Literasi
Politik Generasi Milenial
Muhammadun ; Pengajar STAI Sunan Pandanaran
Yogyakarta
|
KORAN
JAKARTA, 19 Maret 2018
Hasil riset Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta Januari 2018 terkait literatur keislaman mencatat generasi
milenial banyak membaca literatur keislamaan terkait radikalisme. Ini sangat
berbahaya karena mereka juga menyenangi bacaan instan di media sosial dan
online tanpa sikap kritis atau mencari sumber asli.
Dalam riset ini juga dijelaskan literatur
keislaman yang umum diakses generasi milenial bercorak jihad, tahriri,
salafi, tarbawi, dan islamisme popular. Corak ini berpola piramida terbalik.
Artinya, dari atas (puncak) ke bawah semakin banyak peminatnya. Dalam hal
ini, literatur jihad paling sedikit peminatnya, sedangkan islamisme popular
paling banyak diminati.
Prof Noorhaidi Hasan (2018) menegaskan,
literatur jihad menggambarkan dunia kini berada dalam situasi perang sehingga
menekankan keharusan umat Islam mengobarkan jihad. Literatur tahriri
menekankan gagasan revitalisasi khilafah sebagai jalan mengembalikan kejayaan
Islam. Literatur salafi menawarkan landasan klaim identitas dan otentisitas
merujuk langsung sumber-sumber utama Islam. Literatur tarbawi menyebarkan
misi ideologi Ikhwanul Muslimin yang berhasrat mengubah tatanan politik saat
ini.
Sementara itu, literatur islamisme popular
mengusung tema-tema keseharian dan menawarkan berbagai tuntunan praktis dalam
kehidupan yang dikemas dalam fiksi, popular, dan komik. Menurut Dr Suhadi
(2018), generasi milenial berkecenderungan mengonsumsi bacaan instan. Kalau
menginginkan sesuatu, mereka serbacepat dan mudah.
Inilah yang mengantarkan mereka ke
bacaan-bacaan yang tidak mendalam, sebagaimana dalam literatur klasik. Saat
ini, kaum radikal mampu menyajikan bahan bacaan yang mudah dan ringan, sesuai
dengan minta generasi milenial. Walaupun tidak banyak yang membaca literatur
jihadi berbahaya, mereka tetap berbahaya dalam konteks kehidupan berbangsa dan
bernegara di masa depan.
Riset Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga ini
tentu saja berbeda ruang dan waktu dengan kasus cadar yang baru saja terjadi
di UIN Sunan Kalijaga. Kasus cadar serupa juga terjadi di berbagai kampus
Indonesia dan instansi tertentu. Tetapi keduanya saling terkait karena
perempuan yang memakai cadar melihat sebagai keyakinan. Padahal, cadar dalam
perspektif Islam merupakan produk riset, bukan doktrin/keyakinan. Para ulama
pun berbeda pendapat terkait cadar.
Keyakinan mahasiswi bercadar sangat terkait
dengan bacaan. Mereka adalah generasi milenial yang tidak mampu mengakses
sumber ajaran Islam dari kitab-kitab klasik berbahasa Arab dengan kekuatan
sastra tinggi. Akhirnya, mereka mencari jalan pintas, memenuhi semangat
beragama dari sumber bacaan paling mudah didapat.
Tanpa terjebak dalam bahasa “salah” dan
“benar,” cadar mengindikasikan bahwa generasi milenial mempunyai semangat
beragama tinggi, tetapi miskin literatur keislamaan dari sumber primer. Dalam
riset tadi, generasi milenial banyak terjebak dalam bacaan yang condong
kepada jihad dan radikalisme. Ini sangat berbahaya karena mereka berpotensi
menjadi “ledakan politik” yang mambahayakan masa depan NKRI.
Terkait status cadar sendiri, menurut Imam
Nakha’i (2018), mayoritas ulama, kecuali mazhab Syafi’iyyah, berpendapat
mengenakan cadar tidak wajib. Bahkan Ulama Malikiyah berpendapat, pengenaan
cadar bagian dari berlebih-lebihan dalam beragama. Bahkan sebagian mereka
menyatakan bahwa mengenakan cadar justru menimbulkan fitnah, membuat
kekacauan, dan segregasi sosial. Maka, cadar seharusnya ditinggalkan.
Para ulama tampaknya sepakat bahwa wajah
dan telapak tangan perempuan, bukan aurat. Maka, beberapa lembaga yang
melarang cadar karena niqab justru sebagai simbol aliran tertentu dan malah
menimbulkan keresahan, tidaklah bertentangan dengan syariah, sebaliknya,
justru didukung mayoritas ulama.
Terjebak
Dari sini, jelas sekali bahwa cadar
bukanlah soal keyakinan/doktrin. Cadar adalah produk ijtihad para ulama.
Hasilnya tidak menjadi keyakinan umat Islam. Kalau ada umat Islam yang
baru-baru ini meyakininya sebagai keyakinan, menurut Al-Makin (2018), mereka
terjebak dalam gerakan radikalisme yang menggunakan identitas keagamaan
sebagai ideologi politik. Mereka bukannya mau memperjuangkan agama, tapi
menggunakan agama untuk kepentingan politik kekuasaan. Radikalisme pada
ujungnya juga ingin berkuasa, mengambil alih negara.
Makanya, generasi milenial yang begitu
mudah mengakses bacaan instan sangat rentan dengan gerakan radikalisme global.
Mereka ini yang akan menjadi bom waktu dalam gejolak peradaban Islam. Hal ini
terbukti dari berbagai kasus di Timur Tengah.
Karena berangkat dari bacaan instan, riset
Pascasarjana UIN Suka juga mencatat, generasi milenial akan mudah sekali
dibelokkan ideologinya ke arah gerakan radikal. Yang paling memungkinkan
untuk melakukan lewat gerakan politik.
Makanya, Pilkada 2018 dan Pemilu 2019
sangat rentan menjadi dentuman perubahan generasi milenial dari islamisme
populer menuju jihadi. Generai milenial termasuk lumbung suara nasional,
sehingga akan menjadi rebutan peserta pilkada dan Pemilu 2019. Ini sangat
berbahaya karena taruhannya masa depan NKRI.
Inilah tantangan kebangsaan yang harus
menjadi refleksi bersama. Kasus cadar hanya sekelumit dari implikasi
literatur keislaman yang dibaca generasi milenial. Masih banyak kasus lain
yang bisa muncul kapan saja karena literatur keislamaan yang salah dibaca
bisa menghasilkan doktrin ajaran yang sangat mengganggu pola tindakan.
Untuk itu, semua elemen bangsa harus
bersama-sama mengimbangi bacaan instan generasi milenial dengan menghadirkan
pustaka bacaan baru yang kritis dan mendidik. Generasi milenial akan terus
berubah, sehingga bangsa ini harus terus mengaji dan mengevaluasi gerak
langkah dalam menata kebangsaan dan kenegaraan.
Generasi milenial jangan sampai menjadi
benalu bangsa. Mereka potensi membangun Indonesia masa depan. Bacaan kritis
generasi milenial harus diberikan para akademisi secara serius. Menurut Prof
Amin Abdullah (2017), kalau akademisi tidak serius melahirkan bacaan kritis
bagi generasi milenial, masa depan mereka mengkhawatirkan.
Mereka harus tumbuh dalam secara kritis,
agar mampu mencerna setiap persoalan secara komprehensif. Semua akademisi
harus “turun gunung” secara kompak membangun arus baru yang menyegarkan
generasi milenial.
Kaum akademisi juga harus melakukan
literasi politik bagi generasi milenial untuk melahirkan kecerdasan kaum muda
dalam memahami spektrum dunia politik, khususnya ideologi politik dan
variannya. Dengan demikian, generasi milenial tidak antipolitik, namun tetap
kritis dalam membaca setiap gejolak politik.
Literasi politik harus dikerjakan berbagai
pihak, khususnya akademisi, tokoh agama/masyarakat, dan wakil rakyat. Mereka
yang duduk di kursi kekuasaan juga bertanggung jawab mendidik politik
generasi milenial. Pilkada 2018 jangan sampai menghabiskan energi semata,
tanpa mencerdaskan generasi milenial dalam menyongsong Indonesia masa depan. ●
|
Prediksi Togel Sgp Mbah Bonar 27 Februari 2020 <a href="https://indextogel.org/prediksi-togel/prediksi-togel-sgp-mbah-bonar-27-februari-2020/ > Ayo Pasang Angka Keberuntunganmu hari ini </a> Gabung sekarang dan Dapatkan Potongan Setiap Hari !!!
BalasHapus