Berdaulat
dengan Pangan Lokal
Khudori ; Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia;
Anggota Kelompok Kerja Dewan
Ketahanan Pangan
|
MEDIA
INDONESIA, 20 Maret 2018
TERIGU ialah makanan pokok
(staple food) penduduk dunia. Posisinya jauh lebih penting ketimbang kedelai,
kentang, dan jagung. Posisi strategis gandum hanya bisa dikalahkan beras,
pangan pokok sekitar separuh warga dunia. Tidak seperti beras, gandum--asal
usul terigu--hanya bisa tumbuh baik di daerah temperate. Itulah sebabnya,
meskipun Bogasari merintis menanam gandum di sini, hasilnya tak sebaik di
daerah asal.
Meskipun tidak ada petani
gandum di Indonesia, dari waktu ke waktu konsumsi terigu terus naik. Jumlah
penduduk yang besar ialah pasar yang membuat ngiler siapa pun untuk memasok
biji gandum lewat impor. Pada 1997/1998 impor biji gandum masih 3,7 juta ton,
pada 2017 melonjak menjadi 12 juta ton. Dengan harga gandum US$175 per ton,
nilai impor mencapai US$2,1 miliar atau Rp28,98 triliun (kurs Rp13.800 per
US$).
Dengan impor sebanyak itu,
saat ini Indonesia menjadi negara importir gandum terbesar di dunia. Konsumsi
terigu saat ini diperkirakan mencapai 24 kg/kapita/tahun. Hanya dalam tempo
40 tahun, tingkat konsumsi terigu meningkat lebih dari 600%. Penetrasi itu
tidak lepas dari keberhasilan Orde Baru yang berhasil merekayasa aneka pangan
asal terigu jadi pangan murah, mudah didapat, dan sesuai selera lidah
Indonesia.
Saat itu harga terigu
dibanting 50% lebih rendah daripada harga internasional. Semula, beleid itu
dimaksudkan untuk menstabilkan harga pangan dan meredam inflasi. Pijakan
dasarnya ialah untuk menghindari ketergantungan yang besar pada impor beras
yang harganya tidak stabil, volumenya tipis (thin market), diekspor setelah
kebutuhan dalam negeri terpenuh (residual market) dan pasarnya mendekati
oligopoli (imperfect market). Sayang kebijakan insidental itu tak pernah
dievaluasi, bahkan berlanjut terus hingga kini.
Tanpa disadari, kebijakan
insidental itu pada akhirnya menimbulkan sejumlah persoalan serius. Pertama,
beras dan terigu tersubstitusi erat dengan elastisitas silang 0,6 (Amang dan
Sawit, 2001). Ini terjadi karena terigu menjadi demikian murah. Akibatnya,
permintaan terigu terus melambung tinggi.
Kedua, perubahan pola
konsumsi warga ke terigu, terutama yang berpenghasilan menengah/rendah,
demikian cepat. Ini hanya terjadi di Indonesia, tidak di negara Asia lain.
Terigu dipakai industri bahan pangan untuk bakmi basah, mi instan, biskuit,
roti, mi telur, dan sebagian kecil dikonsumsi langsung rakyat.
Kini, dalam struktur diit
rumah tangga, terigu menempati posisi kedua setelah beras. Porsinya mencapai
25%, jauh meninggalkan pangan lokal, baik yang berbasis biji-bijian (seperti
jagung dan sorgum) maupun berbasis umbi-umbian (ubi jalar, singkong, talas
atau gembili).
Jika ditilik dari
diversifikasi pangan, substitusi itu bisa dipandang baik. Namun, substitusi
beras oleh terigu merupakan diversifikasi yang salah kaprah. Substitusi itu
mempertegas fenomena ketergantungan Indonesia pada pangan impor.
Padahal, Indonesia
memiliki aneka sumber daya lokal yang bisa menggantikan gandum, seperti
singkong, gembili, sukun, dan ubi jalar. Substitusi gandum dengan pangan
lokal tidak hanya menghemat devisa, tapi juga menciptakan dampak berganda
yang luar biasa di berbagai sektor. Di sisi lain, kebijakan yang tak ramah
pangan lokal juga telah menggiring pola makan warga secara drastis ke satu
jenis pangan: beras.
Negeri ini pernah memiliki
tradisi pangan luar biasa ragam dan jenisnya. Sejarah mencatat gaplek
(Lampung, Jawa Tengah, Jawa Timur), sagu (Maluku, Papua), jagung (Jateng,
Jatim, Nusa Tenggara), cantel/sorgum (Nusa Tenggara), talas dan ubi jalar
(Irian) jadi penopang pangan pokok warga selama bertahun-tahun. Pola makan
unik, khas, dan beragam itu diwariskan turun-temurun dan terbukti menjamin
kedaulatan pangan warga.
Pola makan terbentuk dari
hasil interaksi warga atas lingkungan. Warga yang tinggal di daerah kering
rata-rata memakan jagung atau umbi-umbian sebagai makanan pokok. Jagung dan
umbi tidak memerlukan banyak air sehingga cocok tumbuh di daerah kering.
Ekologi Nusa Tenggara, baik Nusa Tenggara Timur maupun Nusa Tenggara Barat,
kurang mendukung untuk berproduksi padi. Biofisik Nusa Tenggara amat cocok
untuk menghasilkan jagung dan umbi-umbian, terutama ubi kayu. Karena itu,
secara turun-temurun pola konsumsi pangan pokok rata-rata penduduk di sana
ialah jagung.
Namun, berkat rekayasa
negara lewat adopsi teknologi pertanian modern, secara dramatis pola makan
khas dan beragam bergeser ke beras. Dalam struktur diet makanan, pada 1954
pangsa beras baru mencapai 53,5%, disusul ubi kayu (22,6%), jagung (18,9%),
dan kentang (4,99%). Namun, pada 1987 telah terjadi pergeseran luar biasa:
beras mendominasi struktur diet makanan dengan pangsa 81,1%, disusul ubi kayu
(10,02%) dan jagung (7,82%). Kini berkat program raskin semua perut warga
bergantung pada beras dengan tingkat partisipasi 100%. Konsumsi beras kita
amat tinggi: 114 kg/kapita.
Perubahan beras jadi menu
favorit itu telah menyandera pemerintah dalam posisi serbasulit. 'Prestasi'
itu membuat pemerintah, mau tidak mau, suka tidak suka, harus menyediakan
beras dalam jumlah cukup, baik di musim panen maupun paceklik, terdistribusi
merata di seluruh pelosok negeri dan harganya terjangkau kantong orang miskin
sekalipun. Masalahnya tidak mudah menunaikan tugas-tugas mahasulit itu. Kasus
gizi buruk di Asmat yang kembali terjadi ialah sisi gelap perubahan menu diit
warga.
Untuk mengubah itu, warga
harus kembali didorong agar berdaulat di bidang pangan. Kedaulatan pangan
(food sovereignty) didefinisikan sebagai hak setiap orang, masyarakat, dan
negara untuk mengakses dan mengontrol berbagai sumber daya produktif serta
menentukan dan mengendalikan sistem (produksi, distribusi dan konsumsi)
pangan mereka sendiri sesuai dengan kondisi ekologis, sosial, ekonomi, dan
budaya khas masing-masing. Dengan mengikuti ini, menggantungkan pangan dari
luar ialah titik lemah ketidakberdaulatan.
Untuk memulai itu,
pertama, di tingkat nasional kebijakan yang berpusat pada pajale (padi,
jagung, kedele) harus diubah. Bisa saja di tingkat pusat pemerintah fokus
pada sejumlah komoditas penting, tetapi kebijakan yang dibuat mesti tak
mengeliminasi pangan lokal. Kedua, mengharuskan pemerintah daerah menyediakan
cadangan dalam bentuk pangan lokal. Keharusan penyediaan cadangan itu diatur
dalam UU Pangan No 18/2012. Cadangan pangan ada tiga level: nasional, daerah,
dan masyarakat. Keharusan cadangan berwujud pangan lokal akan menstimulasi perkembangan
pangan lokal.
Ketiga, aneka pangan lokal
harus dibuat tepung. Dalam bentuk tepung selain memudahkan fortifikasi juga
gampang diolah jadi aneka penganan sesuai selera. Tepung aneka pangan lokal
ini akan menyubstitusi tepung terigu yang menguras banyak devisa karena
volume impornya dari tahun ke tahun terus naik.
Terakhir, edukasi konsumen
bahwa pangan lokal tidak kalah kandungan gizinya dari beras dan terigu.
Seiring itu, introduksi teknik budi daya baru, pascapanen dan pengolahan
pangan lokal jadi mutlak. Ini penting agar warga tidak lagi minder, tetapi
justru bangga dengan pangan lokal mereka. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar