Pelemahan
Rupiah atau Penguatan Dolar AS?
Sunarsip ; Chief Economist Bank Bukopin
|
REPUBLIKA,
12 Maret
2018
Dalam sebulan terakhir, nilai tukar rupiah
melemah cukup tajam terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Akhir pekan lalu,
nilai tukar rupiah menyentuh Rp 13.794 per dolar AS.
Pelemahan rupiah atau penguatan dolar AS
ini berpotensi menimbulkan dampak ikutan lain, khususnya yang terkait
pemenuhan kewajiban kepada pihak luar negeri, seperti pembayaran utang luar
negeri (ULN) maupun impor.
Beban pembayaran ULN menjadi lebih besar
serta impor menjadi terasa lebih mahal. Kondisi ini bila tidak segera pulih
berpotensi menghambat laju pemulihan kinerja industri serta konsumsi rumah
tangga.
Pelemahan rupiah atau penguatan dolar AS
ini memang di sisi lain juga memberikan dampak positif, khususnya bagi
ekspor. Namun, bila melihat kinerja ekspor dan impor saat ini, dengan
perbaikan ekspor kita lebih banyak ditopang kenaikan harga, pelemahan rupiah
terhadap dolar AS berpeluang menggerus surplus neraca perdagangan kita.
Dengan demikian, memang akan lebih positif
bagi neraca perdagangan (ekspor impor) kita bila nilai tukar rupiah bergerak
stabil di kisaran yang ditetapkan APBN 2018, yaitu Rp 13.400 per dolar AS.
Muncul pertanyaan terkait apa yang terjadi
pada nilai tukar rupiah ini. Pertanyaan tersebut umumnya berkisar apakah
pelemahan rupiah ini disebabkan oleh kinerja perekonomian kita atau oleh
faktor lain.
Lalu, sampai kapan kondisi ini akan
berlangsung? Apakah hanya sementara atau akan lama? Tulisan ini akan mencoba
menjawab sejumlah pertanyaan ini serta mengajukan saran terkait langkah
antisipasinya.
Kinerja suatu mata uang pada umumnya
dipengaruhi dua hal. Pertama, kekuatan fundamental ekonomi negara
bersangkutan. Kedua, kondisi eksternal seperti kinerja perekonomian negara
lain dan ekonomi global.
Suatu negara dengan fundamental ekonomi
yang kuat pada umumnya mata uangnya akan relatif lebih kuat. Contohnya adalah
Amerika Serikat. Karena secara fundamental ekonomi AS relatif lebih kuat dari
negara lain, dolar AS juga memiliki kecenderungan sebagai mata uang yang
kuat. Nilai tukar dolar AS memang tetap bergerak naik turun, tetapi nilai
alamiahnya akan relatif lebih kuat daripada mata uang lainnya.
Kondisi di AS ini tentu berbeda dengan
negara-negara sedang berkembang (emerging
markets atau EM), termasuk Indonesia. Fundamental ekonomi EM
secara relatif lebih rentan oleh gejolak eksternal.
Oleh karena itu, kinerja nilai tukar mata
uangnya juga relatif lebih labil dengan tingkat volatilitas lebih besar.
Karena karakteristiknya seperti itu, otoritas moneter dari setiap EM biasanya
tidak memaksakan diri membuat nilai tukar mata uangnya kuat.
Yang lebih penting dilakukan oleh otoritas
moneter masing-masing EM adalah dengan berupaya membuat nilai tukar mata
uangnya bergerak stabil selama mungkin di level yang dapat diterima oleh
stakeholders. Itulah yang juga dilakukan Bank Indonesia (BI) selaku otoritas
moneter di Indonesia dan tentunya pula terdapat dukungan dari otoritas fiskal
(dalam hal ini menteri keuangan).
Saya melihat bahwa pelemahan rupiah saat
ini lebih banyak disebabkan oleh faktor eksternal daripada internal. Kinerja
perekonomian kita sejauh ini masih cukup baik. Pada 2017, ekonomi kita masih
tumbuh 5,07 persen, terutama didukung oleh sisi investasi dan ekspor.
Selama 2017, kinerja neraca perdagangan
kita juga positif dengan mencatatkan surplus 11,84 miliar dolar AS, tertinggi
sejak 2012. Cadangan devisa kita juga menunjukkan peningkatan. Per Januari
2018, cadangan devisa Indonesia mencapai 132 miliar dolar AS, tertinggi yang
pernah dicapai Indonesia.
Cadangan devisa ini cukup untuk membiayai
kebutuhan 8,2 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah. Dengan
kondisi kinerja ekonomi tersebut, sebenarnya rupiah tidak selayaknya melemah
cukup dalam seperti yang terjadi saat ini.
Pelemahan rupiah terhadap dolar AS saat ini
lebih merupakan akibat dari perilaku sementara para pelaku pasar uang setelah
melihat adanya potensi keuntungan yang lebih besar bila menaruh uangnya di
pasar uang di AS. Bank sentral AS (the Fed) saat ini sedang dalam fase
melakukan normalisasi kebijakan moneter seiring membaiknya kinerja ekonomi
AS.
Salah satunya adalah dengan menerapkan
kebijakan moneter yang lebih ketat melalui kebijakan kenaikan suku bunga
acuan (the Fed Fund Rate/FFR). Selama 2018, FFR diperkirakan mengalami tiga
kali kenaikan, bahkan terdapat prediksi empat kali naik.
Euforia kenaikan FFR inilah yang mendorong
pelarian modal dari EM, termasuk Indonesia. Salah satu penyebab keluarnya
dana-dana asing dari EM ke AS adalah dalam rangka mengambil keuntungan dari
selisih suku bunga antara suku bunga yang berlaku di EM dan AS. Dalam
pandangan saya, hal ini lumrah di pasar keuangan.
Setiap pemain di pasar keuangan pasti akan
berburu keuntungan dengan cara memanfaatkan selisih keuntungan. Banyak studi
juga menunjukkan kuatnya hubungan antara perbedaan suku bunga, perbedaan
pertumbuhan ekonomi, dengan masuknya modal asing. Keluarnya modal asing dari EM
inilah yang akhirnya memperlemah kinerja nilai tukar mata uang dari negara
berkembang terkait.
Situasi pelemahan nilai tukar rupiah ini
tidak akan berlangsung lama. Sesuai perilakunya, pelaku pasar uang akan
kembali bersikap realistis bahwa langkah penempatan dana yang dilakukan saat
ini dilandasi oleh reaksi yang sifatnya sementara.
Ekonomi AS memang sedang membaik. Kebijakan
pemotongan tarif pajak yang dilansir Presiden Trump beberapa waktu lalu
diyakini akan mendorong investasi masuk ke AS. Namun, para analis masih
meyakini pemulihan ekonomi AS saat ini belum terlalu kuat. Inflasi di AS
masih relatif rendah yang mencerminkan daya beli belum sepenuhnya pulih.
Dampak positif tax cut policy juga diperkirakan tidak bisa jangka panjang.
Dengan kata lain, pelemahan nilai tukar
rupiah saat ini lebih merupakan fenomena penguatan dolar AS. Rupiah masih
berpotensi menguat setelah efek reaksioner sementara ini berakhir. Oleh
karena itu, kebijakan otoritas ekonomi kita dalam merespons situasi ini juga
tetap harus terukur dan tepat.
Saya mengusulkan beberapa hal sebagai
respons atas situasi ini. Pertama, BI tidak perlu merespons pelemahan nilai
tukar rupiah ini dengan kebijakan yang dapat memberikan dampak yang sifatnya
fundamental. Salah satunya, BI tidak perlu merespons dengan menaikkan suku
bunga acuan.
Kedua, pelemahan rupiah ini perlu
dimanfaatkan dengan mendorong ekspor. Membaiknya ekonomi AS adalah momentum
untuk mendorong ekspor ke AS yang saat ini kinerjanya menurun. Ekspor kita
saat ini lebih banyak ke Cina karena muatan ekspor kita yang lebih banyak
berupa komoditas.
Ketiga, dari sisi fiskal, pelemahan rupiah
yang diikuti kenaikan harga minyak mentah perlu dimanfaatkan untuk mendorong
kinerja lifting migas. Kinerja produksi beberapa blok migas saat ini masih belum
optimal hingga menyebabkan penerimaan negara dari migas tidak sesuai
potensinya.
Di sisi lain, beban subsidi energi
berpotensi membengkak. Tidak bisa tidak, kenaikan lifting migas harus
didorong untuk menjaga agar APBN kita tidak terbebani terlalu banyak oleh
subsidi energi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar