Sabtu, 24 Maret 2018

Penyimpangan Pekik Takbir di Ruang Publik

Penyimpangan Pekik Takbir di Ruang Publik
Fathorrahman Ghufron  ;   Wakil Katib Syuriah PW NU DIJ;
Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga
                                                      JAWA POS, 21 Maret 2018



                                                           
Forum Diskusi Persatuan Mahasiswa Indonesia di University of Queensland (UQISA), Australia, (21/2/2018), Ketua Umum Muhammadiyah Haedar Nashir menyampaikan gagasan penting bahwa ’’Allahu Akbar adalah kalimat toyyibah, kalimat yang tinggi dan agung, bukan untuk dikorupsi menjadi alat politik atau untuk meraih kepentingan sendiri dan kelompok’’.

Karena itu, dalam forum internal Muhammadiyah, Haedar mengeluarkan larangan memekikkan takbir bagi warganya. Meski, dalam perkembangannya, larangan tersebut menuai pro-kontra.

Pernyataan Haedar tersebut menjadi kritik pedas bagi siapa pun yang gemar memekikkan takbir untuk berbagai tujuan pragmatis dan sebagai modus tertentu untuk menyulut emosi massa agar larut dalam kanalisasi kepentingannya.

Sebab, takbir yang semula adalah kalimat luhur untuk mengagungkan kebesaran Allah sering kali tereduksi sebagai kalimat hipnotis berdaya agitasi yang mengeksploitasi dan mencemari akal budi. Bahkan, di tangan orang-orang yang tak bertanggung jawab, pekik takbir sering kali digunakan untuk main hakim sendiri dan menundukkan siapa pun yang tak sama dengan dirinya.

Dalam kaitan ini, kritik Haedar mengingatkan kita pada bait-bait puisi KH Mustofa Bisri (Gus Mus) yang berjudul ’’Allahu Akbar’’; Urat-urat leher kalian membesar//Meneriakkan Allahu Akbar//Dan dengan semangat jihad// Nafsu kebencian kalian membakar// Apa saja yang kalian anggap munkar.

Pola Penyimpangan

Dalam realitas kehidupan yang sarat tujuan pragmatis, banyak pola penyimpangan (deviation) takbir yang dilakukan sekelompok orang untuk menarik perhatian publik. Pertama, penyimpangan secara individual yang terkait dengan sikap patologis yang gemar membesar-besarkan egonya di hadapan banyak orang dengan menggunakan kalimat takbir sebagai basis legitimasinya. Bahkan, pada tingkat yang lebih ekstrem, seseorang menggunakan pekik takbir untuk menyatakan kepada publik bahwa dirinya adalah yang paling benar, sedangkan pihak yang berseberangan dengan dirinya adalah salah, sesat, dan murtad.

Dengan bermodal sedikit pengetahuan tentang sebuah kebenaran atau pemahaman sebuah ajaran yang sempit, melalui pekik takbir, seseorang yang merasa dirinya paling benar tak segan dan tanpa malu menggiring opini banyak pihak ke dalam lapisan egoismenya. Anehnya, banyak pihak yang dibuat tak sadar bahwa dirinya sedang dipengaruhi pekik takbir yang salah.

Padahal, dalam kondisi egoisme yang tak terkendali, seseorang yang menyimpangkan takbir untuk kepentingan dirinya sesungguhnya mengalami mental terkepung (besieged mentality) yang tak mau mengakui kelemahan dirinya dan hanya cenderung menyalahkan pihak lain.

Lalu, sebagai pelariannya, dia menggunakan berbagai terma berdaya magnet massa yang bisa menarik perhatian publik. Di antaranya, menggunakan jargon agama seperti kalimat takbir yang secara psikis mampu menciptakan sebuah energi bergelombang untuk meyakinkan pihak lain.

Kedua, penyimpangan secara institusional yang terkait dengan sikap patologis dalam melakukan penguatan sikap fanatisme kelompok terhadap para penganutnya serta membangun simbol glorifikasi melalui pekik takbir bahwa kelompoknya adalah yang paling digdaya. Secara sistemik, pekik takbir dijadikan semacam aturan main untuk menyemangati pengikutnya dalam memperjuangkan kepentingan kelompoknya. Bahkan, dengan membangun pola gerakan populisme, yaitu gerakan yang seolah-olah menjunjung tinggi rakyat kecil, pekik takbir dijadikan ’’senjata perlawanan’’ dalam menghadapi persaingan.

Dalam emosi kelompok ini, pekik takbir seolah menjadi ’’mantra sosial’’ untuk membangun kepatuhan kolektif di antara pengikutnya. Seolah-olah, dengan memekikkan takbir, setiap perilaku berkelompoknya mendapat ’’restu ilahiah’’. Padahal, dalam perkembangannya, tidak sedikit pekik takbir dalam berkelompoknya yang berubah bentuk menjadi ’’ilusi syaithaniyah’’ lantaran yang disebarkan adalah semangat permusuhan.

Kenyataan tersebut bisa dicermati dalam setiap kelompok yang kerap memekikkan takbir di ruang publik, tetapi setiap pekikan takbirnya disertai amuk massa yang tak terkendali. Melalui radiasi fanatismenya, setiap pengikut yang didaulat setia dalam barisan kelompoknya membangun energi perlawanan untuk menundukkan dan menaklukkan siapa pun yang dianggap mencela dan berbeda pandangan.

Bahkan, secara lebih naif lagi, kelompok yang begitu mudah meniscayakan pekikan takbir sebagai ciri pergerakannya sudi masuk dalam berbagai pertarungan politik yang dikendalikan para kompradornya. Para kelompok yang sudah masuk dalam arena pertarungan kekuasaan itu menjadi semacam operator jalanan yang siap menyulutkan emosi massanya yang selalu beririsan dengan pekik takbir yang cetar membahana. Padahal, mereka tak sadar bahwa sebenarnya posisi mereka sedang dimanfaatkan pihak partisan politik yang hanya meminjam fanatisme kelompok dan emosi massanya yang gigih memekikkan takbir tersebut untuk sebuah kepentingan sesaat.

Bila sudah demikian kenyataan yang terjadi, sesungguhnya mereka hanyalah gerombolan orang yang melakukan penyimpangan takbir sekaligus menyekutukan Tuhan dalam bentuk lain. Merujuk pada beberapa bait akhir puisi ’’Allahu Akbar’’ Gus Mus bahwa sesungguhnya: Syirik adalah dosa paling besar/Dan syirik yang paling akbar/ Adalah mensekutukanNya/ Dengan mempertuhankan diri sendiri/Dengan memutlakkan kebenaran sendiri. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar