Budaya
tanpa Ego
Radhar Panca Dahana ; Budayawan
|
MEDIA
INDONESIA, 19 Maret 2018
ANGGAPLAH ini sebuah
hipotesis: Sebuah bangsa dengan kebudayaan yang tak memberi ruang atau peluang
pada ego-personal yang eksesif (hyper-ego), tidak menciptakan ruang juga
peluang untuk lahirnya diktator. Sebelum membuktikannya pada bangsa-bangsa
lain (di dunia), bagaimana dengan negara atau bangsa Indonesia, bangsa kita?
Pertanyaan itu begitu penting
karena jawaban atasnya bisa menjadi fondasi kuat untuk kita memahami bangsa
ini, memahami diri kita sendiri. Sebuah pemahaman yang hingga saat ini masih
problematik karena belum ada penjelasan atau argumen otoritatif mana pun yang
bisa diterima khalayak negeri ini. Kenyataan yang membuat persoalan identitas
itu tinggal sebagai satu hal yang secara permanen obskur, jika tidak dapat
dibilang absurd.
Sebagaimana kita akan
selalu kesulitan menjelaskan orang Jawa, misalnya, yang mengidentifikasi
dirinya pada bayang (wayang), sesuatu yang hanya merupakan refleksi-diri yang
kerap bias, meleset atau tergelincir. Terlebih bila orang Jawa mengatakan,
hidup yang kita jalani ini (the reality) sebenarnya hanya untuk 'numpang
minum saja'.
Baik, kita coba menelusuri
jawaban pertanyaan krusial di atas dengan sebuah pertanyaan kontradiktoris
semacam ini: "Mengapa negeri yang dikenal dan mengklaim dirinya bangsa
bahari ini, kok, tidak memiliki tokoh-besar-di-lautan?" Bila kita
menjelajahi sejarah maritim global, tak ada satu pun yang mencatat nama yang
berasal dari Indonesia atau wilayah Nusantara ini.
Sementara negeri-negeri
kontinental (daratan), tentu nonbahari, mencatat dengan tinta emas,
pahlawan-pahlawan lautan seperti di Spanyol (nama seperti Amerigo Vespucci atau
Hernando de Soto), Portugis (Ferdinand Magellan, Infant Henrique), Italia
(Christoper Columbus, Giovanni Caboto, orang Eropa pertama yang menginjak
tanah Amerika Utara).
Lalu di Inggris (ada James
Cook, William Dampier yang jauh sebelum Raffles mengunjungi Jawa hingga
Honduras dan Jamaika), Prancis (Jacques Cartier, Samuel de Champlain), bahkan
bangsa Arab punya Ahman bin Najib yang begitu populer sebagai pelaut atau
navigator ulung, atau Tiongkok yang punya Xu Fu penakluk Jepang abad ke-9
hingga Cheng Ho di abad ke-14. Sementara Indonesia sendiri membuat klaim,
akademik bahkan, bangsa di kepulauan ini memiliki kejayaan historis di lautan
sejak ratusan bahkan ribuan tahun SM.
Dalam hal lain, semua
bangsa di atas itu pun juga menyumbang banyak tokoh mitologis hingga tokoh
fiksi dari dunia samudra yang mengglobal hingga hari ini. Mulai dari Oceanus
atau Odysseus karya fiksi Homerus, Thor atau Viking dari bangsa-bangsa
Skandinavia, hingga Neptunus di kalangan bangsa Roma atau Sinbad dari
rangkaian akhir kisah 1.001 malam dari masa Kerajaan Baghdad.
Indonesia? Mungkin kita
punya Ratu Kidul di Laut Selatan, dan beberapa penamaan lainnya di banyak
daerah. Tapi apa dunia tahu?
Pertanyaan yang tampak tak
setimbang tapi sesungguhnya paralel ialah mengapa di negeri bahari tidak
pernah (bahkan mungkin tak akan pernah) melahirkan ilmuwan-ilmuwan sejati
yang mengabdikasikan setengah bahkan hampir seluruh hidupnya pada riset atau
penelitian? Riset atau penelitian yang dilakukan jauh dari domisili
orisinalnya. Riset atau penelitian yang memiliki risiko tidak kecil, ketika
ia harus dilakukan di tengah hutan, di pedalaman suku terasing, di padang
gurun, komunitas kanibal atau bahkan di sebuah laboratorium dengan fasilitas
minim bahkan untuk sekadar penyejuk udara.
Risiko dari ilmuwan
seperti itu bukan saja kehilangan hubungan (bahkan) keluarga (-nya sendiri),
juga kehilangan dunia persahabatan, akademik, karier, hingga risiko
kehilangan keselamatan bahkan jiwanya. Seperti yang terjadi pada seorang
etnografer Jerman, Theodor Koch-Grunberg, yang 40 tahun meneliti suku kanibal
di Amazon, Brasil, lalu hilang tiada bekas setelah itu, para ilmuwan tersebut
bahkan memiliki risiko paling getir: tidak mampu mengabarkan atau
menyebarluaskan hasil temuan/penelitian yang justru menjadi tujuan utama dari
hidup (penuh risikonya) itu. Tragedi keilmuan dan kemanusiaan A Russel
Wallace, penemu sejati teori evolusi, yang mati karena malaria di tengah
kerja risetnya di Sulawesi, mungkin bisa menjadi ilustrasi.
Mengapa bangsa ini tidak
melahirkan manusia-manusia di kualitas itu, di bidang apa pun? Karena itu,
tampaknya wajar bila dalam angket yang dilakukan PBB (UNESCO antara lain),
negeri ini berada di peringkat terbawah untuk segala bentuk literasi, juga
untuk kontribusi akademiknya (no 163 dari 164 negara) pada dunia.
Tampaknya sangat mungkin
kita tidak akan pernah mencatatkan nama dalam daftar panjang peraih Hadiah
Nobel. Atau katakanlah perintis sebuah teori yang ditulis sejajar dengan
ilmuwan-ilmuwan lainnya. Indonesia yang memiliki tak kurang dari 4.500
universitas, dua kali lipat lebih banyak daripada Tiongkok sementara penduduk
kita tidak lebih dari 20%-nya, sangat jauh jika dibandingkan dalam soal
kontribusi di atas.
Jika semua--anggaplah
praasumsi--itu benar dan terbukti, kecuali tentu satu dua kasus, mengapa
semua itu ada dan terjadi? Apa yang ada/salah dalam diri bangsa, diri manusia
Indonesia ini?
Hyper-ego
Tentu saja ini sudah
menjadi semacam diktum dalam sejarah peradaban manusia: pergolakan dan
perubahan-perubahan besar yang terjadi dalam sejarah bangsa-bangsa dunia
tidaklah pernah dilakukan segerombolan besar manusia (massa), tapi
sesungguhnya oleh sekelompok kecil orang saja (elite). Tanpa elite, jangan
harap terjadi perubahan signifikan dalam kehidupan manusia. Revolusi Prancis
tidak akan terjadi tanpa gagasan dan inisiatif gerakan segelintir intelektual
'cafe' di Paris seperti Montesquieu, Voltaire, Robespierre, bahkan Danton
yang tragis itu.
Tentu pula kita mengenal
baik nama-nama seperti Alexander the Great, Kublai Khan, Timur Lenk, Napoleon
Bonaparte, George Washington, hingga Mao Zedong, Hitler, Lenin, atau Ibnu
Saud pendiri kerajaan besar Saudi Arabia. Itulah figur-figur akbar yang
dicatat dalam sejarah mampu melakukan perubahan besar bahkan menciptakan
(identitas) bangsa baru. Figur-figur istimewa yang karena ego-personalnya
yang begitu dahsyat (hyper-ego) dan melampaui ego-kolektif, berhasil--walau
mungkin akhirnya gagal--mewujudkan idea, gagasan atau mimpi revolusionernya
pada tingkat yang (sangat) masif. Sebuah bangsa ia ubah menurut apa yang ada
dalam benak pribadinya.
Peradaban yang mengizinkan
atau membuka ruang serta peluang untuk muncul dan tumbuh hebatnya ego semacam
itu, dengan sekian argumentasi yang tidak bisa dijelaskan dalam kertas pendek
ini, bernama kontinental (daratan). Sebuah peradaban dengan--apa yang kita
sebut--kedaulatan manusia (individual, tepatnya) dijunjung tinggi, dalam
bahasa now-nya katakanlah, hak asasi manusia.
Peradaban yang bukan hanya
membolehkan bahkan mengimperasi individu-individu untuk berkompetisi, sehebat
apa pun (bahkan juga dengan cara apa pun di banyak kasus), untuk menjadi
pemenang. Karena the winner takes all. Karena 51 berhak atas 100, termasuk
milik 49 yang dikalahkannya. Karena electoral vote lebih desisif ketimbang popular
vote, pelintiran demokrasi Amerika Serikat mengikuti logika di atas, yang
kemudian menghasilkan presiden dengan jumlah pemilih 2,8 juta lebih sedikit
daripada lawannya dan memiliki pool-rated terendah sepanjang sejarah.
Dalam peradaban seperti
itulah ego-ego secara legal dan 'beradab' dipertarungkan. Dengan modus, mean,
atau cara apa pun. Tinggal siapa yang pada akhirnya takes all, menjadi Shi
Huangdi, Claudius Nero, Louis XIV, Benito Mussolini, Ayatullah Khomenei, atau
George W Bush. Pahlawan dalam dunia seperti ini ialah mereka yang secara
keras didorong hyper-ego untuk memanifestasikan slogan paling congkaknya,
change the world. Termasuk di dalamnya, para ilmuwan, olahragawan, juga
seniman.
Kita semua tahu, pelajaran
yang selalu diberikan sejarah dalam kebisuan suaranya, semua perubahan itu
menyimpan virus perusaknya sendiri, kekuatan destruktif yang tidak mampu
dilawan, bahkan dideteksi sang tokoh atau pahlawan revolusinya sendiri. Maka
kerap kali revolusi atau perubahan radikal itu hanya menjadi--jika
tidak--keindahan semalam, ia menjelma jadi derita berkepanjangan.
Tapi, kata mereka,
'sejarah harus dicatat'. Harus dituliskan, diinskripsikan, dimonumentalisir.
Semua yang menjadi penanda utama dari peradaban kontinental, baik atau buruk
perubahan itu, ia harus jadi monumen. Karena ia 'monumental' (perhatikan kata
dasarnya, yang jadi umum dalam bahasa apa pun, termasuk bahasa atau bangsa
yang tak mengenal 'monumen' dalam hidup kebudayaannya, seperti budaya
bahari). Maka, bila kau ia ingin bermakna, kau ingin jadi sejarah bahkan
abadi, jadikanlah dirimu monumen.
Dalam peradaban ini, siapa
pun ingin menjadi monumen. Di bidang apa pun. Dengan cara apa pun. Dengan
risiko sebesar apa pun. Sejauh, seasing, sesulit, sebahaya apa pun. Jangankan
hutan purba Amazon, bahkan galaksi sejauh jutaan cahaya pun jika perlu
kujelajahi. Tuhan? Kalau perlu kulangkahi. Begitu hebat, ego manusia.
Sesungguhnya. Oo bukan...sepertinya.
Nir-ego
dalam bahari
Di titik inilah kita kini
bisa melihat diri kita, bangsa kita, bangsa Indonesia, bangsa yang membangun,
mengembangkan, dan dipelihara oleh budaya bahari (pada mulanya). Budaya yang
melahirkan peradaban dengan ego-komunal atau ego-kolektif ternyata lebih
desisif ketimbang ego-personal.
Jadi, (juga dengan
argumentasi yang, maaf, tak mungkin terelaborasi di sini) tak ada ruang atau
peluang bagi merajanya dunia personal yang egoistis dan selfish. Semua yang
bersifat personal, individual juga dalam arti lain, tidak akan memiliki makna
yang substantif jika ia tidak memiliki fungsi dan kontribusi bagi realitas
sosial atau komunalnya.
Kita akan menemukan dengan
mudah contoh-contoh dari kenyataan kekerabatan semacam itu, bukan hanya dalam
etnik yang besar, bahkan dalam subetnik atau kelompok kekerabatan yang lebih
kecil, marga misalnya. Keterikatan seseorang pada kelompok atau komunitas
besar tempat ia mendapat tautan primordial itu tak-terlepaskan, bahkan abadi.
Ia menjadi semacam DNA (-primordial) yang membuat orang Bugis atau orang Gayo
biar seumur hidup ia melanglang dunia, bahkan ke planet lain (kalau bisa), ia
akan tetap dikubur dalam keadaan tidak berubah: orang Bugis, tetap orang
Gayo.
Ikatan komunal inilah yang
membuat seorang warga dari negeri ini, pasti akan kembali ke ranah asalnya,
mudik. Seperti pelaut, sejauh apa pun jarak samudra ditempuh, setinggi apa
pun gelombang terdaki, ke pelabuhan jua akhirnya ia bertaut. Maka, sekali
lagi, kenyataan kodrati bangsa bahari yang homo socius, multikultural
(multietnik), interkultural adabnya, gotong royong cara hidupnya, tolong-menolong
wataknya (bukan filantropis), sudah menjadi fitrah, natural juga nurturalnya.
Dalam peradaban semacam
inilah, tidak akan pernah tercatat pahlawan atau tokoh besar yang lebih
mementingkan egonya, idea, apalagi ideologinya sendiri, apalagi memaksakan
hal itu pada khalayak banyak. Perbuatan besar diukur hanya pada dampak
positif atau maslahat besarnya bagi khalayak besar. Bukan pada inskripsi,
catatan, atau teori yang dimonumenkan. Dalam dunia air, yang terus mengalir,
tak mungkin ada monumen. Karena semua monumen akan habis dikikis tirisan air,
oleh tetesan waktu yang melaju tiada tentu.
Maka pahlawan, orang
besar, kiai, tokoh, pemimpin, apalah semua gelar itu, hanya diukur dari tapak
atau rekam jejaknya (foot-print) dalam hidup masyarakat, dalam sejarah.
Kemuliaan dan kehebatan manusia tak membutuhkan catatan kaki (footnote) yang
mengabadikannya dalam simbol belaka, sebagaimana monumen. Karena itu,
sesungguhnya, tidak pernah terjadi revolusi yang sesungguhnya revolusioner di
negeri ini.
Karena itu juga, tidak
pernah muncul seorang diktator yang sesungguhnya melulu mendiktasi atau
mendikte publik sekujur hidupnya.
Demikian hipotesis di atas
memiliki keberlakuannya. Dalam bentuk negatifnya ia pun menjadi diktum yang
dapat dibuktikan. Diktator hanya dapat muncul dalam hidup sebuah bangsa yang
budayanya memberi ruang dan kesempatan berkembangnya ego-personal lebih dari
ego-kolektifnya. Hipotesis yang saya harap bisa menjadi semacam fatsoen ini
mungkin bisa menjadi refleksi atau renungan bagi siapa pun yang masih
memiliki ambisi hampa tentang ketokohan, kepahlawanan, apalagi kesuperheroan.
Kita dapat memeriksa
bersama, banyak tokoh besar dalam sejarah bahkan ratusan pahlawan yang
ditetapkan negara, apakah benar mereka yang tergolong berambegan besar mewujudkan
ego-personal, ambisi atau ide megalomaniaknya pada khalayak yang besar?
Mengapa kita tidak melahirkan ilmuwan penuh dedikasi, tidak perlu ke negeri
asing, tapi di negeri sendiri, untuk menciptakan temuan, teori, atau sekadar
menemukan harta terpendam (treasure), seperti Claude Levi-Strauss di kalangan
Aborigin, Margareth Mead di Pasifik dan Bali, Clifford Geertz di Mojokuto,
dan S Hourgronje di Aceh.
Itulah juga mengapa para
pelaut hebat kita tidak lahir menjadi Vespucci, Baitutah, Ikhwarizmi, Marco
Polo, atau I Ching. Karena mereka memosisikan laut tidaklah sebagai hal yang
terlalu istimewa, tapi melulu sebagai bagian dari kesibukan harian yang
pragmatis. Seperti orang berkebun, berladang, atau menjadi nelayan. Apa yang
perlu mereka tulis dari hidup itu? Untuk apa mengabadikan diri, jika dalam
budaya yang mengalir semua tidak abadi? Hidup hanyalah pendaratan setelah
kita berlayar jauh, untuk 'mampir minum'.
Karenanya, tak perlu lagi
kita berharap ada Nobelis berasal dari negeri ini. Teori besar atau agama
baru lahir di negara kita. Tak akan ada tokoh dalam sejarah bahari kita.
Karena semua sama, sama tokoh dan sama bukan tokoh. Bahkan pemelihara pohon
bakau pun bisa lebih tinggi maqam sosial hingga spiritualnya, ketimbang
menteri atau anggota parlemen. Apa yang istimewa? Tak ada, kecuali pengabdian
pada komunitas, dengan pribadi, aku atau nama tiada (perlu). Inilah budaya
yang bukan by name tapi no name (NN). Budaya yang tak membutuhkan
ego-individual, juga individualisme, tentu saja. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar