Selasa, 27 Maret 2018

Modus Korupsi dalam Pilkada

Modus Korupsi dalam Pilkada
Herie Purwanto  ;   Perwira Menengah Polri,
penugasan di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
                                               SUARA MERDEKA, 21 Maret 2018



                                                           
KOMISI Pemberantasan Korupsi (KPK) menangkap beberapa calon kepala daerah menjelang pelaksanaan Pilkada Serentak 2018. Ini sangat memprihatinkan. Seolah penangkapan beberapa calon kepala daerah yang dilakukan beberapa waktu lalu belum memberikan efek jera.
Mereka yang tertangkap, seolah membenarkan bahwa sejatinya penyebab seseorang melakukan korupsi itu karena tiga keadaan. Pertama terpaksa, kedua memaksa, dan ketiga dipaksa. Pada konteks pelaksanaan pilkada, tiga keadaan tersebut berujung pada satu objek, yaitu kebutuhan finansial untuk membiayai diri pada ajang pesta demokrasi.

Mereka mengaku terpaksa melakukan korupsi dengan berbagai modus karena desakan kebutuhan untuk pembiayaan. Modus yang dilakukan bisa dengan menggunakan kewenanganya untuk memaksa pihak yang mau ”diajak kerja sama” dalam persekongkolan korupsi.

Fakta di masyarakat yang masih mau ”menerima” uang dalam pilkada menjadi penyubur terjadinya korupsi tersebut. Dalam kajian studi kejahatan, setidaknya disebutkan dua tipe korupsi yang berkorelasi dengan momen pemilihan umum dan pilkada, yaitu election froud dan corrupt campaign practice.

Yang termasuk dalam election froud misalnya pendaftaran pemilih yang sengaja dilakukan secara tidak akurat, kecurangan dalam penghitungan suara, dan membayar sejumlah uang tertentu atau memberi barang atau janji agar memilih calon tertentu (politik uang). Adapun yang termasuk dalam corrupt campaign practice misalnya praktik kampanye menggunakan fasilitas negara ataupun uang negara oleh calon yang sedang memegang kekuasaan negara.

Beberapa Kasus

Sebagaimana diberitakan banyak media, Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan mengatakan, duit hasil korupsi diduga bukan hanya digunakan untuk modal maju lagi dalam pilkada, kepala daerah juga memburu komisi untuk mengembalikan modal yang mereka keluarkan dalam pilkada sebelumnya.

Delapan kepala daerah yang ditangkap KPK karena terjerat kasus suap yang diduga untuk modal pilkada adalah Bupati Subang Imas Aryumningsih. Dia maju lagi sebagai calon Bupati Subang, Jawa Barat. Dia ditangkap KPK pada Selasa (13/2) karena diduga menerima suap Rp 1,4 miliar dalam kaitan perizinan.

Marianus Sae sebagai Bupati Ngada, Nusa Tenggara Timur bakal maju sebagai calon Gubernur Nusa Tenggara Timur. Marianus ditangkap KPK pada Minggu (11/2). Dia diduga menerima suap Rp 4,1 miliar dari pemenang proyek jalan. Kemudian Nyono Suharli Wihandoko, Bupati Jombang, Jawa Timur.

Nyono yang akan maju lagi sebagai calon Bupati Jombang ditangkap pada Sabtu (3/2). Dia diduga menerima suap Rp 275 juta dalam kaitan perizinan dan pengurusan jabatan. Berikutnya Bupati Halmahera Timur, Maluku Utara, Rudi Erawan, berencana maju sebagai calon Gubernur Maluku Utara.

Dia ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK pada (31/1) karena diduga menerima suap Rp 6,3 miliar dari sejumlah kontraktor proyek jalan. Selanjutnya istri Bupati Nganjuk, Jawa Timur, Taufiqurrahman, Ita Triwibawati yang berencana maju dalam pemilihan Bupati Nganjuk.

Taufiqurrahman ditangkap KPK pada 25 Oktober 2017. Dia diduga menerima gratifikasi Rp 2 miliar dari kontraktor. Lalu Rita Widyasari, Bupati Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur ini berencana maju sebagai calon Gubernur Kalimantan Timur. Dia ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK pada 26 September 2017.

Rita diduga menerima Rp 436 miliar dari sejumlah pihak sebagai fee proyek dan perizinan. Eddy Rumpoko saat itu masih menjabat sebagai Wali Kota Batu, Jawa Timur terjerat kasus korupsi saat istrinya, Dewanti Rumpoko, akan maju sebagai calon Wali Kota Batu. Eddy ditangkap pada 16 September 2017 dalam operasi tangkap tangan.

KPK menduga Eddy menerima suap Rp 500 juta dalam kaitan proyek belanja modal dan pengadaan mebel. Terakhir, Wali Kota Tegal Siti Masitha Soeparno. Dia berencana kembali maju sebagai calon Wali Kota Tegal dan ditangkap pada 29 Agustus 2017 karena diduga menerima setoran dari kepala dinas serta menerima fee proyek sekitar Rp 5,1 miliar.

Tipologi Korupsi Hasil dari inventarisasi oleh PPTK, setidaknya ada tujuh tipologi tindak pidana pencucian uang terkait dengan pilkada. Pertama, pelaku menerima sumbangan dana yang bersumber dari BUMD, kemudian ditransfer ke beberapa pihak, bahkan ada yang ditransfer ke luar negeri. Setelah uang kembali, uang digunakan untuk kampanye.

Kedua, pelaku menerima sumbangan dana melalui pihak ketiga di luar pengurus partai atau tim sukses. Ketiga, pelaku menerima sumbangan dari pengusaha yang terkait dengan indikasi tindak pidana korupsi. Keempat, pelaku menerima sumbangan dari pengusaha dan berdampak pada indikasi tindak pidana korupsi.

Kelima, menampung dana operasional pemilu/pilkada yang bersumber dari APBN atau APBD ke dalam rekening pribadi penyelenggara atau pengawas pemilu/pilkada. Dana itu akan ditarik penyelenggara atau pengawas pemilu selanjutnya digunakan untuk kepentingan pribadi dan keluarganya.

Keenam, pola memecah-mecah transaksi sumbangan dana pemilu melalui joint account calon kepala daerah. KPK serius dan komit untuk ikut mengawal pesta demokrasi yang bebas dari cara-cara kotor dengan beberapa modus korupsi.

Di luar tipologi tersebut, tentu berkembang modus baru. Namun dukungan dan peran serta masyarakat dalam memberikan informasi kepada KPK menjadi kekuatan lembaga antirasuah tersebut untuk terus menangkap para koruptor. ●

1 komentar: