Larangan
Bercadar
Tauchid Komara Yuda ; Asosiasi Peneliti di Institute for
Democracy and Welfarerism (IDW); Alumnus Fisipol UGM
|
REPUBLIKA,
09 Maret
2018
Universitas Islam Negeri (UIN)
Sunan Kalijaga (Suka) Yogyakarta menjadi sorotan publik karena kebijakan
kontroversialnya yang melarang mahasiswinya bercadar dalam kampus. Pihak
kampus beralasan, kebijakan ini merupakan bagian dari komitmen kampus untuk
mendorong pemahaman Islam moderat yang sesuai dengan nilai-nilai kebangsaan,
sekaligus upaya preventif terhadap adanya indikasi gejala peningkatan
radikalisme.
Bahkan, pihak kampus juga
mengimbau kepada mahasiswinya untuk segera mengundurkan diri apabila enggan
melepas cadar saat beraktivitas di kampus.
Alih-alih meredam paham
radikalisme, kebijakan semacam ini justru berpotensi meningkatkan tensi
radikalisme itu sendiri. Pasalnya, dengan memberi label cadar sebagai ajaran
radikalisme, itu sama halnya telah menyuboordinasikan, mereka yang
menggunakan cadar sebagai wujud perpanjangan keyakinan (akidah).
Dalam teori labelling, tindakan
seperti itu akan mengakibatkan individu bersangkutan melihat dirinya sendiri
sebagai the others, yang membuatnya perlahan-perlahan berperan dan berperilaku
identik dengan label tersebut.
Misalnya, menghindar dan tidak
percaya diri berkomunikasi dengan orang di sekitarnya. Jika sudah sampai fase
ini, lama kelamaan mereka akan diperlakukan berbeda dan penuh kecurigaan oleh
orang sekitarnya, selanjutnya tereksklusi dari pergaulan sehari-hari, bahkan
terputus akses terhadap hak-hak dasarnya sebagai warga negara.
Termasuk dalam hal pekerjaan,
biasanya akan sangat sulit bagi seorang yang pernah dicap sebagai ekstremis
untuk mendapatkan pekerjaan meskipun setelah ‘kembali’ ke kehidupan
normatifnya.
Perkara semacam inilah yang
kemudian membuatnya merasa perlu untuk membangun aliansi bersama
kelompok-kelompok subordinat lainnya. Dengan harapan, agar mereka dapat
terbebas dari segala bentuk diskriminasi sekaligus menyambung kehidupannya
yang sempat terputus. Termasuk tidak menutup kemungkinan bergabung dengan
kelompok yang sejak awal memang sengaja mengikubasi ideologi radikalisme
melalui simbol cadar.
Tidak hanya itu, bagi organisasi
radikal, suboordinasi atas cadar hanya akan mengeraskan fondasi gerakan
mereka sebagai antitesis dari Pancasila yang dianggap thagut. Tidak hanya
itu, organisasi ini juga akan dengan mudah memanfaatkan efek psikologis
kelompok pertama untuk kemudian dimobilisasi sebagai basis kekuatan massanya.
Persoalan lainnya, yakni kelompok
simpatisan yang berada dalam poros tengah antara dua kategori tersebut.
Meskipun bukan menjadi bagian dari orang meyakini cadar sebagai sebuah
kewajiban, dan tidak terafiliasi dengan kelompok radikal, akan tetapi mereka
memiliki persoalan mendasar yang serupa dengan dua kelompok tersebut, antara
lain, ketidakadilan struktural, putus asa, dan keterasingan. Situasi ini
membuat para simpatisan ini dengan mudah mengidentifikasi dirinya juga
sebagai the others.
Kendatipun mereka mengidentifikasi
dirinya sebagai the others, mereka belum tentu langsung membentuk aliansi
dengan kelompok ‘senasib’ ataupun organisasi radikal. Hal itu karena tidak
adanya label spesifik dari masyarakat. Dorongan untuk menjadi bagian dari
kelompok dengan identitas tertentu juga sangat lemah.
Namun, mereka dapat sewaktu-waktu
mengonversi perasaan simpatinya itu menjadi empati terhadap kelompok
identitas tertentu manakala mereka menemukan institusi publik, seperti
kampus, melakukan tindakan diskriminasi yang menyasar pada kelompok tertentu.
Apalagi kelompok tertentu itu
memiliki persinggungan keyakinan atau pandangan hidup dengan para simpatisan.
Pendapat ini terbukti dari banyaknya pelaku teror yang mengatasnamakan agama,
baik yang teorganisasi maupun pelaku tunggal, dilakukan oleh simpatisan yang
tidak memiliki pemahaman agama yang baik.
Identitas
bangsa?
Saya tidak sepakat dengan pendapat
yang memandang cadar sebagai sesuatu yang vis a vis dengan identitas
kebangsaan. Pasalnya, proses pembangunan identitas negara-bangsa di Indonesia
sesungguhnya masih berlangsung dinamis.
Mengingat preferensi nilai-nilai
yang eksis sedari awal sudah sangatlah kompleks. Ditambah lagi semakin
mencairnya interaksi global yang membuat ikhwal pembangunan negara-bangsa di
Indonesia niscaya tidak akan pernah selesai. Terlebih soal ekspresi keyakinan
spiritual yang sepenuhnya dijamin dalam konstitusi.
Termasuk cadar yang diyakini
sebagian umat Muslim di Indonesia sebagai bagian dari ekspresi keislaman.
Sepanjang ekspresi keyakinan tersebut tidak merugikan individu lain dan masih
dalam koridor prinsip kebangsaan, mengapa harus dipermasalahkan?
Perkara ini menjadi pelajaran
penting bagi institusi pendidikan tinggi Tanah Air. Bagaimanapun kampus harus
dapat menumbuhkan semangat berdemokrasi dengan cara mengedepankan dialog
antarkepentingan, sehingga tidak ada interpretasi tunggal yang
memarjinalisasi pihak-pihak tertentu.
Kampus harus menjadi tempat yang
ramah bagi setiap individu untuk memperoleh ilmu pengetahuan tanpa memandang
atribut atau simbol yang melekat pada dirinya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar