Sabtu, 31 Maret 2018

Menimbang Grasi Abu Bakar Ba'asyir

Menimbang Grasi Abu Bakar Ba'asyir
Mei Susanto  ;   Peneliti Pusat Studi Kebijakan Negara (PSKN); 
Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Unpad-Bandung
                                                    DETIKNEWS, 13 Maret 2018



                                                           
Usul Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Maruf Amin kepada Presiden Joko Widodo untuk memberikan grasi kepada Abu Bakar Ba'asyir patut untuk diapresiasi. Apalagi, kemudian Presiden Jokowi meresponsnya secara positif dan siap memberikannya.

Alasan kemanusiaan karena usia yang sudah sepuh (80 tahun) dan kondisi kesehatan dapat menjadi dasar untuk memberikan grasi kepada Abu Bakar Ba'asyir. Namun demikian, ada juga yang menolaknya karena alasan tindak pidana yang dijatuhkan kepada Abu Bakar Ba'asyir termasuk kejahatan luar biasa yaitu tindak pidana terorisme. Karenanya, perlu pertimbangan dan rasionalitas yang matang terhadap wacana pemberian grasi tersebut.

Hak Prerogatif

Dalam ketatanegaraan Indonesia, grasi merupakan salah satu kewenangan istimewa yang dimiliki oleh presiden. Hal tersebut diatur dalam UUD 1945 Pasal 14 ayat (1): "Presiden memberi grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung."

Mengapa disebut istimewa? Karena presiden sebagai sebuah jabatan kepala negara, diberikan hak untuk memberikan "pengampunan terhadap warga negara yang telah terbukti bersalah berdasarkan vonis hakim yang berkekuatan hukum tetap." Itu artinya, presiden seolah-olah dapat mengubah sebuah putusan institusi lain (baca pengadilan). Padahal idealnya setiap institusi diwajibkan menghormati dan menghargai institusi lainnya. Di sinilah istimewanya grasi yang dimiliki presiden.

Ia bukan merupakan bentuk campur tangan apalagi intervensi kepada institusi kekuasaan kehakiman. Karena itu dalam logika grasi, penerima dianggap mengakui dan menerima vonis hakim yang menyatakannya bersalah, dan kemudian mengajukan permohonan pengampunan kepada presiden. Hal ini berbeda dengan instrumen upaya hukum seperti kasasi maupun peninjauan kembali (PK), di mana yang bersangkutan menganggap dirinya tidak bersalah.

Selain itu, keistimewaan grasi adalah karena tidak ada lembaga negara lain yang berhak memberikan pengampunan kecuali presiden. Pengampunan tersebut dapat berupa peringanan atau perubahan jenis pidana, pengurangan jumlah pidana, atau penghapusan pelaksanaan pidana.

Bahkan apabila merujuk pada model ketatanegaraan Inggris, grasi merupakan bagian dari hak prerogatif yang sengaja disisakan untuk Raja/Ratu Inggris (Dicey 1915). Ia disebut sebagai "the royal prerogatif of pardon". Sementara di Amerika disebut sebagai "the pardoning power" sebagai salah satu kekuasaan Presiden.

Walaupun sebenarnya dalam ketatanegaraan Indonesia tidak mengenal hak prerogatif sebagaimana disebutkan Bagir Manan (1999), melainkan disebut sebagai hak konstitusional karena terdapat dalam UUD 1945, namun pemberian grasi memiliki kesamaan karakter dengan kekuasaan prerogatif. Karena itu banyak yang menyebut grasi sebagi bagian dari hak prerogatif presiden.

Karena memiliki karakter prerogatif, maka pemberian grasi lebih kuat muatan diskresionalnya. Pakar ketatanegaraan Inggris, John Locke menyebutnya sebagai kekuasaan tanpa hukum untuk kebaikan publik --"prerogative is the power of doing public good without a rule." Sebab itu, Locke menyebut prerogatif sangat bergantung pada kebijaksanaan raja --"wisdom and goodness and wise of princes." (Locke, 1823).

Sifat diskresional dan terlalu mengandalkan kebijakasanaan raja inilah yang membuat hak prerogatif dapat saja disalahgunakan. Bahkan Leu Sueur-Herbeg menyebut prerogatif dapat membahayakan dan tidak demokratis (undemocratic and potentially dangerous). Karena itu, salah satu cara mengurangi sifat negatif tersebut adalah dengan dibatasi dengan cara dialihkan dalam undang-undang, kemungkinan diuji melalui peradilan, atau dibatasi dengan kekuasaan lain misalnya dengan pertimbangan menteri.

Dalam konteks ketatanegaraan Indonesia, secara sadar grasi sebagai kekuasaan prerogatif telah dibatasi dengan cara diatur dalam UUD 1945 dan undang-undang, serta harus dengan pertimbangan Mahkamah Agung.

Pertanyaannya, apakah pemberian grasi kepada Abu Bakar Ba'asyir dapat dikatakan undemocratic and potentially dangerous? Hal tersebut tentunya dapat dilihat dari alasan yang diberikan, yaitu usia Abu Bakar Ba'asyir yang sudah tua dan sakit-sakitan. Ini adalah alasan kemanusiaan. Jika Antasari Azhar saja dikasih grasi karena alasan kesehatan, maka alasan yang sama seharusnya dapat juga digunakan bagi Abu Bakar Ba'asyir. Karena itu, sangat tidak layak jika disebut sebagai undemocratic and potential dangerous.

Hal yang berbeda saat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memberikan grasi kepada terpidana narkotika Corby, di mana Indonesia dalam kondisi darurat narkoba, namun seorang terpidana narkoba, warga negara asing pula, justru diberikan grasi. Atau, juga pemberian grasi oleh Presiden Jokowi bagi Dwi Trisna Firmansyah, terpidana mati karena melakukan pembunuhan sadis yang kemudian diubah menjadi pidana seumur hidup.

Selain alasan tersebut, patut juga dilihat pertimbangan dari Mahkamah Agung. Karena secara konstitusional hal tersebut merupakan kewajiban sebagai salah satu kesadaran agar pemberian grasi tidak sewenang-wenang. Patut pula diingat, pemberian grasi tidak mengenal jenis tindak pidana. Karena itu, walaupun pidana yang dijatuhkan pada Abu Bakar Ba'asyir adalah dalam tindak pidana terorisme, hal tersebut tidak menghalangi yang bersangkutan memperoleh haknya mendapatkan grasi.

Jika Menolak

Yang menjadi persoalan adalah apabila Abu Bakar Ba'asyir menolak mengajukan grasi, dengan alasan karena itu artinya sebuah pengakuan akan kejahatan yang menurutnya tidak dia lakukan. Hal tersebut seperti yang dikonfirmasi kuasa hukumnya.

Sesuai aturan main dalam Pasal 6 UU No. 22 Tahun 2002 tentang Grasi, maka grasi dapat diajukan oleh terpidana atau kuasa hukumnya, bahkan oleh keluarganya dengan syarat adanya persetujuan dari terpidana. Khusus untuk terpidana mati, maka permohonan tersebut dapat diajukan keluarga tanpa persetujuan terpidana. Dalam kasus Abu Bakar Ba'asyir, maka hal tersebut tidak dapat dilakukan, karena bukan pidana mati melainkan pidana penjara 15 tahun. Hal ini menjadi persoalan tersendiri.

Artinya, tanpa persetujuan Abu Bakar Ba'asyir, maka rencana pemberian grasi oleh Presiden Jokowi akan sulit terwujud. Abu Bakar Ba'asyir sendiri memilih untuk menjadi tahanan rumah. Hal yang kemudian juga mendapat respons positif dari pemerintah melalui Menteri Pertahanan Ryamizard. Walaupun UU Pemasyarakatan tidak mengenal tahanan rumah, melainkan asimilasi, bebas bersyarat, ataupun cuti menjelang bebas, namun dengan alasan kemanusiaan --khususnya pertimbangan usia dan kesehatan-- maka hal tersebut menjadi pilihan logis yang dapat diberikan kepada Abu Bakar Ba'asyir.

Membiarkan orang usia tua dalam penjara yang ketat sama saja dengan melakukan elder abuse atau kekerasan terhadap lansia. Dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang saat ini sedang dibahas di DPR, konsep yang mirip telah dimuat dalam Pasal 72 dengan menyebut "pidana penjara sejauh mungkin tidak dijatuhkan salah satunya karena terdakwa berusia di atas 70 tahun."

Jika ini menjadi kebijakan, maka dapat menjadi pelajaran berharga khususnya terpidana yang sudah usia lanjut (di atas 70 tahun) dan sakit-sakitan dapat mengajukan upaya yang sama. Dengan demikian, selain menunjukkan sisi humanisme Indonesia, sekaligus juga dapat mengurangi beban over kapasitas lembaga pemasyarakatan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar