Rabu, 08 Januari 2014

Sergapan Intoleransi

                                                Sergapan Intoleransi

Achmad Fauzi  ;   Aktivis Multikulturalisme
TEMPO,  06 Januari 2014
                                                                                                                        


Bergulirnya pergantian tahun selalu membawa harapan baru bagi berlangsungnya kehidupan beragama yang demokratis. Namun jejak perjalanan kereta waktu acap meninggalkan sisi gelap dan persoalan yang tak kunjung tuntas. Salah satunya soal kebebasan beragama dan berkeyakinan yang kian jauh dari nilai-nilai demokrasi dan keadaban. Ancaman intoleransi terus menyergap kehidupan publik hingga ke bilik paling asasi: hak untuk memilih agama dan meyakini sesuai dengan agama dan kepercayaannya itu.

Berdasarkan pantauan The Wahid Institute, gambaran kebebasan beragama dan berkeyakinan sepanjang 2013 masih buram, kendati ada beberapa perubahan, seperti dikeluarkannya Instruksi Presiden Nomor 2 Tahun 2013 dalam mengatasi kekerasan dan konflik sosial di tengah masyarakat. Beberapa persoalan itu, pertama, masih langgengnya politik diskriminasi terhadap kelompok minoritas. Negara dengan otoritas politiknya hanya mengakui enam agama besar sebagai agama resmi. Sedangkan penghayat kepercayaan tidak diakui, sehingga hak-hak sosial dan politiknya terampas. Padahal, menurut Pasal 29 ayat 2 UUD 1945, negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.

Kedua, pemerintah tidak mampu berdiri di atas semua golongan dan cenderung menegasikan eksistensi kelompok minoritas. Indikator ini tecermin dari beberapa pernyataan pejabat negara yang bernuansa intoleran dan menyebut sesat kelompok tertentu. Pernyataan elite kekuasaan yang tidak punya jiwa pengayom itu tentu memiliki dampak besar bagi bangunan kehidupan beragama. Suatu kelompok secara pragmatis akan menafsirkan pernyataan pejabat negara tersebut sebagai legitimasi untuk menyingkirkan kelompok lain yang dianggap sesat.

Ketiga, nasib GKI Yasmin, warga Syiah yang terusir, dan penganut Ahmadiyah masih terkatung-katung tanpa penyelesaian. Mereka mengharapkan keberpihakan negara dalam melindungi serta menjamin keamanan warganya dari ketakutan dan intimidasi. Jika kasus ini dicoba dikubur dari sejarah rezim, tentu merupakan suatu tindakan yang tidak indonesiawi, mengingat para pendiri bangsa sangat menjunjung tinggi nilai kebhinnekaan. Karena itu, supaya tidak menimbulkan letupan bom waktu, sudut pandang para pemimpin kita dalam mengelola keberagaman harus dijangkarkan pada basis kepentingan semua golongan.

Tahun 2014 sebagai tahun politik juga bakal mewarnai sikap keberagamaan masyarakat. Perbedaan afiliasi politik di internal agama, terlebih antaragama, memerlukan respons dewasa agar tak menimbulkan gesekan horizontal.

Karena itu, tahun politik menjadi era kebangkitan umat beragama. Mereka memiliki jaminan kebebasan memilih sosok mana yang memiliki sensitivitas terhadap isu kemajemukan, mengayomi semua suku, agama, dan golongan, sehingga bangsa ini bisa keluar dari sergapan intoleransi.

Jika disuruh menyebut, khususnya dalam aspek apresiasi terhadap kebhinnekaan dan jaminan kebebasan beragama, masyarakat sangat merindukan sosok sekaliber Gus Dur. Beliau menghabiskan pikiran dan hidupnya untuk merawat pesona kebhinnekaan, melawan diskriminasi, serta memperbaiki relasi antaragama. Sosok itulah yang sedang kita nantikan agar ancaman laten disintegrasi berbasis SARA tak menjadi segumpal kenyataan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar