Modus
Korupsi dalam Pilkada
Herie Purwanto ; Perwira Menengah Polri,
penugasan di Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK)
|
SUARA
MERDEKA, 21 Maret 2018
KOMISI Pemberantasan
Korupsi (KPK) menangkap beberapa calon kepala daerah menjelang pelaksanaan
Pilkada Serentak 2018. Ini sangat memprihatinkan. Seolah penangkapan beberapa
calon kepala daerah yang dilakukan beberapa waktu lalu belum memberikan efek
jera.
Mereka yang tertangkap,
seolah membenarkan bahwa sejatinya penyebab seseorang melakukan korupsi itu
karena tiga keadaan. Pertama terpaksa, kedua memaksa, dan ketiga dipaksa.
Pada konteks pelaksanaan pilkada, tiga keadaan tersebut berujung pada satu
objek, yaitu kebutuhan finansial untuk membiayai diri pada ajang pesta
demokrasi.
Mereka mengaku terpaksa
melakukan korupsi dengan berbagai modus karena desakan kebutuhan untuk
pembiayaan. Modus yang dilakukan bisa dengan menggunakan kewenanganya untuk
memaksa pihak yang mau ”diajak kerja sama” dalam persekongkolan korupsi.
Fakta di masyarakat yang
masih mau ”menerima” uang dalam pilkada menjadi penyubur terjadinya korupsi
tersebut. Dalam kajian studi kejahatan, setidaknya disebutkan dua tipe
korupsi yang berkorelasi dengan momen pemilihan umum dan pilkada, yaitu
election froud dan corrupt campaign practice.
Yang termasuk dalam
election froud misalnya pendaftaran pemilih yang sengaja dilakukan secara
tidak akurat, kecurangan dalam penghitungan suara, dan membayar sejumlah uang
tertentu atau memberi barang atau janji agar memilih calon tertentu (politik
uang). Adapun yang termasuk dalam corrupt campaign practice misalnya praktik
kampanye menggunakan fasilitas negara ataupun uang negara oleh calon yang
sedang memegang kekuasaan negara.
Beberapa
Kasus
Sebagaimana diberitakan
banyak media, Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan mengatakan, duit hasil
korupsi diduga bukan hanya digunakan untuk modal maju lagi dalam pilkada,
kepala daerah juga memburu komisi untuk mengembalikan modal yang mereka keluarkan
dalam pilkada sebelumnya.
Delapan kepala daerah yang
ditangkap KPK karena terjerat kasus suap yang diduga untuk modal pilkada
adalah Bupati Subang Imas Aryumningsih. Dia maju lagi sebagai calon Bupati
Subang, Jawa Barat. Dia ditangkap KPK pada Selasa (13/2) karena diduga
menerima suap Rp 1,4 miliar dalam kaitan perizinan.
Marianus Sae sebagai
Bupati Ngada, Nusa Tenggara Timur bakal maju sebagai calon Gubernur Nusa
Tenggara Timur. Marianus ditangkap KPK pada Minggu (11/2). Dia diduga
menerima suap Rp 4,1 miliar dari pemenang proyek jalan. Kemudian Nyono
Suharli Wihandoko, Bupati Jombang, Jawa Timur.
Nyono yang akan maju lagi
sebagai calon Bupati Jombang ditangkap pada Sabtu (3/2). Dia diduga menerima
suap Rp 275 juta dalam kaitan perizinan dan pengurusan jabatan. Berikutnya
Bupati Halmahera Timur, Maluku Utara, Rudi Erawan, berencana maju sebagai
calon Gubernur Maluku Utara.
Dia ditetapkan sebagai
tersangka oleh KPK pada (31/1) karena diduga menerima suap Rp 6,3 miliar dari
sejumlah kontraktor proyek jalan. Selanjutnya istri Bupati Nganjuk, Jawa
Timur, Taufiqurrahman, Ita Triwibawati yang berencana maju dalam pemilihan
Bupati Nganjuk.
Taufiqurrahman ditangkap
KPK pada 25 Oktober 2017. Dia diduga menerima gratifikasi Rp 2 miliar dari
kontraktor. Lalu Rita Widyasari, Bupati Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur
ini berencana maju sebagai calon Gubernur Kalimantan Timur. Dia ditetapkan
sebagai tersangka oleh KPK pada 26 September 2017.
Rita diduga menerima Rp
436 miliar dari sejumlah pihak sebagai fee proyek dan perizinan. Eddy Rumpoko
saat itu masih menjabat sebagai Wali Kota Batu, Jawa Timur terjerat kasus
korupsi saat istrinya, Dewanti Rumpoko, akan maju sebagai calon Wali Kota
Batu. Eddy ditangkap pada 16 September 2017 dalam operasi tangkap tangan.
KPK menduga Eddy menerima
suap Rp 500 juta dalam kaitan proyek belanja modal dan pengadaan mebel.
Terakhir, Wali Kota Tegal Siti Masitha Soeparno. Dia berencana kembali maju
sebagai calon Wali Kota Tegal dan ditangkap pada 29 Agustus 2017 karena
diduga menerima setoran dari kepala dinas serta menerima fee proyek sekitar
Rp 5,1 miliar.
Tipologi Korupsi Hasil
dari inventarisasi oleh PPTK, setidaknya ada tujuh tipologi tindak pidana
pencucian uang terkait dengan pilkada. Pertama, pelaku menerima sumbangan dana
yang bersumber dari BUMD, kemudian ditransfer ke beberapa pihak, bahkan ada
yang ditransfer ke luar negeri. Setelah uang kembali, uang digunakan untuk
kampanye.
Kedua, pelaku menerima
sumbangan dana melalui pihak ketiga di luar pengurus partai atau tim sukses.
Ketiga, pelaku menerima sumbangan dari pengusaha yang terkait dengan indikasi
tindak pidana korupsi. Keempat, pelaku menerima sumbangan dari pengusaha dan
berdampak pada indikasi tindak pidana korupsi.
Kelima, menampung dana
operasional pemilu/pilkada yang bersumber dari APBN atau APBD ke dalam
rekening pribadi penyelenggara atau pengawas pemilu/pilkada. Dana itu akan
ditarik penyelenggara atau pengawas pemilu selanjutnya digunakan untuk
kepentingan pribadi dan keluarganya.
Keenam, pola memecah-mecah
transaksi sumbangan dana pemilu melalui joint account calon kepala daerah.
KPK serius dan komit untuk ikut mengawal pesta demokrasi yang bebas dari
cara-cara kotor dengan beberapa modus korupsi.
Di luar tipologi tersebut,
tentu berkembang modus baru. Namun dukungan dan peran serta masyarakat dalam
memberikan informasi kepada KPK menjadi kekuatan lembaga antirasuah tersebut
untuk terus menangkap para koruptor. ●
|
Apakah kamu sudah tau prediksi togel mbah jambrong yang jitu? bila belum baca Prediksi jitu mbah jambrong Hk
BalasHapus