Sabtu, 24 Maret 2018

KTT Khusus ASEAN-Australia dan Agenda Strategis RI

KTT Khusus ASEAN-Australia
dan Agenda Strategis RI
Rafli Zulfikar  ;   Peneliti Center for International Studies and Trade
                                                  KORAN SINDO, 23 Maret 2018



                                                           
DIAWALI dengan political gimmick, Presiden Joko Widodo melontarkan ide agar Australia bergabung de­ngan ASEAN dan menjadi pem­bi­caraan hangat pada Per­te­muan KTT Khusus ASEAN-Aus­tralia beberapa waktu lalu. KTT itu sen­diri berakhir sangat nor­matif, tidak ada hal yang luar biasa.

Hal itu dapat dipahami me­ngingat dari aspek per­da­gangan internasional, per­da­ga­ngan ASEAN dan Australia tidak begitu besar, jauh di atas negara lain semisal Korea Se­latan. Akan tetapi, dari aspek ge­op­olitik dan geostrategis, posisi Australia cukup strategis bagi ASEAN. Australia merupa­kan negara tetangga ASEAN.
Pertemuan KTT Khusus ASEAN-Australia sebenarnya sangat strategis bagi kedua re­gion. Terutama menyangkut eko­nomi politik internasional dan perdagangan. Semakin kuat­­nya hubungan Australia dan ASEAN akan menjadi pe­nyeimbang (balancer) dari se­makin meningkatnya pengaruh China di ASEAN melalui skema kerja sama perdagangan maupun pembiayaan pem­ba­ngun­an yang masif.

Arsitektur Regional Com­pre­hensive Economic Partnership  (RCEP) juga tak kalah strategis. RCEP yang setara dengan 39 GDP global akan menjadi blok da­gang dengan pasar yang sa­ngat besar, terutama bagi Aus­tra­lia dan ASEAN. Apalagi de­ngan per­tum­buhan eko­no­mi ASEAN yang terus me­nin­g­kat di atas pertumbuhan eko­nomi global.

Sayangnya sampai gelaran KTT Khusus ASEAN-Australia usai, tidak ada kesepakatan “luar biasa” yang tercapai. Se­jauh ini memang kerja sama mul­tilateral yang diprakarsai ASEAN ber­jalan cukup nor­matif, tidak ada gebrakan-ge­brakan penting.

Sumber masalahnya ada pada lingkup internal ASEAN yang memegang teguh non-interference principle :  di satu sisi memberikan harmoni dan sa­ling toleran atas sikap setiap ang­gota, di sisi lain setiap ne­gara masih bersikap self help  de­ngan mementingkan kepen­ti­ngan nasional masing-masing. Situasi paling nyata adalah ke­tika negara ASEAN tidak ko­m­p­ak dalam merespons sikap Chi­na di Laut China Selatan.

Di luar pertemuan ASEAN dan Australia, pertemuan In­do­­nesia dan Australia menurut penulis jauh lebih strategis. Agenda utama Indonesia Aus­tralia Comprehensive Economic Par­tnership Agreement  (IA-CEPA) sangat mendesak untuk segera diselesaikan.

Faktanya perdagangan In­do­nesia-Australia masih sangat ren­dah. Australia ada di pe­ring­kat ke-10 mitra dagang Indo­nesia de­ngan proporsi 2,6% dari total eks­por, jauh di bawah India (8.1%) dan Korea Selatan (5.3%). Situasi ini jelas tidak menguntungkan kedua negara mengingat saling ber­ba­tasan serta memiliki pasar domestik yang relatif besar.

Di tengah gelombang pro­tek­sionisme global, perjanjian per­da­gangan bebas bilateral men­ja­di secercah harapan. Se­lesainya kesepakatan IA-CEPA akan men­jadi harapan pintu masuk pe­ne­trasi pasar kedua negara dan mem­perbesar vo­lu­me perda­ga­ng­an. Apalagi be­sar­nya ambisi Jo­kowi di 2018 dengan target pertumbuhan ekonomi 5,4% yang terlampau optimistis mem­butuhkan ki­nerja ekonomi in­ter­nasional yang extra-ordinary,  salah sa­tu­nya dengan mem­per­cepat se­mua perundingan blok dagang semisal IA-CEPA.

Political gimmick Presiden Jokowi dengan ide Australia bergabung dengan ASEAN dan sambutan positif Perdana Menteri Malcom Turnbull de­ngan berbalas pujian kepada Pre­siden Jokowi sebenarnya menjadi pertanda baik proses penyelesaian perundingan IA-CEPA. Apalagi dengan adanya Peraturan Presiden (Perpres) No 82 Tahun 2017 tentang Tim Perunding Perjanjian Per­da­gangan Internasional yang te­lah diundangkan menjadi pa­yung hukum akselerasi per­cepatan kesepakan perjanjian bilateral IA-CEPA.

Dengan modal politik yang besar, sekarang waktu yang tepat untuk cepat me­nye­le­saikan pe­rundingan IA-CEPA mengingat hubungan Indo­ne­sia-Australia relatif fluktuatif seperti kejadian terakhir be­rupa insiden Pan­ca­sila di­ple­setkan oleh militer Australia yang berujung pada peng­hen­tian sementara kerja sama militer dan pertahanan de­ngan Australian Defence Force (ADF).

Selain aspek perundingan kerja sama blok dagang, pro­posal arsitektur regional Indo-Pasifik dengan konsepsi re­gio­nal yang melingkupi Samudra Hindia dan Samudra Pasifik akan sangat menguntungkan In­donesia dan Australia. Khu­sus untuk Indonesia, dengan profil kekuatan militer sebagaimana menurut Global Fire Index 2017, merupakan negara terbesar di ASEAN. Begitu juga dengan kekuatan ekonomi, jum­lah populasi, serta besaran wilayah, Indonesia merupakan negara terbesar di ASEAN.

Arsitektur Indo-Pasifik men­jadi sangat strategis bagi In­donesia. Kekuatan yang re­latif besar bagi Indonesia de­ngan atau tanpa ASEAN untuk menjadi aktor yang sentral dalam arsitektur Indo-Pasifik ka­rena secara geopolitik In­do­nesia memiliki empat choke points  atau titik sempit yang merupakan jalur perdagangan dunia yang mau tidak mau harus dilewati. Keempat choke points  itu adalah Selat Malaka, Selat Sunda, Selat Lombok, dan Selat Makasar.

Alfred Thayer Mahan dalam The Influence of Seapower Upon History, 1660-1783,  ber­ar­gu­men bahwa penguasaan lautan lebih penting daripada pe­ngua­saan daratan. Mahan percaya bahwa negara yang menguasai lautan, terutama jalur laut stra­tegis, akan menjadi negara penguasa dunia (great power). Meskipun demikian In­do­nesia dan ASEAN dengan In­do­nesia sebagai pemimpin (In­do­nesia led-ASEAN ) dapat menjadi kekuatan yang jauh lebih besar dalam arsitektur Indo-Pasifik, baik dari sektor ke­amanan maupun ekonomi.

Dengan demikian, seti­dak­nya tiga agenda strategis RCEP, IA-CEPA, dan Arsitektur Indo-Pasifik mendesak untuk segera diselesaikan. Jangan sampai momentum yang bagus berakhir dengan bussines as usual. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar