puisi ’’Allahu Akbar’’ Gus Mus bahwa sesungguhnya: Syirik adalah dosa paling besar/Dan syirik
yang paling akbar/ Adalah mensekutukanNya/ Dengan mempertuhankan diri
sendiri/Dengan memutlakkan kebenaran sendiri. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar