Kabul,
Afghanistan (1)
Azyumardi Azra ; Guru Besar Fakultas Adab dan
Humaniora
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
|
REPUBLIKA,
08 Maret
2018
Kabul, Afghanistan, pengujung
Februari 2018. Langit cerah sejak pesawat memasuki Anak Benua India. Sebagian
besar daratan Bangladesh, India, dan Pakistan terlihat abu-abu kecokelatan.
Melintasi Pakistan memasuki wilayah Afghanistan, hampir tidak terlihat bumi
yang menghijau.
Sebagian puncak pegunungan masih
terselimuti salju. Menjelang mendarat, yang terlihat adalah gunung dan bukit
kecokelatan; tidak terlihat kehijauan tetumbuhan dan pepohonan—sejumputan
pohon meranggas menunggu musim semi.
Lanskap Kabul atau sebagian besar
Afghanistan kontras dengan tanah air Indonesia. Jika langit cerah, di
kebanyakan bandara manapun, yang terlihat kehijauan tetumbuhan, pohon, hutan,
dan persawahan. Dengan begitu, bumi Indonesia bukan tidak mirip dengan
gambaran surga di dalam Al-Qur’an: taman menghijau, bebuahan yang ranum,
lengkap dengan gemericik air sungai.
Syukur dan bersyukur atas nikmat
Allah SWT pada Indonesia. Bukan hanya atas anugerah bumi dan laut yang indah
dan kaya, melainkan juga karena harmoni dan kerukunan suku-suku bangsa,
sosial-budaya, dan agama yang begitu beragam—kekayaan atau aset yang dapat
menjadi liabilities, potensi konflik jika tidak disikapi secara arif dan
bijaksana.
Namun, berkat kearifan warga,
Indonesia tidak pernah dilanda perang antarsuku atau antaragama yang lama dan
luas. Jika ada konflik komunal (agama dan suku), itu terbatas dan berlangsung
relatif singkat.
Kabul. Inilah ibu kota negara
Islam Afghanistan. Kontras dengan Indonesia, Afghanistan terkoyak konflik dan
perang yang melibatkan berbagai kekuatan dalam negeri dan asing selama lebih
40 tahun. Sejauh ini, juga belum terlihat tanda-tanda meyakinkan bahwa
konflik dan kekerasan yang telah mengorbankan ratusan ribu penduduk berakhir;
dan sebaliknya perdamaian dan kedamaian dapat tercipta.
Kabul. Memasuki ibu kota ini, suasana
sekuriti sangat ketat. Polisi dan tentara dengan persenjataan berat beserta
tank juga dapat dilihat di mana-mana. Gedung-gedung pemerintah, properti
swasta, dan kompleks kedutaan tak ubah seperti benteng dengan pagar beton
tebal dan tinggi. Jalan raya juga dipenuhi banyak blokade atau rintangan
dengan tembok beton tinggi dan tebal untuk mengantisipasi kendaraan yang
membawa bom bunuh diri, misalnya.
Kabul, kota yang muram dan kusam.
Bagian kota lama—mulai berkembang sejak 1700-1100 SM—di mana Istana Harim
Sarai, tempat raja-raja Afghanistan pernah berdiam dan kini menjadi kantor
presiden, dan kedutaan besar negara asing berlokasi, hampir tidak ada
bangunan baru. Kebanyakan bangunan berlantai satu yang kebanyakan seperti
kedai yang semrawut, berantakan, dan suram.
Itulah pertanda paling telanjang
dari konflik, kekerasan, dan perang yang tidak pernah berhenti melanda Kabul
dan pelosok lain Afghanistan dalam 40 tahun terakhir. Konflik dan perang
persis bermula sejak 1978 ketika pada 28 April 1978, Presiden Muhammad Daud
Khan dan seluruh anggota keluarganya dibunuh kelompok paramiliter pro Uni
Soviet di bawah pimpinan Nur Muhammad Taraki.
Taraki kemudian mengambil alih
kekuasaan sebagai presiden sampai dia juga dibunuh pada September 1979 oleh
rivalnya, Hafizullah Amin. Yang terakhir ini pada gilirannya dibunuh dinas
intelijen Soviet; dan pada 24 Desember 1979 Soviet menduduki Kabul dan seluruh
wilayah Afghanistan lain.
Sulit membayangkan adanya kota
semacam Kabul di tempat lain, kecuali agaknya di wilayah konflik dan perang
semacam Irak, Suriah, atau Yaman. Jelas, tidak ada padanan suasana konflik
dan perang seperti di Kabul dengan wilayah manapun di Indonesia—bahkan di
daerah yang dulu pernah ada konflik semacam Aceh, Poso, atau Papua.
Penduduk Kabul (kini sekitar 2,6
juta jiwa) tampak sudah terbiasa dengan konflik dan perang berkelanjutan. Di
wilayah kota lama Kabul, banyak warga terlihat di pinggir jalan—tampaknya
tidak punya pekerjaan. Lebih banyak lagi warga berkerumun di bazar—menjual
dan membeli berbagai kebutuhan hidup sehari-hari. Jalanan di lingkungan bazar
macet parah karena sulit mencari alternatif jalan lain yang kebanyakan diblokir
aparat keamanan.
Pemandangan sedikit berbeda
terlihat di Kabul baru—di sebelah timur Kabul lama. Di kawasan ini, terdapat
gedung-gedung baru yang sebagiannya cukup jangkung antara lima sampai 10
lantai. Toko dan kedai juga lebih rapi; tidak terlihat bazar besar di mana
warga berkerumun.
Kawasan Kabul baru ini memiliki
makna penting bagi Indonesia dan Afghanistan. Di kawasan ini, persisnya Ahmad
Shah Baba Mina, adalah lokasi tempat berdirinya Masjid as-Salam, bagian dari
Indonesian Islamic Center (IIC) Kabul yang diresmikan Menlu Retno LP Marsudi,
9 Agustus 2016. Berlokasi di kawasan di mana masjid lingkungan lain susah
ditemukan, kehadiran Masjid as-Salam sangat strategis dan penting. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar