Lanskap
Kampus 4.0
Muhammad Nur Rizal ; Dosen Universitas Gadjah Mada;
Pendiri Gerakan Sekolah
Menyenangkan
|
REPUBLIKA,
27 Maret
2018
Setiap berbicara tentang
pendidikan tinggi di Indonesia, Presiden Jokowi selalu mengingatkan agar
perguruan tinggi tanggap dan gesit mengikuti perubahan yang sangat cepat.
Selain itu, nomenklatur di Kementerian Ristekdikti harus fleksibel sehingga
adaptif terhadap perubahan dunia yang diakibatkan revolusi internet dan
inovasi teknologi, yang dikenal sebagai era revolusi industri 4.0.
Selain lambat, geliat perubahan
kampus masih sebatas prosedural seperti menambah instrumen learning objective
(LO) di kurikulum, fasilitas gedung AC, koneksi internet hingga
penyelenggaraan kompetisi hibah pembelajaran digital. Sayangnya, perubahan
itu tidak diikuti cara berpikir atau
paradigma pendidikan yang baru, kultur atau proses belajarnya masih teacher
centered, serta learning environment yang tidak mendorong kemandirian
mahasiswa memiliki pengalaman belajar sendiri.
Di tengah kunjungan ke kampus
Monash University di Australia, yang didesain dengan gaya modern, green
building, warna-warni, banyak co-working space bagi mahasiswa dan dosen,
serta tata letak kelas terbuka untuk workshop, saya teringat suatu artikel
populer yang ditulis oleh Terry Eagleton berjudul ”The Slow Death of the
University” (2015). Artikel itu mempertanyakan eksistensi perguruan tinggi
jika tidak tanggap menghadapi perubahan yang sangat cepat dan bersifat
disruptif.
Seperti diungkapkan pendidik lain,
Terry berargumen bahwa tujuan perguruan tinggi terlalu berorientasi pada
kebutuhan ekonomis yakni menyiapkan mahasiswa untuk mendapatkan pekerjaan
yang terbaik. Tujuan ini mengakibatkan tradisi belajar serta hubungan dosen
dan mahasiswa sebatas hubungan "manajer" dan "konsumen".
Selain itu, kriteria kesuksesan
dosen terlalu berfokus pada jurnal publikasi riset, dan cenderung menihilkan
esensi pendidikan untuk kemanusiaan dan kehidupan, seaperti yang pernah
diungkapkan oleh Robert Menzies. Bahkan, di Indonesia kualitas pengajaran
akan dikalahkan oleh kebutuhan dosen meng-update berbagai evaluasi seperti
Laporan Kinerja Dosen (LKD), Beban Kinerja Dosen (BKD), dan laporan lainnya
yang berkaitan dengan tunjangan kinerja dosen.
Kondisi ini akan membawa
pendidikan tinggi menuju proses kematiannya karena abai melakukan tugas
utamanya yakni membangun peradaban. Jika tujuan perguruan tinggi sekedar
pintu masuk mahasiswa mencari pekerjaan, tidakkah perusahaan besar seperti
Google, Facebook, Erns & Young mulai menihilkan syarat ijazah untuk
bekerja di tempat mereka?
Lalu, untuk apa kampus Monash
membangun gedung yang begitu mahal dan modern, bukankah menjamurnya platform
pembelajaran digital Massive Open Online Course (MOOC) akan memungkinkan
siapa saja dapat kuliah daring (online) sehingga tidak lagi memerlukan gedung
atau ruangan kuliah baru?
Saya teringat oleh sebuah artikel
yang ditulis Jim Clifton berdasarkan survei yang dilakukan Gallup US yang
menyarankan institusi atau kampus segera mengubah budaya organisasinya agar
tidak ditinggalkan oleh generasi millennial.
Temuan Gallup menyatakan bahwa
generasi millennial akan mendisrupsi tatanan sosial lama di berbagai bidang,
baik kesehatan, bisnis, industri, pertanian, perbankan hingga pendidikan
tinggi. Mereka tidak akan terikat pada sebuah tradisi, institusi bahkan
identitas agama atau politik. Mereka sangat berbeda dalam berkomunikasi,
membangun relasi, bekerja hingga sekolah (kuliah).
Berdasarkan artikel Clifton serta
paparan Prof Clayton dari Harvard University tentang era disrupsi dan
pendidikan masa depan, maka langkah yang dilakukan oleh kampus Monash
sepertinya sebagai upaya untuk berbenah diri agar survive menghadapi
perubahan yang disruptif.
Kampus Monash dengan konsep green
building, open space, inklusivitas, dan fancy adalah bentuk komitmen mereka
dalam menyediakan metode pengajaran dan pembelajaran yang lebih baik serta
adaptif dengan tuntutan perubahan generasi millennial.
Terdapat tiga aspek utama
kebutuhan disain kampus generasi millennial, antara lain pertama, penciptaan
kultur kampus yang positif, kekinian (non-birokratis) serta partisipatif
untuk membantu mengembangkan potensi generasi zaman sekarang.
Kedua, learning environment yang
sesuai untuk pengembangan student centered learning yang mendorong proses
pendampingan oleh dosen, teman atau peer sehingga relasi belajar yang terjadi
akan setara, bukan berdasar perintah.
Ketiga, iklim pembelajaran yang
mengganti sistem penilaian (ujian konvensional) dengan feedback yang
bermanfaat dalam memgembangkan potensi, bukan untuk menakar kelemahan.
Ketiganya tidak dapat terfasilitasi oleh lingkungan kampus dengan seting abad
19 atau abad 20 yang teacher centered.
Penciptaan lingkungan baru yang
dinamis dan interaktif akan merefleksikan perubahan pada paradigma
pendidikan, dimana arsitektur akademiknya memungkinkan mahasiswa memiliki
kebebasan pilihan atas konten kurikulum yang diingininya meskipun dengan
lintas disiplin ilmu.
Hal ini penting karena era
disrupsi mensyaratkan pendidikan tinggi lebih fleksibel dalam sistem
pengajaran dan pembelajaran. Revolusi internet wajib dikelola menjadi
"enabler" percepatan untuk membangun sumber daya manusia yang
kritis, kreatif. Tujuannya agar lubernya informasi dapat dimanfaatkan menjadi
nilai tambah, yang pada gilirannya dapat memecahkan persoalan kemanusiaan
yang semakin kompleks.
Kultur atau ekosistem kampus di
era disrupsi perlu membangun pendekatan "lateral" dimana solusi
atas satu persoalan perlu didekati dengan ragam pendekatan keilmuan. Hal itu memerlukan landskap kampus yang
terintegrasi satu sama lain, mulai dari lingkungan belajar, kurikulum yang
fleksibel, metode pengajaran hingga sistem pengelolaan kampus agar adaptif
terhadap tuntutan perubahan.
Dengan tata ruang terbuka dan
dinamis akan mengubah cara lama dosen mengajar, mahasiswa akan menjadi
desainer atas kurikulum serta proses belajarnya sendiri sehingga
pembelajarannya tidak lagi sebatas prosedural untuk menggugurkan kewajiban
administrasi saja.
Dengan penciptaan tata ruang atau
ekosistem yang fleksibel maka akan dapat mendorong perubahan pada landskap
akademik secara keseluruhan. Dosen akan bergeser peran sebagai fasilitator
atau inspirator, mahasiswa akan tumbuh menjadi pembelajar mandiri, saling
berkolaborasi bukan berkompetisi serta kreatif atau inovatif dalam
menyelesaikan berbagai persoalan.
Dengan lingkungan kampus yang
encouragement akan menjadi sangat relevan bagi generasi milenial, karena
mereka tidak ingin terikat, sebaliknya menginginkan kebebasan untuk meracik
materi hingga metode belajarnya sendiri. Kemandirian ini pada akhirnya dapat
melahirkan pengembangan keilmuan baru yang dibutuhkan di masyarakat
berbasiskan interdisiplin ilmu.
Jika demikian, kekhawatiran Jim
Clifton akan masa suram pendidikan tinggi tidak akan terjadi. Pendidikan
tinggi justru akan menjadi agen utama dalam mengokohkan demokrasi dan
peradaban kemanusiaan di masa depan.
Namun siapkah pemerintah, dunia kampus, dan masyarakat bersinergi
menghindarkan lonceng kematian pendidikan tinggi? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar