Amien
Rais, Luhut, dan Tanah untuk Rakyat
Laode Ida ; Komisioner Ombudsman RI; Wakil Ketua DPD RI 2004-2014
|
JAWA
POS, 22 Maret 2018
SAAT membaca berita panas ”naik pitamnya” Menko
Polhukam Luhut Binsar Panjaitan (LBP) akibat pernyataan Amien Rais yang
menyindir program bagi-bagi sertifikat tanah di pedesaan sebagai
”pengibulan”, saya langsung merenungkan sejumlah pengaduan kasus pertanahan
yang masuk dan ditangani Ombudsman RI. Banyak kisah menyedihkan di balik
pengaduan itu.
Begini antara lain kisah-kisah itu.
Sebidang tanah seluas 2.000 meter milik seorang nenek di kawasan Ceger (TMII)
Jakarta dengan bukti sertifikat hak milik/SHM (berikut alas administrasi
hukum pembuatannya yang kuat: diakui lurah dan BPN Jaktim). Tanah tersebut
tiba-tiba dipasangi plang bertulisan ”Tanah Ini Milik TNI/Kodam Jaya”. Nenek
tua itu heran dan kebingungan. Padahal, tanah itu sejak 1960-an dihuni dan
di-SHM-kan pada 1980-an serta sekarang jadi bagian dari sumber hidupnya
dengan menyewakannya pada pengusaha bengkel itu, tiba-tiba diklaim oleh TNI.
Berbeda kisah dengan para purnawirawan di
Karawang, Jawa Barat. Peruntukan lahan untuk tempat tinggal mereka yang sudah
”diplot” oleh pemerintah di masa kepemimpinan Bupati Dadang S. Muchtar
terancam kehilangan tempat tinggal. Sebab, lahan itu juga sudah diklaim oleh
salah satu pengembang raksasa dari Jakarta. Perusahaan itu mengklaim sudah
mengantongi izin dari pemerintah sehingga berhak menggusur warga. Pemerintah
pun hingga saat ini cenderung memihak pengembang.
Kasus mutakhir yang baru saja (20/3)
dilaporkan di Ombudsman RI terkait dengan penyerobotan dan/atau penggusuran
tanah milik masyarakat adat, termasuk sebagian lahan transmigran di Bombana
(Sultra), oleh suatu perusahaan. Begitu cepatnya gerakan perusahaan milik
swasta itu, mulai pengurusan izin (di daerah hingga Kementerian LHK) hingga
pengerahan alat-alat berat untuk pembersihan lahan. Konon, perusahaan itu
bergerak di bidang pertanian dan di-back up aparat (polisi dan TNI) dengan
dalih agenda perusahaan itu sejalan dengan misi Presiden Jokowi. Sehingga,
meski warga setempat menolak lahannya diambil paksa dan bahkan hampir setiap
hari ada demonstrasi penolakan, pihak perusahaan dan pemda tetap saja tidak
peduli. Komnas HAM akhirnya turun ke lokasi seraya kemudian minta warga
datang melaporkan ke Ombudsman RI.
Kasus pertanahan menempati posisi teratas
laporan pengaduan masyarakat di Ombudsman RI. Dan harus dicatat: ”itu baru
yang sempat dilaporkan saja”. Yang tidak melapor diyakini masih sangat
banyak.
Ini menunjukkan ada permasalahan serius
tentang hak rakyat terhadap tanah. Kita tentu saja mendukung program
sertifikasi tanah untuk rakyat. Tetapi, hal itu tidak bisa dijadikan
satu-satunya dasar untuk mengakui eksistensi hak rakyat atas tanah. Tanah
ulayat atau tanah milik adat harus juga mendapat posisi sama kuat dengan
tanah yang disertifikasi. Apalagi hal ini juga sudah memperoleh stempel atau
putusan dari Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2004. Dan perlu dicatat bahwa
masyarakat lokal di negeri ini umumnya merupakan komunitas dengan warisan
budaya yang keberadaan mereka jauh sebelum Indonesia merdeka, memiliki sistem
kepemilikan lahan tersendiri.
Hanya, belakangan, ketika negara hadir,
terkadang dengan begitu arogannya langsung mengklaim sebagai tanah negara
atau hutan negara dengan berbagai kategorinya; tanpa terlebih dahulu
konfirmasi dengan sistem kepemilikan lahan secara budaya di tingkat lokal.
Maka, ketika pemerintah tiba-tiba memberi hak pengusahaan lahan (kawasan atau
hutan) kepada suatu perusahaan, misalnya, tak jarang menimbulkan perlawanan
dari masyarakat lokal.
Namun, sayangnya, umumnya rakyat selalu
berada pada posisi yang lemah. Bahkan, pada sejumlah kasus di Indonesia, tak
jarang terjadi korban nyawa akibat mempertahankan hak-hak mereka. Karena
biasanya pihak perusahaan di-back up secara kuat oleh pemerintah berikut
aparat keamanannya. Maklum, ada motif kepentingan tertentu di balik dukungan
itu.
Pemerintah juga seharusnya peduli dengan
posisi warga yang sudah lama menghuni lahan yang oleh administrasi negara
masih dianggap berstatus sebagai tanah negara. Apalagi salah satu materi
kampanye Jokowi pada saat cagub DKI Jakarta secara tegas menyatakan bahwa
warga negara yang sudah menghuni lahan lebih dari 20 tahun akan diberi status
sebagai hak milik. Pertanyaannya, mengapa janji Jokowi itu hingga mau
berakhir masa jabatannya sebagai presiden RI belum juga diwujudkan?
Barangkali itulah sebabnya sehingga tokoh
reformasi Amien Rais kembali melontarkan kritik pedasnya terhadap agenda
pemerintah itu. Karena jika dikaitkan dengan sejumlah kasus pengaduan di
Ombudsman RI, kritik itu harus dimaknai juga dengan sisi pandang yang
berbeda. Pertama, jajaran pemerintahan Jokowi harus fokus menyelesaikan
konflik agraria akibat adanya kekuatan modal yang hanya berdasar selembar
surat izin kemudian menggusur lahan atau tanah-tanah milik rakyat.
Kedua, muncul kecurigaan bahwa agenda
bagi-bagi sertifikat di pedesaan adalah untuk meniadakan hak kepemilikan
tanah-tanah atau kawasan milik masyarakat adat. Bukan mustahil kelak akan
kian menjustifikasi posisi kuat para pengusaha yang memperoleh izin untuk
mengelola sumber daya alam (SDA) di pedesaan, kendati kawasan itu secara
budaya lokal dianggap sebagai tanah milik masyarakat adat lokal.
Tepatnya, boleh jadi kelak yang akan
dianggap sebagai lahan warga di pedesaan hanyalah tanah-tanah yang sudah
disertifikasi melalui program Jokowi, sehingga akan semakin leluasa pemberian
izin pada para pengusaha untuk mengeksploitasi SDA. Jika ini terjadi, anak
cucu warga bangsa ini akan kian terancam.
Inilah yang harus direnungkan oleh Jokowi
dan Luhut di balik kritik Amien Rais. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar