Jumat, 23 Maret 2018

Demokrasi tidak Berjalan Sendiri

Demokrasi tidak Berjalan Sendiri
Despan Heryansyah  ;   Peneliti Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK);
Program Doktor Fakultas Hukum UII Yogyakarta
                                              MEDIA INDONESIA, 20 Maret 2018



                                                           
DEMOKRASI prosedural telah mengantarkan kita pada ruang yang penuh paradoks, orang kemudian berbondong-bondong atas nama dan kekuatan mayoritas menggerakkan masa lalu menekan negara mengikuti kehendak mereka, tidak jarang kehendak itu justru menabrak prinsip-prinsip demokrasi.

Padahal, demokrasi sejak semula adalah resistensi terhadap elitisme politik, ia adalah perlawanan tak bersenjata terhadap kekuasaan yang dipegang kaum berpunya.

Oleh sebab itu, demokrasi harus mengatasi bentuknya yang sekarang berupa prosedur semata, meski yang prosedural itu sendiri tidak dapat dihilangkan, demokrasi substansial mutlak dibutuhkan.

Demokrasi prosedural mengandung dua ancaman yang sama latennya. Pertama, demokrasi dibajak mereka yang sejatinya antidemokrasi. Kelompok-kelompok sektarian dapat mengambil hati konstituen secara demokratis, tetapi setelah berkuasa, mereka membakar jembatan yang mereka buat sendiri. Ada kecenderungan di Indonesia bahwa kepentingan mayoritas, biasanya atas nama keamanan, harus lebih diutamakan daripada kepentingan minoritas, tidak peduli sepenting apa pun hak minoritas yang dikorbankan itu.

Kedua, demokrasi dibajak orang-orang berpunya.

Demokrasi merosot maknanya menjadi kompetisi untuk mendulang suara yang di dalamnya popularitas menjadi kunci utama. Sementara itu popularitas jarang dibangun dari keringat kerja-kerja politik, tetapi dari iklan politik belaka. Tak ayal, para pemenang pun ialah mereka yang bermodal atau dimodali para cukong. Kualitas demokrasi pun dipertaruhkan ketika relasi politik berubah menjadi transaksi ekonomi belaka.

Karena itu, demokrasi tidak dapat berjalan sendiri. Hampir sepanjang perjalanan sejarahnya, teori dan praktik tentang demokrasi terpusat pada klaim-klaim yang berlawanan mengenai kekuasaan oleh kelompok-kelompok sosial yang bersaing. Demikianlah, David Held memulai karyanya, Models of Democracy, dengan mendefinisikan demokrasi sebagai 'suatu bentuk pemerintahan dengan pertentangan monarki dan aristokrasi, rakyatlah yang memerintah'.

Konteks di Indonesia misalnya, sekelompok orang yang menamakan diri sebagai wakil mayoritas mendatangi pengadilan untuk mengintervensi penegakan hukum, atau sekelompok wakil rakyat yang mengesahkan undang-undang yang isinya justru bertentangan dengan kehendak rakyat. Karena itu, bagi penulis, kesendirian demokrasi itu harus ditemani atau bahkan didasari hak asasi manusia.

Demokrasi bertujuan untuk memberdayakan rakyat, guna menjamin agar merekalah, dan bukan satu kelompok tertentu dalam masyarakat, yang memerintah. Demokrasi mengalokasikan kewenangan kedaulatan kepada rakyat yang, karena merekalah yang berdaulat, bebas untuk menentukan berbagai sistem politik, ekonomi, sosial, dan budayanya sendiri.

Sebaliknya, hak-hak asasi manusia bertujuan memberdayakan individu-individu, dan dengan demikian membatasi kedaulatan rakyat dan pemerintahannya. Konsep ini lahir dari pemahaman bahwa hak asasi manusia melekat pada setiap manusia karena dirinya adalah manusia.

Cakupan yang dapat diterima dari berbagai sistem dan praktik politik, ekonomi, sosial, dan budaya secara tegas dibatasi persyaratan bahwa semua itu tidak merendahkan martabat kemanusiaan, bahkan yang sangat minoritas sekalipun.

Hanya jika kehendak rakyat yang berdaulat menghormati hak-hak asasi manusia, dan dengan demikian membatasi berbagai kepentingan dan tindakannya sendiri, demokrasi akan memberi andil dalam mewujudkan hak-hak asasi manusia.

Akan tetapi, dalam praktik, kehendak rakyat, bagaimanapun kehendak itu diketahui, sering kali bertolak belakang dengan hak-hak individual para warga negara. Dalam kondisi seperti ini, warga negaralah yang selalu diminta untuk mengalah.

Demokrasi tidak jarang melayani kepentingan khusus dari para konstituen utama. Demokrasi langsung bahkan, seperti yang secara dramatis diperagakan orang-orang Athena, bisa saja secara sangat mencolok berciri tidak toleran. Lalu bagaimana dalam demokrasi perwakilan? ●


Tidak ada komentar:

Posting Komentar