Sabtu, 24 Maret 2018

Amien Rais, Luhut, dan Tanah untuk Rakyat

Amien Rais, Luhut, dan Tanah untuk Rakyat
Laode Ida  ;   Komisioner Ombudsman RI;  Wakil Ketua DPD RI 2004-2014
                                                      JAWA POS, 22 Maret 2018



                                                           
SAAT membaca berita panas ”naik pitamnya” Menko Polhukam Luhut Binsar Panjaitan (LBP) akibat pernyataan Amien Rais yang menyindir program bagi-bagi sertifikat tanah di pedesaan sebagai ”pengibulan”, saya langsung merenungkan sejumlah pengaduan kasus pertanahan yang masuk dan ditangani Ombudsman RI. Banyak kisah menyedihkan di balik pengaduan itu.

Begini antara lain kisah-kisah itu. Sebidang tanah seluas 2.000 meter milik seorang nenek di kawasan Ceger (TMII) Jakarta dengan bukti sertifikat hak milik/SHM (berikut alas administrasi hukum pembuatannya yang kuat: diakui lurah dan BPN Jaktim). Tanah tersebut tiba-tiba dipasangi plang bertulisan ”Tanah Ini Milik TNI/Kodam Jaya”. Nenek tua itu heran dan kebingungan. Padahal, tanah itu sejak 1960-an dihuni dan di-SHM-kan pada 1980-an serta sekarang jadi bagian dari sumber hidupnya dengan menyewakannya pada pengusaha bengkel itu, tiba-tiba diklaim oleh TNI.

Berbeda kisah dengan para purnawirawan di Karawang, Jawa Barat. Peruntukan lahan untuk tempat tinggal mereka yang sudah ”diplot” oleh pemerintah di masa kepemimpinan Bupati Dadang S. Muchtar terancam kehilangan tempat tinggal. Sebab, lahan itu juga sudah diklaim oleh salah satu pengembang raksasa dari Jakarta. Perusahaan itu mengklaim sudah mengantongi izin dari pemerintah sehingga berhak menggusur warga. Pemerintah pun hingga saat ini cenderung memihak pengembang.

Kasus mutakhir yang baru saja (20/3) dilaporkan di Ombudsman RI terkait dengan penyerobotan dan/atau penggusuran tanah milik masyarakat adat, termasuk sebagian lahan transmigran di Bombana (Sultra), oleh suatu perusahaan. Begitu cepatnya gerakan perusahaan milik swasta itu, mulai pengurusan izin (di daerah hingga Kementerian LHK) hingga pengerahan alat-alat berat untuk pembersihan lahan. Konon, perusahaan itu bergerak di bidang pertanian dan di-back up aparat (polisi dan TNI) dengan dalih agenda perusahaan itu sejalan dengan misi Presiden Jokowi. Sehingga, meski warga setempat menolak lahannya diambil paksa dan bahkan hampir setiap hari ada demonstrasi penolakan, pihak perusahaan dan pemda tetap saja tidak peduli. Komnas HAM akhirnya turun ke lokasi seraya kemudian minta warga datang melaporkan ke Ombudsman RI.

Kasus pertanahan menempati posisi teratas laporan pengaduan masyarakat di Ombudsman RI. Dan harus dicatat: ”itu baru yang sempat dilaporkan saja”. Yang tidak melapor diyakini masih sangat banyak.

Ini menunjukkan ada permasalahan serius tentang hak rakyat terhadap tanah. Kita tentu saja mendukung program sertifikasi tanah untuk rakyat. Tetapi, hal itu tidak bisa dijadikan satu-satunya dasar untuk mengakui eksistensi hak rakyat atas tanah. Tanah ulayat atau tanah milik adat harus juga mendapat posisi sama kuat dengan tanah yang disertifikasi. Apalagi hal ini juga sudah memperoleh stempel atau putusan dari Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2004. Dan perlu dicatat bahwa masyarakat lokal di negeri ini umumnya merupakan komunitas dengan warisan budaya yang keberadaan mereka jauh sebelum Indonesia merdeka, memiliki sistem kepemilikan lahan tersendiri.

Hanya, belakangan, ketika negara hadir, terkadang dengan begitu arogannya langsung mengklaim sebagai tanah negara atau hutan negara dengan berbagai kategorinya; tanpa terlebih dahulu konfirmasi dengan sistem kepemilikan lahan secara budaya di tingkat lokal. Maka, ketika pemerintah tiba-tiba memberi hak pengusahaan lahan (kawasan atau hutan) kepada suatu perusahaan, misalnya, tak jarang menimbulkan perlawanan dari masyarakat lokal.

Namun, sayangnya, umumnya rakyat selalu berada pada posisi yang lemah. Bahkan, pada sejumlah kasus di Indonesia, tak jarang terjadi korban nyawa akibat mempertahankan hak-hak mereka. Karena biasanya pihak perusahaan di-back up secara kuat oleh pemerintah berikut aparat keamanannya. Maklum, ada motif kepentingan tertentu di balik dukungan itu.

Pemerintah juga seharusnya peduli dengan posisi warga yang sudah lama menghuni lahan yang oleh administrasi negara masih dianggap berstatus sebagai tanah negara. Apalagi salah satu materi kampanye Jokowi pada saat cagub DKI Jakarta secara tegas menyatakan bahwa warga negara yang sudah menghuni lahan lebih dari 20 tahun akan diberi status sebagai hak milik. Pertanyaan­nya, mengapa janji Jokowi itu hingga mau berakhir masa jabatannya sebagai presiden RI belum juga diwujudkan?

Barangkali itulah sebabnya sehingga tokoh reformasi Amien Rais kembali melontarkan kritik pedasnya terhadap agenda pemerintah itu. Karena jika dikaitkan dengan sejumlah kasus pengaduan di Ombudsman RI, kritik itu harus dimaknai juga dengan sisi pandang yang berbeda. Pertama, jajaran pemerintahan Jokowi harus fokus menyelesaikan konflik agraria akibat adanya kekuatan modal yang hanya berdasar selembar surat izin kemudian menggusur lahan atau tanah-tanah milik rakyat.

Kedua, muncul kecurigaan bahwa agenda bagi-bagi sertifikat di pedesaan adalah untuk meniadakan hak kepemilikan tanah-tanah atau kawasan milik masyarakat adat. Bukan mustahil kelak akan kian menjustifikasi posisi kuat para pengusaha yang memperoleh izin untuk mengelola sumber daya alam (SDA) di pedesaan, kendati kawasan itu secara budaya lokal dianggap sebagai tanah milik masyarakat adat lokal.

Tepatnya, boleh jadi kelak yang akan dianggap sebagai lahan warga di pedesaan hanyalah tanah-tanah yang sudah disertifikasi melalui program Jokowi, sehingga akan semakin leluasa pemberian izin pada para pengusaha untuk mengeksploitasi SDA. Jika ini terjadi, anak cucu warga bangsa ini akan kian terancam.

Inilah yang harus direnungkan oleh Jokowi dan Luhut di balik kritik Amien Rais. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar