Rabu, 28 Maret 2018

Suhu Politik Panas Tinggi: Antara Ngigau, Cincai, dan Cincau

Suhu Politik Panas Tinggi:
Antara Ngigau, Cincai, dan Cincau
M Subhan SD  ;   Wartawan Senior Kompas
                                                        KOMPAS, 27 Maret 2018



                                                           
Panasnya suhu politik sekarang barang kali melampaui panas bara api. Bara api ada kalanya padam, tetapi bara politik di negeri ini sepertinya tak pernah padam. Apalagi tahun 2018 sampai 2019 ini disebut tahun politik. Padahal tahun-tahun yang dianggap bukan tahun politik pun, suhu politik juga bukan main panasnya. Terutama sejak Pilpres 2014, api politik terus-menerus menyala.

Politik lebih didominasi aksi dan relasi negatif: kemarahan, rasa dengki, kebencian, berebut panggung, permusuhan, dan korup. Politik bukan menjadi ruang untuk membangun konsensus dan kesepakatan demi kebaikan masyarakat. Politik serasa berhenti di tingkat elite. Rakyat terbengong-bengong karena mendapatkan getah dari perebutan ”buah” kekuasaan.

Senyampang dengan Pilkada 2018 ini, tensi politik langsung dikejutkan dengan sejumlah politikus cum kepala daerah yang ditangkapi Komisi Pemberantasan Korupsi sejak awal tahun. Meskipun sudah ditakut-takuti dengan adanya KPK dan hukuman penjara, ternyata politikus lebih takut tidak punya uang dan tidak punya kuasa.

Maraknya korupsi disinyalir terkait dengan syahwat kuasa untuk memenangi pilkada. Mereka butuh modal uang untuk mendapatkan kursi kekuasaan (wali kota, bupati, dan gubernur). Maka, banyak di antara mereka gelap mata dan kemaruk. Korupsi membuat suhu politik di negeri ini meninggi.

Suhu politik dipastikan tidak akan kembali normal. Sebab, tahun 2019 adalah hajatan nasional, yaitu Pilpres. Sudah terlihat makin keras rebutan panggung, baik di dunia nyata maupun dunia maya. Nama-nama kandidat presiden semakin santer diungkapkan.

Sang petahana, Presiden Joko Widodo, masih bertengger di posisi teratas yang secara popularitas dan elektabilitasnya paling tinggi. Koalisi pendukung Jokowi pun begitu bongsor. Ada PDI-P, Golkar, Nasdem, PPP, PKB, Hanura, serta dua partai baru, PSI dan Perindo, juga sudah merapat ke Jokowi.

Bahkan Partai Demokrat yang kerap mengukuhkan posisi sebagai ”penyeimbang” juga telah memberikan sinyal bakal merapat ke kubu Jokowi. Dalam Rapimnas Partai Demokrat di Sentul, Bogor, 10 Maret 2018, yang dihadiri Presiden Joko Widodo, Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono berpidato, ”Jika Allah SWT, Tuhan Yang Maha Kuasa menakdirkan, sangat bisa Partai Demokrat berjuang bersama Bapak.”

Namun, belakangan hubungan Demokrat memanas dengan PDI-P, atas pernyataan Sekretaris Jenderal PDI-P Hasto Kristiyanto tentang proyek pengadaan KTP elektronik di era SBY (Partai Demokrat). Hal itu buntut pernyataan terdakwa Setya Novanto di sidang korupsi KTP-el yang menyebut-nyebut nama dua petinggi PDI-P, Puan Maharani dan Pramono Anung.

Rivalitas bebuyutan

Melihat peta dan kekuatan politik ke depan, rival bebuyutan Jokowi, yaitu Prabowo Subianto, Ketua Umum Partai Gerindra, kembali menjadi penantang utama. Kabar yang tersiar, pancalonan Prabowo akan diumumkan pada April mendatang. Kalau dua nama ini kembali bertarung, itu sama saja pertandingan ulang dari laga Pilpres 2014.

Persaingan dua kubu yang saling berhadapan (head to head) meninggalkan luka menganga hingga sekarang. Masyarakat pun terbelah: pendukung dan pembenci. Pendukung di satu kubu berarti pembenci ke kubu lain. Kohesi masyarakat pun renggang. Ini mengancam ketahanan bangsa.

Ketika Presiden Jokowi bertemu Ketua Umum PSI Grace Nathalia dan pimpinan PSI di Istana, 1 Maret lalu, langsung dilaporkan ke Ombudsman RI dengan tudingan penyalahgunaan Istana untuk politik praktis kelompok tertentu.

Namun, laporan itu tak menyurutkan Ketua Umum Partai Perindo Hary Tanoesoedibjo untuk bertemu Presiden Jokowi lima hari kemudian. Sebelumnya juga sudah banyak pimpinan partai politik menemui Presiden Jokowi di Istana, terutama bagi partai politik anggota koalisi pendukung pemerintahan Jokowi-JK.

Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri, Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto (bahkan di masa Setya Novanto), Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar, Ketua Umum PPP Romahurmuziy, Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh, Ketua Umum (saat itu) Partai Hanura Wiranto, Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan, tentu saja bersama-sama jajaran pimpinan partai masing-masing telah berdiskusi di Istana. Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono juga pernah bertemu Presiden Jokowi di Istana.

Bahkan partai-partai bersikap oposan pun juga pernah menemui Jokowi di Istana. Misalnya Presiden PKS Sohibul Iman bersama jajaran pimpinan PKS. Demikian halnya dengan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo yang menemui Jokowi di Istana pada 16 November 2016.

Prabowo membalas kunjungan Jokowi ke rumahnya di Hambalang, Bogor, pada 31 Oktober 2016. Kalau melihat komunikasi dua tokoh ini tampaknya begitu cair, tetapi sayangnya tidak meleleh sampai ke akar rumput. Persaingan dua kubu ini diprediksi akan tetap sengit di Pilpres 2019, semirip Pilpres 2014.

Contohnya saja, ketika ada wacana iseng tentang pasangan Jokowi-Prabowo, langsung disewoti bahwa Prabowo itu adalah calon presiden bukan calon wakil presiden. Memang ada nama-nama lain, tetapi prediksi suaranya masih sangat jauh di posisi bawah, seperti Anies Baswedan (Gubernur DKI Jakarta), Agus Harimurti Yudhoyono (Komandan Tugas Bersama Pemilu 2019 Partai Demokrat yang juga putra sulung presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono), Gatot Nurmantyo (mantan Panglima TNI), Muhaimin Iskandar, dan Zulkifli Hasan. Itu beberapa contoh saja.

Namanya juga digadang-gadangkan, ya boleh-boleh saja. Namun, menjadi presiden dan wapres itu juga ada persyaratannya. Banyak kalangan memandang nama-nama tersebut di atas mungkin lebih pas untuk mengisi kekosongan cawapres.

Perilaku aneh-aneh

Dengan lanskap politik demikian, suhu politik terus meninggi. Jangan harap setahun kemudian akan terjadi hujan yang mendinginkan suasana politik. Kalaupun ada turun hujan, tampaknya akan tidak mampu memadamkan bara api yang menyala-nyala dalam kontestasi pilpres.

Kalau suhu tubuh manusia normal sekitar 36 derajat celsius, barangkali suhu politik sampai tahun depan rata-rata di sekitaran 40 derajat celsius. Dengan suhu setinggi itu, secara medis biasanya bisa mengakibatkan sakit kepala, jantung berdetak cepat, kram otot, atau pingsan. Bahkan jika anak-anak, suhu tubuh yang panas itu sering membuat mereka mengigau.

Pantas saja banyak perilaku aneh-aneh saat suhu politik panas tinggi. Mungkin karena suhu politik panas tinggi jangan-jangan banyak politikus yang sakit kepala, kram, atau mengigau. Banyak omongan yang ngalor-ngidul dan suka memanas-manasi, kerap menyalahkan, menebar kebencian, fitnah, tak sedikit perilaku yang kurang sedap dipandang mata, bahkan membuat sebal.

Tak sedikit perbuatan tercela menghalalkan segala cara demi merebut kekuasaan. Korupsi bukan ditolak mentah-mentah, melainkan dicari cara diakali agar tak terendus KPK. Banyak urusan yang bisa diatur-atur saja. Dalam pergaulan dikenal istilah ”cincai”. Istilah yang bermakna fleksibel dan maklum itu justru makin berkembang negatif artinya.

Barangkali semacam ”politik cincai”. Banyak politikus dan pejabat yang cincai bagi-bagi proyek-proyek pembangunan sehingga sama-sama dikorupsi. Bertahun-tahun korupsi memanaskan suhu politik di negeri ini. Politik cincai itu juga berarti ”saling kedip mata” antar-politikus demi kekuasaan, bukan demi kemaslahatan rakyat.

Dalam situasi suhu politik panas tinggi ini barangkali perlu membangun suasana yang dapat mendinginkan suhu politik. Jadi, teringat pohon cincau hijau (Cyclea barbata). Daunnya dapat dibuat gel yang diminum segar dengan es. Kabarnya cincau berkhasiat banyak, mulai bikin adem suhu tubuh hingga mencegah hipertensi.

Cincau  merupakan minuman penyegar, juga memiliki efek penyejuk dan peluruh. Menjadi penyejuk dalam suhu politik yang panas tinggi. Juga menjadi peluruh sehingga membuat segala kebusukan yang ada di dalam pikiran dan hati dimuntahkan agar bersih kembali.

Barangkali karena fungsi mengademkan itu, sempat-sempatnya calon gubernur Jawa Timur yang juga mantan Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa membeli es cincau saat blusukan di Pasar Sumberejo, Kabupaten Bojonegoro, pada 27 Februari lalu. Agus Harimurti Yudhoyono, ketika menjadi calon gubernur DKI Jakarta, juga pernah berdialog dengan produsen cincau saat kampanye di Cipinang Besar Selatan, Jakarta Timur, 18 Januari 2017.

Mungkin itu semacam metafora saja. Dalam suhu panas tinggi ini, jauhkan cincai, perbanyak konsumsi cincau. Maksudnya lebih banyak mendinginkan hati dan menjernihkan pikiran agar suhu politik tidak terus meninggi yang dapat membuat banyak pihak mengigau terus-menerus. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar