Mitigasi
Gempa, Sudahkah Jakarta?
Ridho Marpaung ; Praktisi Riset Iklan Adstensity
|
KORAN
SINDO, 28 Maret 2018
Awal Maret 2018 masyarakat luas,
khususnya warga Jakarta, ramai membahas tentang informasi potensi gempa bumi
megathrust magnitudo dari skala 6 hingga 8,7 di Selatan Jawa yang
guncangannya bisa merusak Jakarta.
Topik pembicaraan ini berkembang
dari hasil diskusi acara Sarasehan Ikatan Alumni Akademi Meteorologi dan
Geofisika (Ikamega) yang bertajuk "Gempa Bumi Megathrust Magnitudo 8,7,
Siapkah Jakarta?" pada Kamis (1/3/2018). Kehebohan ini mengemuka tentu
karena Jakarta merupakan sentral aktivitas dari berbagai bidang di Indonesia,
mulai dari pusat pemerintahan, perdagangan dan keuangan, dan masih banyak
lainnya.
Meski demikian, sudah hampir satu
bulan dari acara diskusi tersebut, namun hingga saat ini belum ada
sosialisasi dan tindak lanjut secara terintegrasi, konkret dan menyeluruh
dari para pemangku kepentingan dalam menyikapi hasil diskusi tersebut.
Sejarah mencatat beberapa gempa besar pernah mengguncang Jakarta.
Pertama, gempa yang terjadi pada 5
Januari 1699 yang dipicu oleh letusan Gunung Salak yang merenggut setidaknya
28 orang meninggal, 21 rumah, dan 29 lumbung hancur di Batavia (nama Jakarta
kala itu).
Yang kedua pada 10 Oktober 1834,
gempa tidak memakan korban jiwa, namun membuat kerusakan cukup besar pada
rumah-rumah dan gedung-gedung di Batavia. Peristiwa ketiga pada 2 September
2009, gempa 7,3 Skala Richter mengguncang Tasikmalaya dan getarannya sampai
Jakarta mengakibatkan setidaknya 27 orang cedera di Jakarta.
Mitigasi
Gempa
Dengan merujuk pada sejarah dan
juga peringatan dari para ahli dan peneliti termasuk BMKG, maka sudah
semestinya pemerintah pusat dan Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta
serius memperhatikan mitigasi gempa. Pemerintah pusat sebenarnya telah
memiliki dokumen Peta Sumber dan Bahaya Gempa Indonesia yang dikeluarkan oleh
Pusat Studi Gempa Nasional (Pus-GeN) di bawah koordinasi Kementerian
Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (Kementerian PUPR). Terakhir, dokumen
peta bahaya gempa Indonesia dikeluarkan adalah per tahun 2017.
Meski demikian, pemerintah pusat
dan Pemprov DKI Jakarta juga perlu "menggandeng" para ahli dan
peneliti di bidangnya untuk memastikan dokumen peta tersebut sudah cukup
mendetail, sehingga pemerintah dan masyarakat memiliki gambaran yang jelas
tentang potensi risiko yang ada.
Pemetaan dan kajian yang sudah
jelas tentu akan membantu pemerintah dan pemilik bangunan serta kontraktor
dalam mengenal area tempat bangunan berada. Hal ini juga tentunya akan
meningkatkan kesadaran untuk mitigasi. Sosialisasi terhadap hasil kajian penting
disampaikan kepada mas yarakat sehingga masyarakat mempunyai pengetahuan yang
ideal terhadap kondisi daerahnya.
Urgensi
Audit Bangunan
Ada dua hal dari sudut pandang
penulis selaku praktisi riset iklan yang perlu juga diperhatikan terkait
mitigasi gempa ini. Pertama, urgensi memastikan audit bangunan di Ibu Kota
telah efektif berjalan yang disertai penegakan aturan tentang kewajiban audit
setiap lima tahun sekali untuk memperbarui sertifikat laik fungsi (SLF).
Aturan audit bangunan di antaranya
telah mengatur bahwa gedung harus tahan gempa sebagaimana diatur dalam
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36/2005 tentang Peraturan Pelaksanaan
Undang-Undang (UU) Nomor 28/2002 tentang Bangunan Gedung.
Dalam hal ini pengawasan audit
bangunan mesti dilengkapi pelaksanaan sanksi tegas. Juga perlu diberikan bagi
pemilik bangunan yang tidak memiliki atau tidak melakukan audit berkala
setiap lima tahun. Karenanya, iklan layanan masyarakat melalui media massa
dan media sosial untuk mengomunikasikan audit bangunan ini perlu digencarkan
dan menjadi sebuah kesadaran bagi para pelaku usaha dan pemilik bangunan
serta penyewa bangunan.
Iklan layanan masyarakat itu juga
bisa menyampaikan tentang ke sadaran akan pentingnya audit bangunan tersebut
bagi keselamatan jiwa. Peringatan tentang sanksi bagi yang melanggar aturan
audit juga bisa terus disosialisasikan. Beberapa sanksi berat yang diatur
mengenai bangunan di antaranya diatur dalam Pasal 46 ayat 2 dan 3 UU Nomor
28/2002 tentang Bangunan Gedung.
Ayat 2 mengatur bahwa setiap
pemilik dan/atau pengguna bangunan gedung yang tidak memenuhi ketentuan dalam
undang-undang ini diancam dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun
dan/atau denda paling banyak 15% dari nilai bangunan gedung, jika karenanya
mengakibatkan kecelakaan bagi orang lain yang mengakibatkan cacat seumur hidup.
Adapun ayat 3 menyebut, setiap
pemilik dan/atau pengguna bangunan gedung yang tidak memenuhi ketentuan dalam
undang-undang ini diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun
dan/atau denda paling banyak 20% dari nilai bangunan gedung, jika karenanya
mengakibatkan hilangnya nyawa orang lain.
Kita perlu belajar dari peristiwa
ambruknya selasar di Lantai Mezzanine Tower I Gedung Bursa Efek Indonesia
(BEI) pada 15 Januari 2018. Peristiwa tersebut mengakibatkan sekitar 77
korban luka-luka berat hingga ringan. Pengusutan terhadap penyebab pasti
peristiwa ini, termasuk apakah ada unsur kelalaian, hingga kini belum jelas.
Data dari Dinas Penanaman Modal
dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PM-PTSP) Provinsi DKI Jakarta mencatat ada
800 gedung dengan tinggi lebih dari delapan lantai di Jakarta, dengan
spesifikasi bangunan di mana penerbitan SLF-nya berada di PM-PTSP (Tirto.id ,
18 Januari 2018).
Kedua, pemerintah pusat dan
Pemprov DKI Jakarta perlu memikirkan antisipasi terhadap potensi dampak gempa
dalam hal terjadi kerusakan besar di Jakarta.
Langkah-langkah opsi darurat perlu
dimiliki, mengingat keberadaan Jakarta yang, setidaknya menjadi pusat
pemerintahan dan sekaligus ekonomi di Indonesia. Antisipasi terhadap
kerusakan infrastruktur, seperti listrik dan telekomunikasi, termasuk
internet, juga perlu diperhatikan. Karenanya, pemerintah perlu memastikan
sudah adanya standard operating procedure (SOP) dalam kondisi gempa di
Jakarta.
SOP ini perlu dibuat oleh para
pihak-pihak terkait sehingga potensi risiko gempa yang ada setidaknya sudah
ada antisipasi dan standar langkah-langkah darurat yang akan dilakukan. SOP
mitigasi bencana, termasuk gempa, mutlak perlu dimiliki oleh Jakarta, bahkan
juga oleh daerah-daerah lain.
Kita memang tidak mengharapkan
bencana tersebut terjadi, meski demikian kita juga perlu mendengarkan masukan
dari para pakar juga peneliti dan "menggandeng" mereka dalam
menyiapkan program mitigasi terhadap potensi risiko yang ada. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar