Ekonomi
Indonesia dan Mengelola Risiko Persepsi
Iman Sugema ; Ekonom IPB
|
REPUBLIKA,
16 Maret
2018
Saya begitu terkejut
mendapati bahwa sebuah perusahaan investasi asing di Hong Kong masih kurang
mendapatkan informasi yang akurat tentang situasi pembangunan infrastruktur
di Indonesia. Ada kesan kita masih biasa-biasa saja seperti yang dulu, alias
lamban.
Mereka bilang bahwa
Indonesia memiliki rencana yang dahsyat, tetapi masalahnya ada pada tingkatan
eksekusi yang banyak terhambat oleh birokrasi di daerah. Selain itu, katanya,
peran badan usaha milik negara cenderung bersifat crowding out terhadap
swasta serta menimbulkan kenaikan dalam risiko fiskal. Wow, mengapa, ya,
pendapat seperti ini masih saja berkembang?
Rasanya kita sudah bekerja
sangat maksimal dan serbacepat. Peringkat kemudahan berbisnis juga sudah jauh
membaik. Peran swasta dalam pembangunan justru semakin meningkat dan bukannya
berkurang. Risiko fiskal juga secara undang-undang tidak bisa meningkat
tajam. Risiko fiskal tak jauh berbeda dengan situasi lima atau 10 tahun yang
lalu.
Pembangunan infrastruktur
kita lakukan dengan kecepatan 10 kali lipat dibanding 10 tahun yang lalu.
Silakan diukur dengan kecepatan pembangunan jalan tol, pelabuhan, bandara,
dan perumahan bersubsidi. Hanya dalam waktu tiga tahun, panjang jalan tol
mengalahkan pembangunan selama 30 tahun.
Jumlah dan luas bandara,
pelabuhan, embung, bendungan, dan saluran irigasi juga meningkat secara
tajam. Memang selalu ada hambatan dalam pelaksanaan, tetapi pada akhirnya
semua diselesaikan secara cepat. Mau pilih yang mana, yang serbacepat atau
yang lemot? Tentu saja yang serbacepat, kata mereka.
Perihal yang kedua, yaitu
peran swasta yang dipandang semakin menyusut, juga tidaklah benar. Memang
perusahaan BUMN lebih banyak memenangkan pengerjaan proyek-proyek
infrastruktur. Tetapi, swasta tetap mendapatkan jumlah proyek yang lebih
besar.
Itu karena jumlah dana
pembangunan menjadi jauh lebih besar. Selain itu, walaupun pemenangnya adalah
perusahaan BUMN, swasta mendapatkan porsi yang lebih banyak sebagai
subkontraktor dan pemasok bahan bangunan.
Lantas, swasta yang mana
yang mendapatkan porsi lebih sedikit? Mereka yang kalah bersaing dalam tender
adalah yang dulu dapat fasilitas terlalu enak sehingga tidak sanggup
bersaing. Mereka itu sesungguhnya dulu hanya berperan sebagai makelar proyek
saja.
Makanya banyak proyek yang
mangkrak. Saya tanyakan, Anda mau pilih makelar proyek atau BUMN? Mereka
jawab, tentu saja yang penting adalah hasil akhir yang baik. Tidak masalah
apakah pemenang tendernya itu BUMN atau perusahaan swasta.
Dalam beberapa bidang,
swasta menengah dan kecil tidak bisa digantikan oleh BUMN. Contohnya adalah
pembangunan perumahan bersubsidi. Sampai saat ini, pemasok rumah bersubsidi
98 persen adalah swasta. Developer lokal di tingkat kabupaten dan kota
merupakan pemain yang paling dominan.
Jangankan BUMN, perusahaan
properti besar sekali pun kalah saing dengan mereka. Penjelasannya sederhana
saja. Mereka lebih menguasai situasi bisnis, sosial, dan birokrasi lokal.
Jadi, mereka bisa bergerak lebih cepat dan dengan biaya yang lebih murah.
Bagi mereka, saat ini merupakan periode emas.
Namun, memang untuk
perusahaan yang lambat menyesuaikan dengan perubahan orientasi kebijakan,
mereka banyak mengeluh dengan menurunnya penjualan rumah nonsubsidi. Itu
merupakan masalah pilihan.
Kalau mereka tidak bisa
menyesuaikan dengan perubahan maka secara alamiah mereka akan tersisih.
Secara agregat, bisnis properti saat ini semakin membaik. Menjadi lebih baik
lagi bagi pelaku yang mampu beradaptasi dengan arah perubahan pasar.
Perihal yang ketiga yakni
mengenai pengaruh belanja infrastruktur terhadap risiko fiskal juga tak
sepenuhnya dimengerti oleh investor luar negeri. Kita berani jamin bahwa
beban fiskal tidak bisa naik secara semena-mena.
Undang-undang keuangan
negara membatasi defisit fiskal maksimum tiga persen dari PDB. Jadi,
sangatlah tidak mungkin ada ledakan beban fiskal. Semuanya bisa terukur dan
karena itu menjadi lebih mudah untuk menyiapkan langkah kebijakan secara
pre-emptive.
Dalam pengendalian risiko,
selama semuanya dibatasi secara terukur, maka berbagai risiko menjadi lebih
mudah untuk dikendalikan. Dalam situasi yang normal, hampir tak ada bahaya
ledakan beban fiskal.
Tampaknya persepsi risiko
memiliki memori yang panjang. Investor masih ketakutan dengan krisis ekonomi
pada akhir Orde Baru. Walau kita sudah jauh berbeda, baik dari sisi struktur
perekonomian maupun tata kelola pemerintahan, persepsi buruk seperti itu
masih tetap membayangi.
Barangkali para dubes
harus semakin banyak mengambil peran diplomasi ekonomi dan bisnis untuk
meyakinkan bahwa kita sudah jauh berubah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar