Senin, 26 Maret 2018

Ekonomi Indonesia dan Mengelola Risiko Persepsi

Ekonomi Indonesia dan Mengelola Risiko Persepsi
Iman Sugema  ;   Ekonom IPB
                                                     REPUBLIKA, 16 Maret 2018



                                                           
Saya begitu terkejut mendapati bahwa sebuah perusahaan investasi asing di Hong Kong masih kurang mendapatkan informasi yang akurat tentang situasi pembangunan infrastruktur di Indonesia. Ada kesan kita masih biasa-biasa saja seperti yang dulu, alias lamban.

Mereka bilang bahwa Indonesia memiliki rencana yang dahsyat, tetapi masalahnya ada pada tingkatan eksekusi yang banyak terhambat oleh birokrasi di daerah. Selain itu, katanya, peran badan usaha milik negara cenderung bersifat crowding out terhadap swasta serta menimbulkan kenaikan dalam risiko fiskal. Wow, mengapa, ya, pendapat seperti ini masih saja berkembang?

Rasanya kita sudah bekerja sangat maksimal dan serbacepat. Peringkat kemudahan berbisnis juga sudah jauh membaik. Peran swasta dalam pembangunan justru semakin meningkat dan bukannya berkurang. Risiko fiskal juga secara undang-undang tidak bisa meningkat tajam. Risiko fiskal tak jauh berbeda dengan situasi lima atau 10 tahun yang lalu.

Pembangunan infrastruktur kita lakukan dengan kecepatan 10 kali lipat dibanding 10 tahun yang lalu. Silakan diukur dengan kecepatan pembangunan jalan tol, pelabuhan, bandara, dan perumahan bersubsidi. Hanya dalam waktu tiga tahun, panjang jalan tol mengalahkan pembangunan selama 30 tahun.

Jumlah dan luas bandara, pelabuhan, embung, bendungan, dan saluran irigasi juga meningkat secara tajam. Memang selalu ada hambatan dalam pelaksanaan, tetapi pada akhirnya semua diselesaikan secara cepat. Mau pilih yang mana, yang serbacepat atau yang lemot? Tentu saja yang serbacepat, kata mereka.

Perihal yang kedua, yaitu peran swasta yang dipandang semakin menyusut, juga tidaklah benar. Memang perusahaan BUMN lebih banyak memenangkan pengerjaan proyek-proyek infrastruktur. Tetapi, swasta tetap mendapatkan jumlah proyek yang lebih besar.

Itu karena jumlah dana pembangunan menjadi jauh lebih besar. Selain itu, walaupun pemenangnya adalah perusahaan BUMN, swasta mendapatkan porsi yang lebih banyak sebagai subkontraktor dan pemasok bahan bangunan.

Lantas, swasta yang mana yang mendapatkan porsi lebih sedikit? Mereka yang kalah bersaing dalam tender adalah yang dulu dapat fasilitas terlalu enak sehingga tidak sanggup bersaing. Mereka itu sesungguhnya dulu hanya berperan sebagai makelar proyek saja.

Makanya banyak proyek yang mangkrak. Saya tanyakan, Anda mau pilih makelar proyek atau BUMN? Mereka jawab, tentu saja yang penting adalah hasil akhir yang baik. Tidak masalah apakah pemenang tendernya itu BUMN atau perusahaan swasta.

Dalam beberapa bidang, swasta menengah dan kecil tidak bisa digantikan oleh BUMN. Contohnya adalah pembangunan perumahan bersubsidi. Sampai saat ini, pemasok rumah bersubsidi 98 persen adalah swasta. Developer lokal di tingkat kabupaten dan kota merupakan pemain yang paling dominan.

Jangankan BUMN, perusahaan properti besar sekali pun kalah saing dengan mereka. Penjelasannya sederhana saja. Mereka lebih menguasai situasi bisnis, sosial, dan birokrasi lokal. Jadi, mereka bisa bergerak lebih cepat dan dengan biaya yang lebih murah. Bagi mereka, saat ini merupakan periode emas.

Namun, memang untuk perusahaan yang lambat menyesuaikan dengan perubahan orientasi kebijakan, mereka banyak mengeluh dengan menurunnya penjualan rumah nonsubsidi. Itu merupakan masalah pilihan.

Kalau mereka tidak bisa menyesuaikan dengan perubahan maka secara alamiah mereka akan tersisih. Secara agregat, bisnis properti saat ini semakin membaik. Menjadi lebih baik lagi bagi pelaku yang mampu beradaptasi dengan arah perubahan pasar.

Perihal yang ketiga yakni mengenai pengaruh belanja infrastruktur terhadap risiko fiskal juga tak sepenuhnya dimengerti oleh investor luar negeri. Kita berani jamin bahwa beban fiskal tidak bisa naik secara semena-mena.

Undang-undang keuangan negara membatasi defisit fiskal maksimum tiga persen dari PDB. Jadi, sangatlah tidak mungkin ada ledakan beban fiskal. Semuanya bisa terukur dan karena itu menjadi lebih mudah untuk menyiapkan langkah kebijakan secara pre-emptive.

Dalam pengendalian risiko, selama semuanya dibatasi secara terukur, maka berbagai risiko menjadi lebih mudah untuk dikendalikan. Dalam situasi yang normal, hampir tak ada bahaya ledakan beban fiskal.

Tampaknya persepsi risiko memiliki memori yang panjang. Investor masih ketakutan dengan krisis ekonomi pada akhir Orde Baru. Walau kita sudah jauh berbeda, baik dari sisi struktur perekonomian maupun tata kelola pemerintahan, persepsi buruk seperti itu masih tetap membayangi.

Barangkali para dubes harus semakin banyak mengambil peran diplomasi ekonomi dan bisnis untuk meyakinkan bahwa kita sudah jauh berubah. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar