Korupsi
Penyelenggara Pilkada
Emerson Yuntho ; Anggota Badan Pekerja Indonesia
Corruption Watch
|
REPUBLIKA,
10 Maret
2018
Menjelang Pemilihan Umum Kepala
Daerah (Pilkada) 2018, praktik korupsi suap tidak saja menimpa calon kepala
daerah, tapi mulai juga merambah ke penyelenggara pilkada. Hal ini dibuktikan
setelah Komisioner Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Garut Ade Sudrajat dan
Ketua Panitia Pengawas Pemilu Daerah (Panwaslu) Garut Heri Hasan Bisri
terjerat Operasi Tangkap Tangan karena dugaan menerima suap pada Sabtu (24/2)
lalu.
Keduanya ditangkap oleh Tim
gabungan dari Satuan Tugas (Satgas) Anti Politik Uang Bareskrim Mabes Polri
bersama jajaran Polda Jawa Barat. Ade dan Heri diduga menerima suap dalam
bentuk uang dan kendaraan roda empat untuk meloloskan salah satu calon kepala
daerah dalam pilkada di Garut.
Satgas juga menangkap Dindin
Wahyudin, anggota Tim Sukses dari pasangan Soni Sondani-Usep Nurdin yang maju
pilkada melalui jalur independen. Pihak kepolisian diberitakan menjerat
pelakunya dengan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Praktik suap terhadap
penyelenggara pemilu di Garut merupakan kasus pertama yang berhasil diungkap
oleh Satgas Anti Politik Uang yang baru terbentuk pada awal Januari 2018.
Satgas Anti Politik Uang yang dibentuk Kepolisian berkerja sama dengan Komisi
Pemberantasan Korupsi bertujuan untuk memberi efek pencegah terhadap
pihak-pihak yang ingin berbuat curang dalam Pilkada 2018. Satgas bertugas
untuk mengawasi permainan politik uang pada empat tahapan pilkada, yaitu
pendaftaran, pemilihan, penetapan calon, dan saat pengajuan keberatan ke
Mahkamah Konstitusi.
Penangkapan terhadap komisioner
KPUD dan Ketua Panwaslu di Garut tidak saja memprihatinkan, tetapi juga
merupakan skandal demokrasi yang memalukan. Penyelenggara pilkada yang
diharapkan dapat mewujudkan pilkada yang berintegritas, tapi faktanya secara
bersama melakukan kongkalingkong dengan menerima uang suap dari calon kepala daerah.
Ironisnya, penyuapan ini terjadi kurang dari sebulan setelah Badan Pengawas
Pemilu (Bawaslu) mendeklarasikan 'Tolak dan Lawan Politik Uang dan Politik
SARA untuk Pilkada 2018' berintegritas.
Meski demikian, praktik suap
terhadap penyelenggara pilkada seperti yang terjadi di Garut bukan sesuatu
yang baru. Peristiwa ini justru menambah deretan kasus korupsi yang
melibatkan penyelenggara pemilu di daerah.
Dalam pantauan ICW selama lebih
dari tujuh tahun terakhir, terdapat sedikitnya 72 kasus korupsi yang
melibatkan penyelenggara pilkada, yaitu KPUD dan Panwaslu dan telah atau
masih ditangani oleh kepolisian ataupun kejaksaan. Sebagian kasus telah
selesai diproses penyidikannya dan pelakunya dijebloskan ke penjara karena
terbukti melakukan korupsi.
Aktor korupsi yang terlibat
korupsi mulai dari komisioner, bendahara, pegawai, pihak swasta, hingga
peserta pemilu ataupun tim suksesnya. Nilai korupsi atau suap yang terjadi
dapat mencapai puluhan juta hingga miliaran rupiah. Sedangkan modus korupsi
yang umumnya terjadi di KPUD atau Panwaslu daerah adalah penyimpangan dalam
pengadaan barang dan jasa, kegiatan dan perjalanan dinas fiktif,
penyalahgunaan dana hibah pilkada dari APBD, penggelapan pajak, dan
penggunaan uang negara untuk kepentingan pribadi.
Praktik korupsi dan politik uang
yang melibatkan penyelenggara pilkada pada akhirnya, berdampak pada keraguan
atas kualitas proses pilkada. Oleh karena itu, skandal demokrasi yang baru
saja terjadi di Garut sebaiknya segera direspons secara cepat oleh penyelenggara
pemilu, baik di pusat maupun daerah agar tidak merembet ataupun terulang ke
daerah lain yang juga melaksanakan pilkada. Apalagi, dalam pilkada tahun 2018
akan dilakukan secara serentak di 171 daerah di Indonesia.
Kasus yang terjadi di Garut harus
menjadi momentum bagi jajaran KPU dan Bawaslu untuk berbenah diri dan
bertindak dalam rangka mengembalikan kepercayaan publik terhadap pelaksanaan
pilkada mendatang. Sebagai langkah penegakan hukum, KPU dan Bawaslu dapat
bekerja sama dengan Satgas Anti Politik Uang dalam mengusut aktor lain yang
diduga terlibat ataupun pemodal dalam kasus suap-menyuap pejabat KPUD dan
Panwaslu Garut ataupun kasus lainnya pada masa mendatang.
Sedangkan langkah administratif,
sebaiknya KPU dan Bawaslu perlu melakukan investigasi lebih mendalam dan
harus berani mengambil sanksi yang tegas berupa pemecatan kepada
penyelenggara pemilu daerah yang terbukti korupsi serta menggantinya dengan
figur yang lebih berintegritas.
Selain itu, pihak KPU juga harus
berani membatalkan keikutsertaan pasangan calon kepala daerah yang menjadi
aktor utama di balik penyuapan ini. Demi menjamin transparansi dan
akuntabilitas dari kerja kedua lembaga tersebut, proses investigasi yang
dilakukan dan hasilnya sebaiknya diumumkan secara terbuka agar dapat diakses
oleh publik.
Tidak hanya mendorong KPUD,
Panwaslu dan Penegak hukum untuk berkerja lebih keras, sebaiknya elemen
masyarakat juga harus dilibatkan dalam melakukan pengawasan dan melaporkan
dugaan politik uang ataupun penyimpangan korupsi di lembaga penyelenggara
pemilu daerah. Tanpa dukungan dan partisipasi masyarakat, kejahatan pemilu
dan korupsi di lembaga penyelenggara pilkada akan sulit diungkap.
Terakhir untuk memastikan bahwa
Pilkada 2018 berjalan secara demokratis dan berintegritas, para petinggi
partai politik dan jajarannya serta calon kepala daerah sebaiknya perlu
diingatkan kembali untuk konsisten menjalankan deklarasi antipolitik uang
yang telah ditandatangani.
Elite partai juga perlu mengawasi
calon kepala daerah yang diusung beserta tim suksesnya untuk tidak melakukan
segala cara-cara kotor, temasuk menggunakan politik uang, demi memenangi
pilkada. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar