Demokrasi
Jangan Tabrak Nomokrasi
Moh Mahfud MD ; Ketua Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum
Administrasi Negara (APHTN-HAN); Ketua MK (2008-2013)
|
KORAN
SINDO, 24 Maret 2018
“Apa
dasarnya, orang yang sudah memenuhi syarat untuk dijadikan tersangka, kok,
harus ditunda sampai selesai pilkada?”
ITULAH pertanyaan yang
disodorkan beberapa orang Indonesia dalam kunjungan saya ke Taipei, Taiwan,
sejak Jumat (16/3/2018) pekan lalu. Memang, permintaan Menko Polhukam Wiranto
yang kemudian diluruskan menjadi “imbauan” kepada penegak hukum (terutama
Komisi Pemberantasan Korupsi/KPK) agar menunda penetapan calon kepala daerah
(cakada) untuk disidik (dijadikan tersangka) mengagetkan. Bukan hanya bagi
kita yang tinggal di Indonesia, tetapi juga bagi WNI yang ada di mancanegara.
Itu bisa dilihat dari
reaksi keras yang langsung menggema di mana-mana. Perbincangan di
kampus-kampus dan di kedai-kedai banyak mengupas hal tersebut sebagai hal
yang serius. Televisi-televisi membedahnya melalui dialog interaktif, media
konvensional maupun online terus mendiskusikannya sampai sekarang.
Masa, sih, penersangkaan
atas terjadinya pelanggaran hukum, tepatnya dugaan dilakukannya korupsi, oleh
seorang cakada yang sedang berkontestasi dalam pemilihan kepala daerah
(pilkada) harus ditunda sampai selesainya pilkada? Dalam pandangan hukum,
secara prinsip, hal itu sangat tidak dibolehkan.
Saduran adagiumnya, “kebenaran, hukum, dan keadilan harus
secepatnya ditegakkan meskipun besok pagi langit akan runtuh”. Apalagi
hanya karena pilkada yang pemungutan suaranya masih akan berlangsung pada 27
Juni 2018, hampir empat bulan lagi, itu.
Harus diingat bahwa
Indonesia memang merupakan negara demokrasi (berkedaulatan rakyat) dan
pilkada adalah salah satu cara untuk melaksanakan demokrasi tersebut. Tapi
harus diingat pula bahwa Indonesia adalah negara nomokrasi (berkedaulatan
hukum) yang meniscayakan hukum mengawal dan meluruskan secara seketika
pelaksanaan demokrasi dan penyelenggaraan negara pada umumnya.
Pasal 1 ayat (2) UUD 1945
menegaskan bahwa “kedaulatan berada di
tangan rakyat” (demokrasi), tetapi dalam satu tarikan napas frasa itu
langsung disambung dengan frasa “dan dilaksanakan menurut Undang-Undang
Dasar” (nomokrasi). Bahkan posisi hukum yang seperti itu dikuatkan lagi di
dalam Pasal 1 aya t (3) yang menegaskan, “Indonesia adalah negara hukum” yang
berarti negara menomorsatukan supremasi hukum. Jadi prinsip demokrasi dan
nomokrasi harus ditegakkan seperti dua sisi dari sekeping mata uang, keduanya
sama penting.
Ada adagium, “demokrasi tanpa hukum bisa liar dan
menimbulkan anarki, sedangkan hukum tanpa demokrasi bisa zalim serta
sewenang-wenang”. Makna dari adagium itu, demokrasi harus senantiasa dikawal
oleh hukum agar berjalan tertib dan tidak menimbulkan kekacauan atau
anarkistis karena semuanya bisa bertindak sendiri-sendiri berdasar
kekuatannya.
Namun hukum pun harus
dibuat secara demokratis agar dapat menampung dan mencerminkan aspirasi masyarakat
dalam memberikan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia pada umumnya dan
hak-hak warga negara pada khususnya. Dalam hubungan antara demokrasi dan
hukum yang seperti itulah, dari perspektif politik hukum, didalilkan bahwa
hukum dibuat secara demokratis melalui proses-proses politik, tetapi kemudian
politik harus tunduk pada hukum, politik tidak boleh mengintervensi hukum.
Berdasar konsep dasar yang
seperti itu, di dalam struktur ketatanegaraan kita dibentuk lembaga-lembaga
demokrasi dan lembaga-lembaga nomokrasi. Lembaga demokrasi seperti DPR dan
Presiden bertugas, antara lain, menampung aspirasi rakyat untuk membentuk
hukum, sedangkan lembaga nomokrasi, yakni Mahkamah Agung (MA) dan Mahkamah
Konstitusi (MK), mengawal penegakan hukum itu terhadap siapa pun, termasuk
terhadap pemerintah sekalipun.
Jika ada kontes politik
untuk melaksanakan demokrasi yang kemudian ternyata melanggar hukum (misalnya
kecurangan yang signifikan), nomokrasi harus beraksi untuk meluruskannya.
Nomokrasi harus ditegakkan tanpa harus menunggu selesainya satu agenda
politik.
Kita memahami permintaan
Menko Polhukam itu bertujuan baik, yakni agar pilkada yang memang rawan
konflik tidak menjadi kisruh karena ada cakada yang sedang bertarung
dijadikan tersangka. Di dalam hukum memang ada asas oportunitas (kemanfaatan)
yang memungkinkan hukum tidak dilaksanakan demi kemanfaatan umum. Gustav
Radburg, misalnya, menyebut adanya tiga asas yang juga jadi tujuan hukum,
yakni kepastian, keadilan, dan kemanfaatan.
Untuk tujuan kemanfaatan,
hukum tidak harus ditegakkan secara apa adanya jika tidak bermanfaat, apalagi
sampai membahayakan kelangsungan negara. Tapi dalam konteks yang dikemukakan
Menko Polhukam itu, masalahnya mana yang lebih bermanfaat antara menjadikan
tersangka atau menundanya sampai selesai pilkada bagi cakada yang sudah
memenuhi syarat untuk dipersangkakan?
Public common sense (akal
sehat publik) lebih cenderung mengatakan bahwa justru akan lebih bermanfaat
bagi bangsa dan negara ini jika cakada yang memenuhi syarat hukum untuk
ditersangkakan segera dijadikan tersangka. Itulah sebabnya banyak yang
memprotes dan mempertanyakan pernyataan Menko Polhukam itu.
Untungnya Pak Wiranto
segera meluruskan bahwa apa yang disampaikannya itu bukanlah intervensi,
melainkan sekadar imbauan. “Kalau imbauan itu tidak mau diikuti, ya, tidak
apa-apa,” kata Pak Wiranto.
Nah, tinggallah kini KPK
merasa rikuh atau tidak untuk tidak mengikuti imbauan seperti itu. Supremasi
hukum itu menghendaki ketegasan penindakan, tidak boleh dipengaruhi oleh
kerikuhan atau dipengaruhi politik, dan harus ditegakkan meskipun bumi dan
langit sedang bergemuruh. Pokoknya demokrasi tidak boleh menabrak nomokrasi
dan keduanya harus bersinergi membangun NKRI. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar